بسم الله الرحمن الرحيم
عَنْ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: «أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ» متفق عليه.
Dari an-Nu’man bin Basyir beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”.
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan memperbaiki amalan hati, karena kebaikan dan keburukan seluruh anggota badan mengikuti kebaikan dan keburukan hati manusia[1].
Dalam hadits lain yang semakna, Rasulullah bersabda: “Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali[2].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
– Yang dimaksud dengan amalan hati adalah cinta, takut, berharap, berserah diri, yakin, ridha dan lain-lain, yang semua ini tidak pantas diserahkan kecuali kepada Allah semata-mata.
– Mengusahakan perbaikan amalan hati lebih wajib bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan, karena amalan hati inilah yang membedakan orang-orang yang benar dalam keimanannya dari orang-orang yang dusta (munafik)[3].
– Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat (anjuran) yang kuat untuk (selalu) mengusahakan perbaikan (amalan) hati dan menjaganya dari kerusakan (keburukan)[4].
– Imam Ibnul Qayyim berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Allah berfirman:
{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati” (QS al-Hajj:32).
(Dalam ayat lain) Allah berfirman:
{لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ}
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (QS al-Hajj:32)”[5].
– Hadits ini tidak menunjukkan bahwa amal anggota badan tidak berguna dan tidak perlu diusahakan perbaikannya, akan tetapi maksud dari hadits ini adalah bahwa amal perbuatan yang tampak pada anggota badan manusia, tidak mesti ditujukan untuk mencari ridha Allah semata. Lihatlah misalnya orang-orang munafik di jaman Rasulullah, mereka menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum muslimin, padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap agama Islam.
Ketika menjelaskan makna hadits kedua di atas, imam an-Nawawi berkata: “Artinya: sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti) menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang), akan tetapi takwa (yang sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan, ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah”[6].
– Hati manusia adalah ibarat raja, sedangkan seluruh anggota badan ibarat bala tentaranya, mereka semua taat kepada sang raja dan tidak berani menyelisihi perintahnya. Maka kalau sang raja baik berarti semua bala tentaranya akan baik dan kalau dia buruk berarti semua bala tentaranya akan buruk[7].
– Allah tidak akan menerima seorang yang menghadap-Nya kecuali dengan membawa hati yang selamat (bersih), sebagaimana dalam firman-Nya:
{يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ. إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS asy-Syu’araa’: 89).
Hati yang bersih adalah hati yang hanya dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah dan segala sesuatu yang dicintai-Nya, serta rasa takut kepada-Nya dan takut terjerumus kepada segala sesuatu yang dibenci-Nya[8].
KotaKendari, 12 Ramadhan 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarhu Shahiihi Muslim” (11/29).
[2] HSR Muslim (no. 2564).
[3] Lihat kitab “Bada-i’ul fawa-id” (3/710).
[4] Kitab “Syarhu Shahiihi Muslim” (11/29).
[5] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 185).
[6] Kitab “syarh shahih Muslim” (16/121).
[7] Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 74).
[8] Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 74).
Alhamdulillah. . . . .
Masyaallah…..nasihat yg bermanfaat sekali…jazakallahu khair yaa ust.
Alhamdulilah,dpt ilmu yg dpt membuka mata hati umat manusia,
bagus….