Kemuliaan Pembawa Hadits Nabi (Seri-1)

بسم الله الرحمن الرحيم

عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال: سمعتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((نَضَّرَ اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ – وفي لفظٍ: فَوَعَاها وَحَفِظَها – حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ

Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya.” (Hadits yang shahih dan mutawatir).

Takhrij hadits dan derajatnya

Hadits ini diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (no. 3660), At-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), Ad-Darimi (no. 229), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir,  (no. 4890), dan imam-imam lainnya.

Hadits ini adalah hadits yang shahih dan mutawatir, karena diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat radhiallahu ‘anhum dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak sekali[1].

Imam Shalahuddin Al-‘Ala’i berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak, dari sejumlah besar sahabat radhiallahu ‘anhum, diantaranya: Abdullah bin Mas’ud, Jubair bin Muth’im, Zaid bin Tsabit, Nu’man bin Basyir, Abu Sa’id Al-Khudri, Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdillah, Rabi’ah bin ‘Utsman, Abu Qarshafah dan sahabat lainnya radhiallahu ‘anhum[2].”

Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata, “Hadist ini sangat masyhur (dikenal), dikeluarkan dalam kitab-kitab “as-Sunan” atau dalam sebagiannya, dari hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Jubair bin muth’im. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Dan (imam) Abul Qasim Ibnu Mandah menyebutkan dalam kitabnya “at-Tadzkirah” bahwa hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam oleh dua puluh empat orang sahabat radhiallahu ‘anhum, kemudian beliau menyebutkan nama-nama sahabat tersebut…[3].”

Bahkan imam as-Suyuthi dalam kitab “Tadriibur Raawi” (2/179) menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sekitar tiga puluh orang sahabat radhiallahu ‘anhum.

Hadits ini dinyatakan shahih oleh sejumlah besar imam Ahlul hadits, diantaranya: imam Abdurrahman bin Abi Hatim[4], Ibnu Hibban[5], Al-Mundziri[6], Al-‘Ala’i[7], Ibnul Qayyim[8], Al-Bushiri dan Syaikh Al-Albani[9].

Syarah hadits

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan orang yang mempelajari, memahami, kemudian menyampaikan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits beliau kepada umat manusia. Sampai-sampai imam Ibnul Qayyim ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan mempelajari ilmu (tentang hadits Rasululah shallallahu ‘alahi wa sallam) kecuali (keutamaan yang disebutkan dalam hadits) ini, maka cukuplah itu sebagai kemuliaan (yang agung), karena sungguh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakan kebaikan bagi orang yang mendengar ucapan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain)[10].”

Semakna dengan ucapan di atas, Mulla ‘Ali Al-Qari berkata, “Hadits ini menunjukkan keagungan hadits (Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam), keutamaan dan kedudukan orang-orang yang mempelajarinya, karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengkhususkan/mengistimewakan mereka dengan doa (kebaikan) yang tidak ada seorangpun dari umat ini yang menyertai mereka dalam doa (kebaikan) tersebut. Seandainya tidak ada manfaat (keutamaan) dalam mempelajari, menghafal dan menyampaikan hadits (Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam) kecuali (hanya) mendapatkan berkah dari doa yang agung ini, maka cukuplah itu sebagai manfaat (yang agung), kemuliaan di dunia dan akhirat, serta bagian dan keutamaan (yang besar)[11].”

Doa kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan (rupa), yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bagi orang-orang yang mempelajari dan menyampaikan petunjuk beliau shallallahu ‘alahi wa sallam kepada umat ini adalah sebagai Al-Jaza’u min jinsil ‘amal (balasan yang sesuai dengan perbuatan baik mereka), karena mereka telah mengusahakan sebab sampainya petunjuk dan bimbingan kebaikan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam kepada manusia, yang dengan mengamalkan ini semua, wajah manusia akan menjadi putih berseri pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

{يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ، فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُون. وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون}

“Pada hari yang (di waktu itu) ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan), ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman, karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.’” (QS.  Ali ‘Imraan: 106-107)[12].

Dan sungguh doa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ini benar-benar terbukti secara nyata pada diri orang-orang yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan keikhlasan serta mengharapkan balasan pahala dari Allah Ta’ala[13].

Mulla ‘Ali Al-Qari berkata, “Ada yang mengatakan, ‘Sungguh Allah telah mengabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam (tersebut), oleh karena itu kamu dapati para (ulama) ahli hadits adalah orang yang paling bagus (elok) wajahnya dan indah penampilannya. Diriwayatkan dari imam Sufyan bin ‘Uyainah bahwa beliau berkata, “Tidak ada seorangpun yang menuntut (ilmu) hadits kecuali (terlihat) pada wajahnya kecerahan[14],” yaitu: keindahan yang tampak atau (yang bersifat) maknawi (tidak tampak) [15].’”

Hal ini tidaklah mengherankan, karena secara umum Allah Ta’ala menjadikan perbuatan baik dan amalan shalih sebagai sebab yang menjadikan kebaikan dan keindahan lahir dan batin pada diri orang yang mengamalkannya, terlebih lagi pada diri orang-orang yang membawa petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang merupakan sumber kebaikan dalam agama ini.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya (amal) kebaikan itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezki dan kecintaan di hati manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki (pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rizki dan kebencian di hati manusia[16].”

Oleh karena itu, imam Ibnul Qayyim berkata, “Doa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ini (keindahan rupa) mengandung arti keindahan/keelokan pada lahir dan batin, karena (kata) an-nadhrah berarti kecerahan dan keindahan yang menghiasi wajah, (yang bersumber) dari pengaruh iman (dalam hati), serta kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan (yang dirasakan dalam) batin dengan keimanan tersebut, sehingga kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan itu akan tampak (nyata) berupa kecerahan pada wajah. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengumpulkan kesenangan dan kebahagiaan (dalam hati) dengan keceriaan (pada wajah, sebagai balasan kemuliaan bagi penduduk surga), sebagaimana dalam firman-Nya,

{فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورً}

“Maka Allah menjaga mereka dari keburukan pada hari itu dan menganugerahkan kepada mereka kecerahan (pada wajah mereka) serta kegembiraan (dalam hati mereka).” (QS. . Al-Insaan: 11).

Maka kecerahan (ada) pada wajah-wajah mereka dan kegembiraan/kebahagiaan (ada) pada hati mereka, (ini berarti) bahwa kesenangan dan kegembiraan (dalam) hati akan menampakkan (pegaruh baik berupa) kecerahan pada wajah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (tentang keadaan penduduk surga),

{تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيم}

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan.” (QS.  Al- Muthaffifiin:24).

Kesimpulannya, kecerahan pada wajah bagi orang yang mendengarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain), ini adalah pengaruh kemanisan (iman), dan kesenangan serta kebahagiaan (yang dirasakannya) di dalam hati[17].”

Keterangan di atas menunjukkan keutamaan yang agung dari mempelajari dan memahami hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam membersihkan penyakit hati dan kotoran jiwa manusia, yang itu semua merupakan penghalang utama untuk mencapai kemanisan iman dan kebahagiaan hati.

Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menganalogikan petunjuk dan ilmu yang beliau bawa dengan air hujan yang Allah Ta’ala turunkan ke bumi untuk memberikan kehidupan bagi tanah yang tandus dan bagi makhluk hidup. Rasululah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا…

“Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…([18]).”

Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah Ta’ala) seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri/tanah yang mati (kering d’an tandus), demikian pula ilmu agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…[19].”

Imam Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih, akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama yang bersumber dari petunjuk Alquran dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam)[20].”
-Bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthani, M.A
Artikel www.manisnyaiman.com


[1] Lihat kitab Dirasatu Hadits: Nadhdharallahu Imraan Sami’a Maqaalati… (3/315- kutubu wa rasa-il syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad).
[2] Kitab Jaami’ut Tahshiil fi Ahkaamil Maraasiil (hal. 52-53).
[3] Dinukil oleh imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadiir, (6/283).
[4] Dalam kitab Al-Jarhu wat Ta’diil, (2/10).
[5] Dalam kitab Shahih Ibni Hibban, (2/454).
[6] Dalam kitab At-Targiibu watTtarhiib, (1/54).
[7] Dalam kitab Jaami’ut Tahshiil fi Ahkaamil Maraasiil, (hal. 53).
[8] Dalam kitab Miftahu Daaris Sa’aadah, (1/71).
[9] Dalam kitab Sislsilatul Ahaaditsish Shahiihah, (1 bagian 2/761).
[10] Kitab Miftahu Daaris Sa’aadah, (1/71).
[11] Kitab Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaatil Mashaabiih, (1/288).
[12] Lihat kitab Dirasatu Hadits: nadhdharallahu imraan sami’a maqaalati… (3/446).
[13] Ibid (3/455).
[14] Dinukil oleh imam Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitab Syarafu Ashhaabil Hadits (hal. 27).
[15] Kitab Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaatil Mashaabiih (1/288).
[16] Dinukil oleh imam Ibnu Taimaiyah dalam kitab Al-Istiqaamah (1/351) dan Ibnul Qayyim dalam  kitab Al-Waabilush Shayyib (hal. 43).
[17] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).
[18] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[19] Fathul Baari (1/177).
[20] Kitab Talbisu Ibliis, (hal.398).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *