Ustadz Abdullah Taslim MA
Berbicara tentang hati berarti membicarakan tentang bagian tubuh manusia yang paling penting dan utama, karena baik-buruknya seluruh anggota badan manusia tergantung dari baik-buruknya hati[1]. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuhnya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[2].
Di samping itu, hati merupakan tempat tumbuhnya iman kepada Allah ﷻ yang merupakan landasan utama kebaikan dan kemuliaan hidup seorang hamba di dunia dan akhirat, maka mengusahakan perbaikan hati berarti mengusahakan perbaikan iman dan menyempurnakan pertumbuhannya.
Dalam hadits yang shahih, dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya iman di dalam hati bisa (menjadi) usang (lapuk) sebagaimana pakaian yang bisa usang, maka perbaharuilah (kuatkanlah kembali) iman (di dalam hati)mu”[3].
Bersamaan dengan itu, Allah ﷻ dengan rahmat dan karunia-Nya yang sempurna pada hamba-hamba-Nya, Dia ﷻ menciptakan mereka di atas fitrah (kecenderungan untuk mengenal dan mentauhidkan/mengesakan Allah ﷻ) yang lurus[4] dan menjadikan hati mereka pada asalnya mudah menerima kebenaran. Allah ﷻ berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS ar-Ruum: 30).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah menjadikan pada akal manusia (kecenderungan menganggap) baik kebenaran dan (menganggap) buruk kebatilan. Karena sesungguhnya semua hukum dalam syariat Islam yang lahir maupun batin, Allah telah menjadikan pada hati semua makhluk-Nya kecenderungan (untuk) menerimanya, maka Allah menjadikan di hati mereka rasa cinta kepada kebenaran dan selalu mengutamakannya. Inilah hakikat fitrah Allah (yang dimaksud dalam ayat di atas).
Dan barangsiapa yang keluar dari asal (fitrah) ini maka itu karena adanya sesuatu yang mempengaruhi dan merusak fitrah tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Semua bayi (yang baru lahir) dilahirkan di atas fitrah (cenderung kepada Islam), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani atau Majusi”[5].[6]
Semua manusia dilahirkan di atas fitrah
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Semua bayi (yang baru lahir) dilahirkan di atas fitrah (cenderung kepada Islam), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani atau Majusi”[7].
Dan dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “(Allah ﷻ berfirman): Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semua dalam keadaan hanif (lurus dan cenderung pada kebenaran) dan sungguh (kemudian) para Setan mendatangi mereka lalu memalingkan mereka dari agama mereka…”[8].
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa semua manusia dilahirkan di muka bumi ini di atas fitrah, yaitu cenderung untuk menerima Islam dan beribadah kepada Allah ﷻ. Sebagaimana dalam firman-Nya:
{وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ}
“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu (Allah ﷻ) mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Rabbmu”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (iman dan tauhid kepada Allah)” (QS al-A’raaf: 172).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Makna yang benar dari (kata) fitrah adalah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu, yaitu fitrah Islam. Allah menciptakan mereka di atas fitrah itu ketika Dia berfirman kepada mereka: “Bukankah Aku ini Rabbmu”, Mereka menjawab: “Betul (Engkau Rabb kami)”. (Makna) fitrah ini adalah tersucikan/terhindar dari keyakinan yang buruk dan (kecenderungan) menerima keyakinan yang benar (tauhid)”[9].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “Allah ﷻ mengabarkan bahwa Dia mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dalam keadaan mereka mempersaksikan terhadap diri mereka sendiri bahwa Allah adalah Rabb (yang maha menciptakan dan memberi rezki) serta maha menguasai (mengatur segala urusan) mereka, dan bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia. Sebagaimana Allah ﷻ menjadikan fitrah dan tabiat mereka (ketika lahir di dunia) di atas keyakinan tersebut”[10].
Hakikat hati yang bersih dan kotor
Allah ﷻ berfirman:
{كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}
“Sekali-kali tidak (demikian), bahkan menutupi hati mereka perbuatan (dosa) yang selalu mereka lakukan” (QS al-Muthaffifin: 14).
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah ﷺ sendiri yang menafsirkan makna ayat ini. Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba jika berbuat dosa maka akan dibubuhkan satu titik hitam di (permukaan) hatinya. Kalau dia (segera) bertaubat, meninggalkan (dosa tersebut) dan memohon ampun (kepada Allah ﷻ), maka hatinya akan bening (kembali), (tetapi) jika dosanya bertambah maka akan bertambah pula titik hitam tersebut. Itulah (makna) ar-raan (penutup hati) yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an: “Sekali-kali tidak (demikian), bahkan menutupi hati mereka perbuatan (dosa) yang selalu mereka lakukan” (QS al-Muthaffifin: 14)”[11].
Inilah hakikat hati yang kotor dan tertutup, yaitu hati yang diliputi oleh kotoran hitam seperti karat pada logam dan menutupinya sedikit demi sedikit, sehingga memadamkan cahayanya dan membutakan mati hatinya, serta membuatnya terhalang dari menerima kebenaran, bahkan menjadikannya memandang sesuatu dengan hal yang bertentangan dengan hakikatnya, maka dia menganggap kebenaran itu adalah kebatilan dan kebatilan itu adalah kebenaran[12].
Tentu saja semua ini terjadi akibat dari fitnah (keburukan) yang selalu dibisikkan Setan ke dalam hati manusia dengan cara menghiasi keburukan hawa nafsu agar mereka selalu memperturutkannya.
Dari Hudzaifah bin al-Yaman رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ditampakkan fitnah-fitnah di permukaan hati manusia seperti (anyaman) tikar sedikit demi sedikit. Maka hati yang menyerapnya akan dibubuhi satu titik hitam padanya, sedangkan hati yang mengingkarinya akan dibubuhi satu titik putih padanya. Sehingga (pada akhirnya) semua hati manusia akan (terbagi) menjadi dua macam: (pertama): hati yang putih (bersih dan kuat) seperti batu cadas, sehingga tidak akan dipengaruhi oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada (sampai hari kiamat). Kedua: hati yang (berwarna) hitam keabu-abuan, seperti gelas yang miring/terbalik (kebaikan tidak bisa menetap padanya), dia tidak mengenal kebaikan sebagai kebaikan dan keburukan sebagai keburukan, kecuali yang bersumber dari hawa nafsunya”[13].
Makna hadits ini: Seorang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, maka setiap maksiat yang dilakukannya membawa kegelapan dalam hatinya, sehingga dia selalu menyerap fitnah dan menjadi padam cahaya Islam dalam hatinya[14].
Inilah tujuan utama Setan mengotori dan menutup hati manusia dengan godaan untuk mengikuti hawa nafsu yang buruk, yaitu agar hati manusia menjadi mati, sehingga tertutup dan berpaling dari fitrahnya yang lurus. Setelah itu, Setanpun mudah mengombang-ambingkan manusia tersebut dalam kesesatan sesuai dengan kehendaknya, sebagaimana yang disebutkan pada akhir hadits di atas: “…dia tidak mengenal kebaikan sebagai kebaikan dan keburukan sebagai keburukan, kecuali yang bersumber dari hawa nafsunya”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Hati yang hidup dan sehat jika ditampakkan padanya keburukan-keburukan maka dia akan menjauhinya dengan sendirinya, membencinya dan tidak akan menoleh kepadanya, berbeda dengan hati yang telah mati, hati ini tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ucapan (Shahabat yang mulia) ‘Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه: “Binasalah orang yang tidak mempunyai hati untuk mengenal kebaikan dan mengingkari keburukan”[15].
Maka hati yang kotor adalah hati yang telah dipalingkan oleh Setan dari fitrahnya yang lurus dan bersih, sehingga menjadikannya berpaling dari petunjuk Allah ﷻ dan sulit menerima keindahan agama Islam. Inilah ciri hati yang tersesat dari jalan Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:
{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ}
“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk Allah berikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan keburukan (azab) kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam: 125).
Kecenderungan hati untuk mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan mengingkari yang mungkar (keburukan)
Allah ﷻ menciptakan hati manusia di atas fitrah yang lurus, kemudian Dia ﷻ menurunkan syariat-Nya untuk membimbing hati manusia tersebut agar selamat dari tipu daya Setan dan selalu di atas jalan yang lurus.
Oleh karena itu, pada asalnya hati manusia akan selalu cocok dan selaras dengan petunjuk Islam, bahkan hanya dengan mengenal dan mengamalkan petunjuk-Nya hati manusia akan merasakan kedamaian dan ketenangan yang hakiki. Allah ﷻ berfirman:
{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Artinya: dengan berzikir kepada Allah ﷻ segala kegalauan dan kegundahan dalam hati manusia akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan. Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih kuat (dalam) mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah ﷻ[16].
Maka pada asalnya, hati manusia lebih dahulu mengenal dan menerima kebenaran/ kebaikan, sedangkan keburukan adalah ‘pendatang baru’ yang kemudian menyusup ke dalam hati manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Kebaikan itu adalah sesuatu yang menjadikan jiwa manusia tenang dan hatinya tenteram”[17].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan hamba-hamba-Nya di atas (fitrah cenderung) mengenal kebenaran, merasa tenang kepadanya dan menerimanya. Allah menjadikan tabi’at bawaan manusia (cenderung) mencintai kebenaran dan membenci kebalikannya (keburukan). Ini termasuk dalam makna hadits riwayat ‘Iyadh bin Himar رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ““(Allah ﷻ berfirman): Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semua dalam keadaan hanif (lurus dan cenderung pada kebenaran) dan sungguh (kemudian) para Setan mendatangi mereka lalu memalingkan mereka dari agama mereka…”[18]…
Oleh karena itu, Allah menamakan hal-hal yang diperintahkan-Nya (dalam Islam) dengan ‘al-ma’ruf’ (sesuatu yang dikenal/ dicintai oleh hati) dan hal-hal yang dilarang-Nya dengan ‘al-munkar’ (kemungkaran/ sesuatu yang tidak dikenal dan dibenci oleh hati). Allah ﷻ berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ}
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS an-Nahl: 90).
Dan Dia ﷻ berfirman tentang sifat Rasulullah ﷺ:
{يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ}
“Dia menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar (keburukan), serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS al-A’raaf: 157).
Allah mengabarkan bahwa hati orang-orang yang beriman selalu tenteram dengan berdzikir kepada-Nya. Hati yang telah dirasuki cahaya iman dan lapang menerimanya maka akan merasa tenang, tenteram dan (mudah) menerima kebenaran, serta selalu berpaling, membenci dan tidak mau menerima kebatilan (keburukan)”[19].
Upaya mengembalikan hati pada fitrahnya
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah رضي الله عنه yang telah kami sebutkan sebelumnya, Rasulullah ﷺ telah mengisyaratkan cara untuk mengembalikan hati pada fitrahnya dan membersihkan kotoran hitam yang menutupi permukaannya. beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba jika berbuat dosa maka akan dibubuhkan satu titik hitam di (permukaan) hatinya. Kalau dia (segera) bertaubat, meninggalkan (dosa tersebut) dan memohon ampun (kepada Allah ﷻ), maka hatinya akan bening (kembali)…”[20].
Maka upaya untuk mengembalikan hati pada fitrahnya adalah dengan kembali kepada Allah ﷻ, yaitu dengan bertaubat dari perbuatan dosa dan maksiat, serta berusaha memahami petunjuk-Nya yang memang tujuan utama Allah ﷻ menurunkannya kepada manusia adalah untuk mensucikan jiwa mereka dan membersihkan penyakit hati mereka. Allah ﷻ berfirman:
{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (diri) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (al-Qur’an) dan Al-Hikmah (Sunnah Rasulullah ﷺ). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali ‘Imraan: 164).
Makna firman-Nya “mensucikan (diri) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran penyakit hati dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah ﷻ)[21].
Al-Qur’an adalah sebaik-baik obat penyakit hati yang diturunkan oleh Allah ﷻ untuk menyembuhkan dan menghilangkan semu bentuk keburukan dan penyakit yang ada di dalam hati manusia. Allah ﷻ berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat/pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).
Dalam ayat ini, Allah ﷻ mengabarkan tentang anugerah besar yang diturunkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, yaitu al-Qur’an yang mulia, karena di dalamnya terdapat nasehat untuk menjauhi perbuatan maksiat, penyembuh bagi penyakit hati, yaitu kelemahan iman, keragu-raguan dan kerancuan dalam memahami agama, serta penyakit syahwat yang merusak hati. Juga terdapat petunjuk, yaitu bimbingan bagi orang yang merenungkan, memahami, dan mengikuti al-Qur’an ke jalan yang mengantarkannya kepada surga, serta sebab-sebab untuk mendapatkan rahmat Allah ﷻ yang terkandung di dalamnya[22].
Setelah kita memahami bahwa al-Qur’an adalah sebaik-baik obat penyembuh penyakit hati manusia dan di dalam ayat-ayatnya terdapat sebaik-baik nasehat dan peringatan untuk menghilangkan kotoran hitam yang menutupinya, sehingga hati akan mudah kembali kepada fitrahnya, maka berdasarkan pengamatan dan perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa cara dan kiat untuk membersihkan kotoran penyakit hati dan mengembalikannya kepada fitrahnya, terdapat dalam tiga poin utama, yaitu: berdo’a kepada Allah ﷻ, menghilangkan al-gaflah (kelalaian hati) dan melakukan tazkiyatun nafs (pensucian jiwa untuk menundukannya di jalan Allah ﷻ).
Semua ini terangkum dalam ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
اَلْمَحْبُوْسُ مَنْ حُبِسَ قَلْبُه عَنْ رَبِّهِ تعالى وَالْمَأْسُوْرُ مَنْ أَسِرَه هَواهُ
“Orang yang dipenjara adalah orang yang terpenjara (terhalangi) hatinya dari Rabb-nya (Allah) ﷻ, dan orang yang tertawan (terbelenggu) adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya”[23].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Semua (keburukan dan kesesatan) bersumber dari kelalaian hati dan memperturutkan hawa nafsu, karena dua sifat buruk inilah yang memadamkan cahaya dan membutakan mata hati.
Allah ﷻ berfirman:
{وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا}
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari berdzikir (mengingat) Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas (rusak dan buruk)” (QS al-Kahfi: 28)[24]”.
Kemudahan dan taufik dari Allah ﷻ
Semua kebaikan ada di tangan Allah ﷻ dan Dia-lah yang maha kuasa untuk membukakan pintu-pintu kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menghalanginya dari siapa yang dikehendaki-Nya.
Maka memohon kemudahan dan taufik dari Allah ﷻ adalah sebab yang paling utama untuk meraih segala kebaikan.
Dalam hadits qudsi yang shahih, Allah ﷻ berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk (taufik) kepada-Ku niscaya Aku akan berikan petunjuk kepada kalian”[25].
Allah ﷻ Maha Pemurah, luas rahmat (kasih sayang)-Nya dan berlimpah kebaikan-kebaikan-Nya. Kebaikan terbesar dari-Nya di dunia ini adalah taufik untuk meniti jalan keridhaan-Nya dan kembalinya hati manusia pada fitrah kebaikannya. Maka kebaikan besar ini tidak mungkin dihalangi-Nya dari hamba-hamba-Nya yang beriman dan bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya.
Allah ﷻ berfirman:
{إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ}
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS al-A’raaf: 56).
Bahkan Allah ﷻ mempunyai nama-nama yang maha indah dan menunjukkan makna sempurna dan luas-Nya kebaikan yang Dia ﷻ limpahkan kepada hamba-hamba-Nya. Misalnya: al-Muhsin (Maha berbuat kebaikan kepada hamba-hamba-Nya), al-Barr (Maha melimpahkan kebaikan), al-Wahhab (Maha Pemberi anugerah yang berlimpah), al-Mannan (Maha Pemberi karunia yang luas), al-Fattah (Maha Pembuka pintu-pintu kebaikan) dan lain-lain.
Di samping itu, bentuk kemudahan lain dari Allah ﷻ, selain kecenderungan hati manusia untuk mudah menerima kebenaran, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, adalah petunjuk-Nya dalam ayat-ayat al-Qur’an yang sangat dimudahkan memahaminya bagi orang-orang yang mau mempelajarinya.
Allah ﷻ berfirman:
{وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ}
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran (petunjuk kebaikan), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran (darinya)?” (QS al-Qamar: 17).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Makna ayat ini: Sungguh Kami telah mudahkan al-Qur’an yang mulia, dalam lafazhnya untuk dihafalkan dan disampaikan (kepada orang lain), juga dalam (kandungan) maknanya untuk dipahami dan dimengerti. Karena al-Qur’an adalah perkataan yang paling indah lafazhnya, yang paling benar (kandungan) maknanya, dan paling jelas penafsirannya. Maka setiap orang yang menghadapkan diri (bersungguh-sungguh mempelajari)nya, Allah akan memudahkan baginya dan meringankannya (untuk mencapai) tujuan tersebut…
Salah seorang ulama Salaf mengomentari ayat ini dengan berkata: “Apakah ada orang yang (mau bersungguh-sungguh) menuntut ilmu (mempelajari al-Qur’an) sehingga Allah akan menolongnya?”.
Oleh karena itu, Allah mengajak (memotivasi) hamba-hamba-Nya untuk menghadapkan diri dan (bersungguh-sungguh) mempelajari al-Qur’an, dalam firman-Nya (di akhir ayat ini):
“…Maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?”[26].
Penutup
Semoga Allah ﷻ menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu mensyukuri nikmat-Nya, utamanya nikmat taufik dan kemudahan dalam melakukan kebaikan dan menjauhi kebueukan.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah ﷻ dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia ﷻ memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk menempuh jalan keridhaan-Nya. Sesungguhnya Dia ﷻ maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 6 Jumadal akhirah 1437 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (11/29).
[2] HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
[3] HR al-Hakim (1/45), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Imam al-Haitsami dan Syaikh al-Albani (lihat “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” no. 1585).
[4] Lihat “Tafsir Ibni Katsir” (3/572).
[5] HSR al-Bukhari (1/465) dan Muslim (no. 2658).
[6] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 640).
[7] HSR al-Bukhari (1/465) dan Muslim (no. 2658).
[8] HSR Muslim (no. 2865).
[9] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (4/245).
[10] Lihat “Tafsir Ibni Katsir” (2/347).
[11] HR Ibnu Majah (no. 4244), al-Hakim (1/45 dan 2/562) dan Ahmad (2/297), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[12] Lihat “Fathul Qadiir” (5/565), “Aisarut tafaasiir” (4/378) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 915).
[13] HSR Muslim (no. 144).
[14] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam kitab “Syarhu shahih Muslim” (2/173).
[15] Kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/20).
[16] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).
[17] HR Ahmad (4/194), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Rajab dalam “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hlmn 251) dan Syaikh al-Albani dalam “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 2881).
[18] HSR Muslim (no. 2865).
[19] Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hlmn 253).
[20] HR Ibnu Majah (no. 4244), al-Hakim (1/45 dan 2/562) dan Ahmad (2/297), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[21] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).
[22] Lihat kitab “Tafsir Ibni Katsir” (2/553) dan “Fathul Qadiir” (2/656).
[23] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib minal kalimith thayyib” (hal. 67).
[24] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 56).
[25] HSR Muslim (no. 2577).
[26] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (halaman 825).