عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ» رواه أبو داود، والنسائي وغيرهما، وهو حديث صحيح.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang menyambung shaf (dalam shalt berjama’ah) maka Allah akan menyambungnya (dengan limpahan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutus shaf maka Allah akan memutuskan (rahmat-Nya dari)nya”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan menyambung shaf dalam shalat berjama’ah, karena ini merupakan sebab besar meraih limpahan rahmat Allah ﷻ dan kedudukan mulia di sisi-Nya[2].
Beberapa mutiara faidah yang dapat kita petik dari hadits ini:
– Hadits ini menunjukkan keutamaan dan disunnahkannya bagi para makmum untuk saling merapat satu sama lain dalam shalat berjama’ah, sehingga tidak ada celah kosong dan jarak yang renggang di antara mereka, seakan-akan mereka adalah bangunan yang padat dan kokoh[3].
– Yang dimaksud dengan ‘menyambung shaf’ dalam hadits ini adalah berdiri di shaf dalam shalat berjama’ah dengan meluruskannya dan mengisi celah yang kosong di dalam shaf. Adapun makna ‘memutus shaf’ adalah tidak berdiri di shaf, tidak mengisi celahnya yang kosong, merenggangkannya (tidak merapatkannya), meninggalkannya ketika shalat berjama’ah tanpa ada udzur, atau meletakkan di tengahnya sesuatu yang menghalangi bersambungnya shaf[4].
– Termasuk dalam larangan memutus shaf dalam hadits ini adalah segala sesuatu yang menjadikan shaf dalam shalat berjama’ah menjadi terputus dan tidak bersambung, baik itu mimbar yang panjang, tiang-tiang bangunan masjid dan lain-lain. Oleh karena sebab inilah Rasulullah ﷺ melarang makmum melakukan shalat di antara tiang-tiang masjid yang memutus shaf dalam shalat berjama’ah, kecuali dalam keadaan terpaksa, misalnya ketika masjid sudah sangat penuh dan tidak tempat lain untuk shalat selain di antara tiang-tiang tersebut[5]. Hal ini ditegaskan oleh shahabat yang mulia, Anas bin Malik رضي الله عنه: “kami dulu selalu menghindarinya (berdiri di antara tiang-tiang masjid yang memutus shaf) di jaman Rasulullah ﷺ”[6].
– Makna keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini ‘Allah akan menyambungnya’ adalah Allah menyambungnya dengan limpahan rahmat-Nya, ditinggikan derajatnya dan didekatkan dengan kedudukan hamba-hamba-Nya yang shaleh. Adapun makna ancaman ‘Allah akan memutuskannya’ adalah Allah akan menjauhkannya dari rahmat, pahala dan karunia-Nya[7].
– Hadits ini juga menunjukkan makna suatu kaidah besar yang berlaku dalam hukum-hukum syariat yang Allah ﷻ turunkan kepada manusia, yaitu kaidah “al-Jazaa-u min jinsil ‘amal”, artinya “balasan yang Allah berikan kepada hamba-Nya adalah sesuai dengan jenis perbuatan yang dilakukan oleh hamba itu sendiri”[8].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 30 Shafar 1437 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] HR Abu Dawud (1/235), an-Nasa-i (2/93), Ahmad (2/97), Ibnu Khuzaimah (3/23) dan al-Hakim (1/333), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/75) dan “’Aunul Ma’buud” (2/258).
[3] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/75).
[4] Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (2/258) dan “Faidhul Qadiir” (2/75).
[5] Lihat kitab “al-Qaulul mubiin fi akhtaa-il mushalliin” (hlmn 224-225).
[6] HR Abu Dawud (1/236), at-Tirmidzi (1/443), Ahmad (3/131), Ibnu Khuzaimah (3/30), Ibnu Hibban (5/596) dan al-Hakim (1/333), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/75).
[8] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/75).