Keutamaan Sholat Khusyu

     عَنْ أَنَسٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : « حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاةِ »

     Dari Anas bin Malik t bahwa Rasulullah  bersabda: “Allah menjadikan aku mencintai dari (urusan-urusan) dunia (yaitu kepada) perempuan (istri-istri beliau ) dan minyak wangi, tapi Allah menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi seorang hamba yang melaksanakan shalat sesuai dengan petunjuk yang diturunkan Allah  kepada Rasul-Nya , dan bahwa inilah yang menjadi sumber kebahagiaan utama bagi hati manusia.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa shalat yang akan menjadi penyejuk hati bagi manusia adalah shalat yang dilaksanakan dengan khusyu’. Beliau berkata: “Khusyu’ dalam shalat hanyalah akan diraih oleh orang yang hatinya tercurah sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya menyibukkan diri dan lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika itulah shalat akan menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya), sebagamana sabda Rasulullah  dalam hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas bin Malik t bahwa Rasulullah  bersabda…Beliau menyebutkan hadits di atas”[2].

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:

– Allah  mensyariatkan ibadah bagi manusia untuk menjadikan mereka meraih kebahagiaan hidup yang hakiki lahir dan batin, serta merasakan ketenangan dan ketentraman hati, bukan untuk menjadi beban dan kesusahan bagi mereka.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Bukanlah tujuan utama dari semua ibadah dan perintah (Allah dalam agama Islam) untuk memberatkan dan menyusahkan (manusia), meskipun hal itu (mungkin) terjadi pada sebagian dari ibadah dan perintah tersebut sebagai (akibat) sampingan, karena adanya sebab-sebab yang menuntut kemestian terjadinya hal tersebut, dan ini merupakan konsekwensi kehidupan di dunia. Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang diwajibkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk/penghibur jiwa), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu”[3].

– Rasulullah  mencintai perkara dunia yang dihalalkan bagi beliau, tapi kecintaan beliau  kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya melebihi segala sesuatu yang ada di dunia ini.

– Keutamaan shalat yang disebutkan dalam hadits ini juga berlaku bagi umat Rasulullah  sesuai dengan tingkat kesempurnaan iman mereka, meskipun tentu saja Rasulullah  yang mendapatkan bagian yang paling sempurna dari keutamaan tersebut[4].

– Inilah makna kemanisan dan kelezatan iman, yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih, misalnya sabda beliau : “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[5].

Dalam hadits lain, Rasulullah  bersabda: “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah  sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad  sebagai rasulnya”[6].

– Ini pulalah yang merupakan makna ucapan bebarapa ulama Ahlus sunnah tentang kenikmatan ketika beribadah kepada Allah . Misalnya ucapan salah seorang dari mereka: “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[7].

Ulama salaf yang lain berkata: “Seandainya para raja dan pangeran mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (dengan mencintai Allah  dan mendekatkan diri kepada-Nya), niscaya mereka akan berusaha merebut kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka”[8].

– Bahkan inilah makna ‘surga dunia’ yang sesungguhnya. Sebagaimana dalam ucapan yang populer dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[9].

 

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 5 Muharram 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] HR Ahmad (3/128), an-Nasa-i (7/61) dan al-Hakim (2/174), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, juga dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (Fathul Baari 11/345) dan Syaikh al-Albani (Shahiihul jaami’ no. 3124).

[2] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/319).

[3] Kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 75-76 – Mawaaridul amaan).

[4] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/348).

[5] HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).

[6] HSR Muslim (no. 34).

[7] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).

[8] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 70).

[9] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *