Jadilah Ahli Al Quran

بسم الله الرحمن الرحيم

Siapa yang tidak ingin menjadi ahli al-Qur’an? Inilah kedudukan hamba yang paling mulia dan tinggi di sisi Allah . Cukuplah hadits Rasulullah berikut ini menunjukkan agungnya kedudukan ini:

Dari Anas bin Malik beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada ‘ahli’ Allah”. Para Shahabat bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah mereka?. Beliau bersabda: “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allah dan diistimewakan di sisi-Nya”[1].

Hadits ini menunjukkan tingginya kedudukan dan kemuliaan orang-orang yang menjadi ahli al-Qur’an, karena mereka disebut sebagai ‘ahli Allah’ artinya merekalah para wali (kekasih) Allah yang sangat dekat dan istimewa di sisi-Nya, sebagaimana seorang manusia dekat dengan ‘ahli’ (keluarga)nya. Gelar ini merupakan bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka[2].

Keutamaan dan kemuliaan besar ini tentu menjadikan setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berusaha untuk mengejar dan meraihnya. Apalagi Allah telah menjanjikan bahwa al-Qur’an akan Allah mudahkan sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman, termasuk dalam hal ini, kemudahan untuk memahami kandungannya dan meraih kemuliaan sebagai ahlinya.

Allah berfirman:

{وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ}

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan/pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?” (QS al-Qamar: 17).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Makna ayat ini: Sungguh Kami telah mudahkan al-Qur’an yang mulia, dalam lafazhnya untuk dihafalkan dan disampaikan (kepada orang lain), juga dalam (kandungan) maknanya untuk dipahami dan dimengerti. Karena al-Qur’an adalah perkataan yang paling indah lafazhnya, yang paling benar (kandungan) maknanya, dan paling jelas penafsirannya. Maka setiap orang yang menghadapkan diri (bersungguh-sungguh mempelajari)nya, Allah akan memudahkan baginya dan meringankannya (untuk mencapai) tujuan tersebut.

Peringatan/pelajaran (yang dimaksud dalam ayat ini) meliputi semua bentuk peringatan/pelajaran bagi manusia, (baik itu) berupa (penjelasan) halal dan haram, hukum-hukum perintah dan larangan, hukum-hukum balasan (ganjaran pahala atau siksaan di akhirat), nasehat-nasehat dan perenungan, keyakinan-keyakinan yang bermanfaat serta berita-berita yang benar.

Oleh karena itu, ilmu (tentang) al-Qur’an, (baik dalam hal) menghafalnya atau memahami tafsirannya, adalah ilmu yang paling mudah dan paling tinggi (kedudukannya dalam Islam) secara mutlak. Inilah ilmu yang bermanfaat, jika seorang hamba (bersungguh-sungguh) mempelajarinya maka dia akan ditolong (dimudahkan oleh Allah untuk memahaminya). Salah seorang ulama Salaf mengomentari ayat ini dengan berkata: “Apakah ada orang yang (mau bersungguh-sungguh) menuntut ilmu (mempelajari al-Qur’an) sehingga Allah akan menolongnya?”.

Oleh karena itu, Allah mengajak (memotivasi) hamba-hamba-Nya untuk menghadapkan diri dan (bersungguh-sungguh) mempelajari al-Qur’an, dalam firman-Nya (di akhir ayat ini):

“…Maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?”[3].

 

Tingginya kedudukan dan keutamaan orang yang memahami al-Qur’an

Cukuplah firman Allah berikut ini yang menunjukkan tingginya kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang dianugerahi pemahaman al-Qur’an yang benar:

{قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” (QS Yunus:58).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah berikan kepada mereka, yaitu pemahaman terhadap al-Qur’an dan kesempurnaan iman, dan Dia menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan mulia dari semua kesenangan dunia yang berlomba-lomba dikejar oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “al-Qur’an”, yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah ), bahkan keduanya merupakan ilmu yangh paling tinggi dan amal yang paling utama[4].

Dalam sebuah hadits yang shahih, dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwa Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain)”[5].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mempelajari al-Qur’an, dalam hal membacanya dengan tajwid yang benar, memahami kandungannya dan berusaha menghafalnya dengan baik, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, agar petunjuk dan kebaikan yang terkandung di dalamnya tersebar dan di amalkan manusia. Bahkan sebagian dari para ulama mengatakan bahwa barangsiapa yang mengikhlaskan niatnya dan selalu menyibukkan diri dengan mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya, maka termasuk ke dalam golongan para Nabi u (pengikut para Nabi u yang setia)”[6].

Imam asy-Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang mempelajari al-Qur’an maka akan tinggi kedudukannya”[7].

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an (dalam hadits ini) mencakup mempelajari dan mengajarkan lafazhnya, juga mempelajari dan mengajarkan kandungan maknanya”[8].

Dan masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang menjelaskan hal ini, cukuplah ayat dan hadits di atas sebagai contoh yang menggambarkan agungnya kedudukan orang yang memahami al-Qur’an.

 

Al-Qur’an sumber petunjuk kebaikan dan obat penyakit hati

Agungnya kedudukan orang yang memahami al-Qur’an, juga semakin terlihat jelas dengan merenungkan besarnya fungsi diturunkannya al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sumber petunjuk dalam kebaikan dan obat penyakit hati manusia.

Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat/pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).

Dalam ayat ini, Allah mengabarkan tentang anugerah besar yang diturunkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, yaitu al-Qur’an yang mulia, karena di dalamnya terdapat nasehat untuk menjauhi perbuatan maksiat, penyembuh bagi penyakit hati, yaitu kelemahan iman, keragu-raguan dan kerancuan dalam memahami agama, serta penyakit syahwat yang merusak hati. Juga terdapat petunjuk, yaitu bimbingan bagi orang yang merenungkan, memahami, dan mengikuti al-Qur’an ke jalan yang mengantarkannya kepada surga, serta sebab-sebab untuk mendapatkan rahmat Allah yang terkandung di dalamnya[9].

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا * وَأَنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا}

“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’: 9).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) Allah mengabarkan tentang kemuliaan dan keagungan al-Qur’an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan mulia dalam keyakinan, amal dan akhlak. Sehingga barangsiapa yang mengikuti petunjuk yang diserukan dalam al-Qur’an, maka dia akan menjadi orang yang paling sempurna, paling lurus dan paling terbimbing dalam segala urusannya”[10].

Imam Ibnul Qayyim menegaskan tingginya kedudukan dan sempurnanya petunjuk al-Qur’an dalam semua kebaikan dan keutamaan, beliau berkata: “Tidak ada satu kitabpun di kolong langit yang mengandung bukti-bukti dan argumentasi tentang perkara-perkara mulia yang dituntut (dalam Islam), yaitu tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, hari kebangkitan dan kenabian, juga sanggahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan pemikiran-pemikiran yang rusak, tidak ada satupun yang seperti al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an menjamin dan menanggung semua itu dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, paling masuk akal, serta paling jelas penjabarannya. Maka al-Qur’an merupakan obat penyembuh yang sejati bagi penyakit-penyakit syubhat (kerancuan dalam memahami Islam) dan keragu-raguan.

Akan tetapi semua itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an. Barangsiapa yang dinugerahkan oleh Allah hal itu, maka dia akan memandang (dan membedakan) kebenaran dan kebatilan secara jelas dengan hatinya, sebagaimana dia memandang (dan membedakan dengan jelas) siang dan malam hari”[11].

Syarat mendapatkan manfaat dari petunjuk al-Qur’an

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Jika kamu ingin mendapatkan manfaat dari (petunjuk) al-Qur’an, maka himpunkanlah hatimu ketika membaca dan menyimaknya, fokuskanlah pendengaranmu, serta hadirkanlah dirimu sebagaimana hamba Allah yang disampaikan kepadanya al-Qur’an ini (Nabi Muhammad ) menghadirkan dirinya (ketika diturunkan al-Qur’an kepada beliau ). Karena sesungguhnya al-Qur’an ini (sejatinya) merupakan petunjuk bagimu dari Allah melalui lisan Rasul-Nya ”[12].

Petunjuk dan manfaat al-Qur’an sebagai nasehat dan peringatan, hanya akan Allah anugerahkan kepada hamba-Nya yang memiliki hati yang hidup (sehat dan jauh dari kotoran penyakit hati) dan terbuka untuk menerima petunjuk-Nya. Sebagaimana makna firman-Nya:

{إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ}

“Sesungguhnya pada yang demikian itu (kisah-kisah dalam al-Qur’an) benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati (yang hidup/bersih) atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).

Juga firman-Nya:

{إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ. لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ}

“al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir” (QS Yaasiin: 69-70).

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Yang dimaksud dengan hati (dalam ayat) ini adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan/petnjuk) dari Allah”[13].

Oleh karena itu, upaya untuk memasukkan makna dan kandungan al-Qur’an ke dalam hati, ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan manfaat dan nasehat dari petunjuk al-Qur’an. Dengan inilah Allah memuji hamba-hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya:

{بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الظَّالِمُونَ}

“Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada (hati) orang-orang yang berilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim” (QS al-‘Ankabuut: 49).

Upaya ini tidak lain adalah berusaha membaca al-Qur’an dengan memahami maknanya, merenungkan kandungnya dan menghayati petunjuknya, sebagaimana ucapan Imam Ibnul Qayyim yang kami nukilkan di atas: “…Akan tetapi semua (manfaat dan petunjuk al-Qur’an) itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an”[14].

Tadabbur (renungkan) dan hayati kandungan al-Qur’an !

Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan direnungkan maknanya, serta dihayati petunjuknya, agar bisa menjadi sebab kebaikan bagi diri manusia, lahir dan batin. Allah berfirman:

{كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ}

“Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad: 29).

Imam al-Hasan al-Bashri berkata: “Demi Allah, bukanlah mentadabburi al-Qur’an dengan (hanya) dengan menghafal huruf-huruf (lafazh)nya tapi melalaikan hukum-hukum (kandungan)nya. Sampai-sampai salah seorang dari mereka berkata: “Aku telah membaca al-Qur’an) seluruhnya”, tapi tidak terlihat pada dirinya (aplikasi terhadap al-Qur’an) dalam akhlak dan perbuatannya”[15].

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Adapun memperhatikan (merenungkan) al-Qur’an, artinya adalah memfokuskan mata hati terhadap kandungan maknanya serta menghimpun pikiran untuk merenungkan dan memahaminya. Inilah maksud (tujuan) diturunkannya al-Qur’an, bukan hanya sekedar dibaca (lafazhnya) tanpa pemahaman dan penghayatan”[16].

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Inilah hikmah diturunkannya al-Qur’an, agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, sehingga mereka bisa mengeluarkan ilmunya, serta mengamati rahasia dan hikmahnya. Maka dengan merenungkan, menghayati dan memikirkan (kandungan) al-Qur’an berulang kali, akan diraih keberkahan dan kebaikannya. Hal ini menunjukkan anjuran untuk merenungkan (makna) al-Qur’an, bahkan ini termasuk amal (shaleh) yang paling utama dan sesungguhnya membaca al-Qur’an yang disertai perenungan terhadap maknanya lebih utama dari pada membacanya dengan cepat tanpa disertai perenungan”[17].

Inilah metode para Shahabat Rasulullah dan para Tabi’in (generasi setelah para Shahabat ) ketika mempelajari dan mendalami al-Qur’an. Imam Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Habib as-Sulami al-Kufi berkata: “Kami mempelajari al-Qur’an dari suatu kaum (para Shahabat ); ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas’ud dan selain mereka berdua , mereka menyampaikan kepada kami bahwa dulunya ketika mereka mempelajari (al-Qur’an) dari Rasulullah sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewati ayat-ayat tersebut sampai memahami kandungan isinya, dalam ilmu dan amal. Mereka berkata: “kami (dulu) belajar al-Qur’an, memahami kandungannya dan pengamalannya secara keseluruhan”[18].

Di dalam al-Qur’an, Allah menerangkan keburukan besar pada diri orang-orang munafik, yaitu hati mereka yang tertutup untuk menerima kebenaran, karena mereka berpaling dari merenungkan dan menghayati kandungan al-Qur’an. Allah berfirman:

{أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا}

“Apakah mereka tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (tertutup untuk menerima kebenaran)?” (QS Muhammad: 24).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Arti ayat ini: apakah orang yang yang berpaling (munafik) itu tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an dan menghayatinya dengan benar? Padahal kalau mereka (mau) mentadabburinya, maka al-Qur’an akan membimbing mereka kepada semua kebaikan, memperingatkan mereka dari semua keburukan, mengisi hati mereka dengan iman (kepada Allah ) dan jiwa meraka dengan keyakinan (yang benar). Sungguh al-Qur’an akan membawa mereka meraih kedudukan yang tinggi (di sisi Allah ) dan karunia yang sangat agung (dari-Nya). Al-Qur’an akan menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kapada (keridhaan) Allah, kepada Surga disertai (penjelasan tentang) hal-hal yang menyempurnakan kenikmatannya atau hal-hal yang menghalangi untuk meraihnya, juga menjelaskan jalan yang mengantarkan kapada azab (Neraka) dan hal-hal yang harus dijauhi. Al-Qur’an akan mengenalkan mereka kepada Allah (dengan menjeaskan) nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) dan kebaikan-Nya (yang maha agung). Al-Qur’an akan membangkitkan kerinduan mereka untuk (meraih) pahala yang besar (di sisi-Nya) dan menjadikan mereka takut akan siksaan-Nya yang pedih”[19].

Siapakah ahli al-Qur’an yang hakiki?

Imam Ibnul Qayyim, ketika menjelaskan makna firman Allah :

{الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}

“Orang-orang yang telah kami beri (turunkan) al-kitab (al-Qur’an) kepada mereka, mereka mentilawah (membaca)nya dengan tilawah yang sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (dunia dan akhirat)” (QS al-Baqarah: 121).

Beliau berkata: “Tilawah al-Qur-an meliputi tilwah (membaca) lafazhnya dan tilawah (memahami) makna (kandungan)nya. Tilawah makna al-Qur-an lebih mulia (utama) daripada sekedar tilawah lafazhnya. Dan orang-orang yang memahami kandungan al-Qur-an merekalah ahli al-Qur-an, yang terpuji di dunia dan akhirat, karena merekalah yang ahli sejati dalam membaca dan mengikuti (petunjuk) al-Qur-an”[20].

Inilah makna hadits yang kami sebutkan di awal tulisan ini:

Dari Anas bin Malik beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada ‘ahli’ Allah”. Para Shahabat bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah mereka?. Beliau bersabda: “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allah dan diistimewakan di sisi-Nya”[21].

Maka ahli al-Qur-an adalah orang-orang beriman yang berusaha menghafalnya dan membacanya dengan benar, serta memahami dan mengamalkan kandungannya, jadi bukan hanya sekedar membaca dan menghafal lafazhnya[22].

Oleh karena itu, Rasulullah mencela dan melaknat orang-orang Khawarij, padahal banyak di antara mereka yang menghafal dan banyak membaca al-Qur-an, tapi mereka tidak memahaminya dan tidak mengambil manfaat dari petunjuknya[23]. Beliau bersabda: “Mereka (orang-orang Khawarij) pandai membaca (menghafal) al-Qur-an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka”[24].

Inilah makna ucapan dari salah seorang ulama Salaf yang berkata: “Terkadang ada orang yang (pandai) membaca al-Qur-an, tapi al-Qur-an (justru) melaknat dirinya”[25].

Dalam hal ini, Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tujuan dari membaca al-Qur’an adalah untuk memahami, merenungkan, mendalami (kandungan maknanya) dan mengamalkannya. Adapun membaca dan menghafalnya adalah sarana untuk (memahami) isinya, sebagaimana ucapan salah seorang ulama Salaf: “al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah bacaannya sebagai amalan. Oleh karena itu, maka (yang disebut) ahli al-Qur-an adalah orang-orang yang memahami isinya dan mengamalkan (petunjuk)nya, meskipun mereka tidak menghafalnya di luar kepala. Adapun orang yang menghafal al-Qur’an, tapi tidak memahami (kandungan)nya dan tidak mengamalkan petnjuknya, maka dia bukanlah ahli al-Qur-an, meskipun dia mampu menegakkan huruf-hurufnya (lafazhnya) seperti tegaknya anak panah…Juga dikarenakan keimanan adalah amalan yang paling utama, sedangkan memahami dan merenungkan al-Qur’an inilah yang membuahkan iman. Adapun hanya sekedar membacanya tanpa memahami dan merenungkannya, maka ini bisa dilakukan oleh orang yang shaleh maupun jahat, dan orang yang beriman maupun munafik, sebagaimana sabda Rasulullah : “Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti (tumbuhan) raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit”[26].

Penutup

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih semangat dan bersungguh-sungguh dalam membaca al-Qur’an, berusaha menghafalnya dan memahami kandungan maknanya, untuk memudahkan kita – dengan izin Allah – merenungkan dan menghayati isinya yang merupakan sebab utama untuk menumbuhkan dan menyempurnakan keimanan kita. Allah berfirman:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}

“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang agung” (QS al-Israa’: 9).

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia menjadikan kita semua sebagai ahli al-Qur’an, karena mereka itulah orang-orang yang dicintai Allah dan diistimewakan di sisi-Nya. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 22 Dzulqa’dah 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] HR Ahmad (3/127), Ibnu Majah (1/78) dan al-Hakim (1/743), dinyatakan hasan oleh Imam al-‘Iraqi (Takhrij al-Ihya 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful khafaa’, hal. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.

[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/67).

[3] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (halaman 825).

[4] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/51).

[5] HSR al-Bukhari (no. 4739).

[6] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/499).

[7] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Mifaahu daaris sa’aadah” (1/165).

[8] Kitab “Mifaahu daaris sa’aadah” (1/74).

[9] Lihat kitab “Tafsir Ibni Katsir” (2/553) dan “Fathul Qadiir” (2/656).

[10] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (halaman 454).

[11] Kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/44).

[12] Kitab “al-Fawaa-id” (hal. 3).

[13] Kitab “al-Fawaa-id” (hal. 3).

[14] Kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/44).

[15] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab “Tafsir Ibni Katsir” (4/43).

[16] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/451).

[17] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (halaman 712).

[18] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Daqa-iqut tafsiir” (2/227) dan adz-Dzahabi dalam “Siyaru a’laamin nubalaa’” (4/269).

[19] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (halaman 788).

[20] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/42).

[21] HR Ahmad (3/127), Ibnu Majah (1/78) dan al-Hakim (1/743), dinyatakan hasan oleh Imam al-‘Iraqi (Takhrij al-Ihya 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful khafaa’, hal. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.

[22] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/67).

[23] Lihat kitab “Syarhu Shahih Muslim” (7/159).

[24] HSR al-Bukhari (3/1219) dan Muslim (no. 1064).

[25] Dinukil oleh Imam Abul Fadhl al-Alusy dalam tafsir beliau “Ruuhul ma’aa-ni” (22/192).

[26] Kitab “Zaadul ma’aad” (1/323). Hadits di atas riwayat al-Bukhari (no. 5111) dan Muslim (no. 797).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *