Renungan Tentang Agungnya Ilmu (Seri 1)

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Pendahuluan

Tulisan ringkas ini–anggap saja–sebagai pengetuk hati para ikhwah penuntut ilmu agama yang mungkin sedang terlena, sehingga mereka kurang menyadari agungnya kemuliaan jalan ilmu yang sedang mereka tempuh. Bahkan, malah menyibukkan diri dan memberikan perhatian besar pada kebanggaan-kebanggaan duniawi yang semu dan rendah, yang hanya sepantasnya dilakukan oleh orang-orang awam yang jauh dari bimbingan ilmu. Padahal, kalau seandainya mereka benar-benar menyadari tingginya kedudukan ilmu ini, niscaya mereka tidak akan menoleh sedikit pun pada kebanggaan-kebanggaan semu tersebut.

Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang-orang yang berilmu untuk berbangga dan merasa cukup dengan kemuliaan ilmu yang mereka miliki, yang itu jauh lebih baik dan mulia dibandingkan semua kemewahan duniawi yang berlomba-lomba dikumpulkan oleh kebanyakan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, maka hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga). Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari sesuatu (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia).‘” (QS. Yunus:58)

Ketika menerangkan ayat ini, Ibnul Qayyim berkata, “Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang berilmu untuk merasa bangga (gembira) dengan (ilmu) yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala juga menyatakan bahwa anugerah tersebut sungguh lebih baik daripada (kemewahan dunia) yang dikumpulkan oleh (kebanyakan) manusia, dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, maka hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga). Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari sesuatu (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia).””

Beliau juga menambahkan, ”’Karunia Allah’ (dalam ayat ini) ditafsirkan (oleh para ulama ahli tafsir) dengan ‘keimanan’, sedangkan ‘rahmat Allah’ ditafsirkan dengan ‘Alquran’, yang keduanya (keimanan dan Alquran) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Keduanya sekaligus merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa  sallam), seperti yang Allah sebutkan dalam Alquran, surat Ash-Shaff, ayat 9, dan keduanya adalah ilmu dan amal yang paling agung.” [1]

Agungnya ilmu dan orang-orang yang memilikinya

Di antara agungnya keutamaan ilmu yang mungkin bisa menjadi renungan bagi kita semua adalah paparan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim, sewaktu beliau menerangkan makna hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (no. 6502, yaitu tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala [yang artinya], ‘Barang siapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang [permusuhan] kepadanya …), “Pewaris para Nabi ‘alaihimus salam (orang-orang yang mendalami ilmu tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah pimpinan para wali (kekasih) Allah subhanahu wa ta’ala.[2]

Hal ini sangat jelas sekali, karena dalam Alquran, Allah subhanahu wa ta’ala sendiri yang menjelaskan dua sifat utama yang dimiliki para wali-Nya, yaitu keimanan dan ketakwaan, dalam firman-Nya,

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ.  الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus:62–63)

Kedua sifat ini (iman dan takwa) tidak akan mungkin didapatkan kecuali dengan ilmu, karena pada hakikatnya, iman itu adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh–seperti ucapan Ibnul Qayyim di atas–, sebagaimana salah satu rukun utama “takwa” adalah ilmu yang bermanfaat. [3]

Karena agungnya kedudukan orang-orang yang berilmu inilah, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kecintaan dan penghormatan kepada mereka sebagai bagian dari agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Seorang sahabat besar yang mulia, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Mencintai orang yang berilmu adalah termasuk agama (ibadah) untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.[4] Bahkan, lebih dari itu, Allah menjadikan sikap membenci, mencela, atau menghinakan orang yang berilmu karena ilmu agama yang mereka bawa–bukan karena tingkah laku atau kepribadian mereka semata–sebagai perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan tergolong salah satu perbuatan yang bisa membatalkan keislaman seseorang,[5] berdasarkan firman-Nya,

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya, kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah menjadi kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah:65–66)

Demikian juga, karena agungnya kedudukan mereka, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan hati orang-orang yang beriman senantiasa dipenuhi rasa cinta dan penghormatan terhadap orang-orang yang berilmu, karena jika Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Dia akan menjadikan semua makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi mencintai hamba tersebut.

Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (no. 3037, 5693, dan 7047) serta Imam Muslim (no. 2637-157) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku mencintai Si Fulan, maka cintailah dia!’ Maka, Jibril pun mencintai hamba tersebut, kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit (para malaikat), ‘Sesungguhnya, Allah mencintai Si Fulan maka cintailah dia!” Maka, penduduk langit pun mencintainya, kemudian hamba tersebut memperoleh penerimaan (kecintaan dalam hati) pada penduduk bumi.'”

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, para malaikat merendahkan sayap-sayap mereka karena keridhaan mereka terhadap orang yang menuntut ilmu, dan sesungguhnya semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan di dalam lautan, benar-benar akan (memanjatkan doa) memintakan pengampunan (kepada Allah) untuk orang yang berilmu.” [6]

Kecintaan dan penghormatan yang dikaruniakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-orang yang berilmu ilmu adalah kecintaan dan penghormatan yang benar-benar murni bersumber dari dalam hati manusia. Lain halnya dengan penghormatan manusia kepada orang yang memiliki harta atau kekuasaan, misalnya; yang hanya berupa penghormatan dalam bentuk lahiriah, yang bahkan terkadang diiringi dengan kebencian dalam hati.

Oleh karena itu, wajar saja kalau kita dapati bahwa para ulama ahlus sunnah sedemikian dicintai dan dihormati oleh orang-orang saleh. Bahkan, setelah mereka wafat pun, mereka tetap dipuji dan selalu didoakan dengan kebaikan. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak memiliki harta atau kekuasaan duniawi. Hal ini dikarenakan adanya suatu keistimewaan yang Allah subhanahu wa ta’ala jadikan pada ilmu agama. Yaitu, kemampuan dan kekuatan untuk menundukkan dan menguasai hati manusia, sehingga menjadikan hati mereka tunduk kepada orang yang membawa ilmu tersebut.

Semua keutamaan ini tidak ada pada harta atau kekuasaan duniawi. Oleh karena itulah, dalam banyak ayat Alquran,[7] Allah subhanahu wa ta’ala menamakan dalil-dalil ilmiah dari Alquran dan Sunah dengan nama “sulthan” (sesuatu yang memiliki kekuatan dan kemampuan menundukkan). Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, “Semua (lafal) ‘sulthan dalam Alquran (artinya) adalah hujjah (dalil/argumantasi ilmiah dari wahyu Allah subhanahu wa ta’ala).”[8]

===

Bersambung, insya Allah ….

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com


[1] Kitab Miftahu Daris Sa’adah, 1:227, cet. Dar Ibnil Qayyim dan Dar Ibni ‘Affan, Penyunting: Syekh Ali Hasan Al-Halabi.

[2] Kitab Miftahu Daris Sa’adah, 1:262.

[3] Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fi Tazkiyatin Nufus, hlm.100, tulisan Syekh Salim bin Ied Al-Hilaly.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 1:79–80 dan Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1:49—50; dinilai sahih oleh Al-Khatib sendiri, Ibnu ‘Abdil Bar, Ibnu Katsir, dan lain-lain.

[5] Lihat keterangan Syekh Muhammad Hamid Al-Faqi dan Syekh Bin Baz tentang masalah ini pada catatan kaki kitab Fathul Majid, hlm. 417, cetakan Dar Ibnu Hazm.

[6] Hadits hasan; riwayat Ahmad, 5:196, Abu Daud, no. 3641 dan 3542, At-Tirmidzi,no. 2682, dan lain-lain; dengan sanad yang saling menguatkan, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 1:160.

[7] Lihat: Misalnya, QS. Yunus:68, QS. An-Najm:23, dan QS. Ash-Shaffat:156.

[8] Lihat kitab Miftahu Daris Sa’adah, 1:243–244.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *