Idola Keluarga Muslim (Seri 1): Fenomena Pemilihan Idola dalam Masyarakat

بسم الله الرحمن الرحيم

Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف

Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 3158 dan Muslim, no. 2638).

Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Dalam banyak ayat al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi ‘alahimusalam untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud: 120).

Ketika menjelaskan makna ayat ini, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Yaitu supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….” (Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 392).

Fenomena Pemilihan Idola dalam Masyarakat

Jika kita memperhatikan kondisi mayoritas kaum muslimin, kita akan mendapati suatu kenyataan yang sangat memprihatikan, karena kebanyakan mereka justru mengagumi dan mengidolai orang-orang yang tingkah laku dan gaya hidup mereka sangat bertentangan dengan ajaran Islam, seperti para penyanyi, bintang film, pelawak dan bintang olah raga. Bahkan, mereka lebih mengenal nama-nama idola mereka tersebut daripada nama-nama para Nabi ‘alaihissalam dan orang-orang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kenyataan ini tentu saja sangat buruk dan berakibat fatal, karena setiap pengidola, tentu akan membeo segala tingkah laku dan gaya hidup idolanya, tanpa menimbang lagi apakah hal itu bertentangan dengan nilai-nilai agama atau tidak, karena toh memang mereka mengidolakannya bukan karena agama, tapi karena pertimbangan dunia dan hawa nafsu semata-mata.

Lebih fatal lagi, jika pengidolaan ini berakibat mereka mengikuti sang idola meskipun dalam hal-hal yang merusak keimanan dan akidah Islam, dan lambat laun sampai pada tahapan mengikuti keyakinan kafir dan akidah sesat yang dianut sang idola tersebut. Karena merupakan watak bawaan dalam jiwa manusia, bahwa kesamaan dalam hal-hal yang lahir antara seorang manusia dengan manusia lainnya, lambat laun akan mewariskan kesamaan dalam batin antara keduanya, disadari atau tidak. Ini berarti jika seorang muslim suka meniru tingkah laku dan gaya hidup orang kafir, maka lambat laun hatinya akan menerima dan mengikuti keyakinan rusak orang kafir tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dengan keras bahaya perbuatan ini dalam sabda beliau, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad (2/50) dan Abu Dawud (no. 4031), dinyatakan hasan shahih oleh Syaikh al-Albani).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Sesungguhnya, kesamaan dalam (penampilan) lahir (antara dua orang manusia) akan mewariskan kasih sayang, cinta dan loyalitas (antara keduanya) dalam batin/ hati, sebagaimana kecintaan dalam hati akan mewariskan kesamaan dalam (penampilan) lahir.

Hal ini dapat dirasakan dan dibuktikan dengan percobaan. Sampai-sampai (misalnya ada) dua orang yang berasal dari satu negeri, kemudian mereka bertemu di negeri asing, maka (akan terjalin) di antara mereka berdua kasih sayang dan cinta yang sangat mendalam, meskipun di negeri asal mereka keduanya tidak saling mengenal atau (bahkan saling memusuhi.” (Kitab Iqtidha-ush Shiraathal Mustaqiim, hal. 221).

-Bersambung insya Allah

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com

2 comments

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *