Pengusaha Muslim Sukses Dunia dan Akhirat, Mungkinkah? [01] (Fitnah Harta dan Dunia)

بسم الله الرحمن الرحيم

Dunia usaha dan bisnis yang sukses sering diidentikkan dengan gaya hidup mewah, glamor, cinta dunia yang berlebihan, dan ambisi yang tidak pernah puas untuk terus mengejar harta. Bahkan, sebagian dari para ulama menyifati dunia bisnis sebagai urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. [1]

Hal ini dikarenakan bisnis yang sukses akan mendatangkan keuntungan harta yang berlimpah, yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.

Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus memperingatkan umat beliau dari besarnya bahaya fitnah harta dan kedudukan duniawi dalam merusak agama dan keimanan seseorang dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِه

Tidaklah dua ekor serigalaِ kelaparan yang dilepaskan kepada kambing lebih besar kerusakan (bahaya)nya terhadap kambing tersebut, dibandingkan dengan (sifat) rakus seorang manusia terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak/membahayakan) agamanya.“[2]

Timbulnya kerusakan ini dikarenakan kerakusan terhadap harta dan kedudukan akan memacu seseorang untuk terus mengejar dunia dan menjerumuskannya kepada hal-hal yang merusak agamanya, karena umumnya, sifat inilah yang membangkitkan dalam diri seseorang sifat sombong dan selalu berbuat kerusakan di muka bumi, yang sangat tercela dalam agama.[3] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)

Kenyataan inilah yang seharusnya menjadikan seorang muslim yang menghendaki kebaikan dan keselamatan dirinya, utamanya kalangan yang menggeluti dunia usaha dan bisnis, untuk selalu waspada dan introspeksi diri, serta tidak terlalu percaya diri (bersandar kepada kemampuan diri) dalam hal ini, dengan merasa imannya kuat dan aman dari kemungkinan terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Cukuplah sikap percaya diri yang berlebihan seperti ini menjadi bukti rapuhnya keimanan dalam hati dan pertanda jauhnya taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba tersebut!!

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Al-‘Arifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan agama-Nya) telah bersepakat (mengatakan) bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al-khidzlan (berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)…”[4]

Inilah makna doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang, “…(Ya Allah,) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan aku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata.”[5]

Tidakkah orang yang beriman mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan ditimpa kerusakan dalam agama dan imannya sebagai akibat dari fitnah harta. Padahal, hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling sempurna imannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkhawatirkan hal ini menimpa umatnya, sebagaimana doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ولا تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا ، ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ همِّنا

(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan kedudukan[6]) sebagai target utama kami.“[7]

Fitnah harta dan dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun:15)[8]

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka.”[9]

Arti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam “… sehingga dunia itu membinasakan kalian” adalah dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan disebabkan oleh persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya, dan kesibukan dalam mengejarnya, sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan balasan di akhirat.[10]

Dalam hadits ini terdapat nasihat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta, yaitu agar hendaknya dia bersikap waspada dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya.[11]

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal, nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya,[12] kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[13]

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apa pun untuk tujuan tersebut. Akibatnya, tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan, dan penyesalan yang tiada akhirnya.[14]

Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf  berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan.”[15]

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com

Catatan kaki:

[1] Lihat: kitab Fathul Qadir: 4/52.

[2] HR. At-Tirmidzi (no. 2376), Ahmad: 3/456, Ad-Darimi (no. 2730), dan Ibnu Hibban (no. 3228); dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syekh Al-Albani.

[3] Lihat kitab Faidhul Qadir: 5/445.

[4] Kitab Al Fawa`id (hlm. 133, cet. Muassasah Ummil Qura, Mesir, 1424 H).

[5] HR. An-Nasa`i dalam As-Sunan: 6/147 dan Al-Hakim dalam Al Mustadrak (no. 2000); dishahihkan oleh Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah (1/449, no. 227).

[6] Lihat: kitab Tuhfatul ahwadzi: 9/334.

[7] HR. At-Tirmidzi (no. 3502); dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani.

[8] Lihat: kitab Faidhul Qadir: 2/507.

[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961).

[10] Lihat: catatan kaki kitab Shahihul Bukhari: 3/1152.

[11] Nasihat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam kitab Fathul Bari: 11/245.

[12] Lihat: keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 84, Mawaridul Aman).

[13] Hadits shahih Riwayat Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).

[14] Kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 83–84, Mawaridul Aman).

[15] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 83, Mawaridul Aman).

1 comment

  1. Jazakumullohu khoir ya ustdaz, saya selalu mengikuti kajian antum dimojosongo solo. Alhamdulillah apa yang antum sampaikan sangat bermanfaat (bi idznillahi), apalagi pas bahas kitab ad-da wa ad-dawa’u. Semoga bisa berlanjut.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *