بسم الله الرحمن الرحيم
Manajemen harta, apa gunanya? Bukankah harta yang kita peroleh dengan cara yang halal bebas kita gunakan untuk membeli kebutuhan yang kita inginkan selama tidak melanggar syariat Allah ?
Jawabannya: Memang betul harta yang halal boleh kita gunakan untuk membeli semua kebutuhan hidup yang kita inginkan, akan tetapi harus diingat, bahwa nafsu manusia memliki tabiat yang cenderung boros dan berlebihan terhadap harta, sehingga ini bisa menjadi sebab yang menjadikan seseorang terjerumus ke dalam fitnah yang bisa merusak agamanya.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”[1].
Hadits ini menunjukkan bahwa pemanfaatan harta yang tidak benar bisa menjadi fitnah (yang merusak agama seseorang), karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Tagaabun:15)[2].
Disamping itu, mengatur pembelanjaan harta sesuai dengan petunjuk Allah merupakan cara terbaik untuk mengatasi keburukan nafsu manusia yang tidak pernah puas dengan harta dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah : “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[3].
Kewajiban memanajemen harta sesuai dengan petunjuk Allah
Rasulullah bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”[4].
Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pengeluaran harta sesuai dengan petnjuk Allah , karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia[5].
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idha’atul maal (menyia-nyiakan harta)[6].
Arti “idha’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah , atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan[7].
Antara pemborosan dan penghematan yang berlebihan
Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah , sebagaimana dalam firman-Nya:
{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}
“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).
Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)[8].
Juga dalam firman-Nya:
{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (QS al-Israa’:29).
Imam asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Arti ayat ini: larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah”[9].
Sikap inilah yang diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya dalam membelanjakan harta untuk kebutuhan mereka, bahkan beliau memohon kepada Allah agar dianugerahkan sikap ini dalam semua keadaan, kaya maupun miskin.
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu sikap sederhana (moderat dalam menggunakan harta) diwaktu miskin (harta sedikit) maupun kaya (harta banyak)”[10].
Kesimpulan dan penutup
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa manfaat memanajemen pengeluaran harta sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah sebagai berikut:
1- Menjadikan harta lebih diberkahi oleh Allah dengan Dia memudahkan taufik-Nya bagi pemilik harta tersebut untuk menggunakannya sesuai dengan jalan keridhaan-Nya
2- Memudahkan pemilik harta terhindar dari fitnah dan kerusakan harta yang menjerumuskan banyak manusia dalam jurang kebinasaan
3- Mengatasi sifat buruk nafsu manusia yang selalu tidak merasa puas terhadap harta dan dunia
4- Menghindari tipu daya Setan yang selalu berusaha menggoda manusia untuk melakukan perbuatan buruk dan keji[11].
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi dalam kebaikan bagi semua orang yang membacanya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 1 Shafar 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] HR at-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan al-Albani.
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).
[3] HSR al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[4] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.
[5] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).
[6] HSR al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).
[7] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).
[8] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).
[9] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).
[10] HR an-Nasa-i dalam (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad (4/264), Ibnu Hibban (no. 1971) dan al-Hakim (1/705), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).
[11] Sebagaimana dalam firman Allah U QS al-Baqarah: 169.
4 comments