2- Meraih kenikmatan tertinggi di Surga, yaitu melihat wajah Allah Ta’ala yang Maha Mulia dan Maha Tinggi
Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?’ Maka, mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?’ Maka, (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Subhanahu wa Ta’ala,” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat berikut,
للذين أحسنوا الحسنى وزيادة
“Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (QS. Yunus: 26) ([1]).
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahafaan([2]) menjelaskan, bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Ta’ala) adalah balasan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.([3]) Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa slalam dalam sebuah hadits yang shahih, “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…”([4])
Dari keterangan di atas juga terlihat jelas besarnya keutamaan dan manfaat mengikuti manhaj salaf. Karena kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan buah yang paling utama dari ma’rifatullah (pengenalan/ pengetahuan yang benar dan sempurna tentang Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya), yang mana ma’rifatullah yang benar dan sempurna tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan mempelajari dan memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur-an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan metode pemahaman yang benar, yang ini semua hanya didapatkan dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah/ manhaj Salaf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ini adalah ideologi golongan yang selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah (orang-orang yang mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, (hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk. Termasuk iman kepada Allah (yang diyakini Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah mengimani sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Quran dan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), tanpa tahriif (menyelewengkan maknanya), tanpa ta’thiil (menolaknya), tanpa takyiif (membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan tanpa tamtsiil (meyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat“. (QS. Asy Syuura: 11).
Maka, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari arti yang sebenarnya, tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam (menetapkan) nama-nama Allah (yang Mahaindah) dan dalam (memahami) ayat-ayat-Nya. Mereka tidak membagaimanakan/ menanyakan bentuk sifat Allah dan tidak meyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tiada yang serupa, setara dan sebanding dengan-Nya, Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang makhluk-Nya, serta Dia-lah yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding (semua) makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang berkata tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa pengetahuan. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين
“Mahasuci Rabb-mu yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka katakan, Dan keselamatan dilimpahkan kepada para rasul, Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” (QS. Ash-Shaaffaat: 180-182).
Maka, (dalam ayat ini) Allah manyucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan orang-orang yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karena selamat (suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan dan celaan. Allah Ta’ala telah menghimpun antara an-nafyu (meniadakan sifat-sifat buruk) dan al-itsbat (menetapkan sifat-sifat yang maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah sama sekali tidak menyimpang dari petunjuk yang dibawa oleh para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itulah jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih.”([5])
3- Menggapai taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan kunci pokok segala kebaikan
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shalih yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri. Telah bersepakat al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan (berpalingnya) Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)([6])…”([7])
Dari keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas jelaslah bagi kita bahwa kunci pokok segala kebaikan adalah memahami dan mengimani bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi, yang ini merupakan kesimpulan makna iman kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang baik maupun yang buruk. Dan sekali lagi ini menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena pemahaman yang benar terhadap masalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya ada pada manhaj salaf. Untuk lebih jelasnya, baca keterangan Ibnu Taimiyyah dalam “Al-‘Aqiidatul Waasithiyyah” (hal. 22) tentang lurusnya pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah iman kepada takdir Allah dan sesatnya pemahaman-pemahaman lain yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel www.mainsnyaiman.com
Manfaat dan Keutamaan Mengikuti Manhaj Salaf (Seri 1)
([1]) Hadits shahih riwayat Muslim dalam Shahih Muslim (no. 181).
([2]) Halalaman 70-71 dan halaman 79 (Mawaaridul Amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad-Dammaam, 1415 H).
([3]) Untuk lebih jelas pembahasan masalah ini, silakan baca tulisan kami yang berjudul Indahnya Islam Manisnya Iman. Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya, di dunia ini ada Jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini, maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.” (Al-Waabilush Shayyib, 1/69).
([4]) HR. An-Nasa-i dalam As-Sunan (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam Al-Musnad (4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahih-nya” (no. 1971) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah fii Takhriijis Sunnah (no. 424).
([5]) Kitab Al-‘Aqiidatul Waasithiyyah” (hal. 6-8).
([6]) Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari hal ini dalam doa beliau yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang, “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata.” (HR. An-Nasa-i dalam As-Sunan (6/147) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 2000), dishahihkan oleh Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah (1/449, no. 227).
([7]) Kitab Al Fawa-id (hal. 133- cet. Muassasah Ummil Qura, Mesir 1424 H).
Bismillaahirrohmaanirrohiim
‘Afwan, Ustadz,
Misalnya saya mengatakan:
1. Ketika saya merasa sakit, Alloh ‘menyelimuti’ dan ‘mendekap’ saya dengan cinta kasih-NYA.
2. Di Surga nanti saya ingin bersimpuh di kaki Alloh. Saya ingin Alloh ‘membelai’ kepala saya.
Apakah kalimat-kalimat tersebut termasuk dalam menganalogikan Alloh dengan selain-Nya?
Mohon penjelasannya. Jazaakallohu khoyr.