Menghidupkan Sunnah Rasulullah (2/2)

Semangat para ulama Ahlus Sunnah dalam meneladani sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para ulama Ahlus Sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan mereka.

Sampai-sampai Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata, “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka lakukanlah!”[1]

Demikian pula ucapan Imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i[2], “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya.”[3]

Bahkan, semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia).”[4]

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang setinggi-tingginya.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[5], “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi[6] adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di jamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan, “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali aku selalu mengamalkannya…“. Maka, (ketika) seorang ulama Ahlus Sunnah di zamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus Sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama), maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham[7], ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham.

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu jaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus Sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus Sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”[8]

Senada dengan ucapan di atas, Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam.”[9]

Bahkan para ulama Ahlus Sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan, “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”[10]

Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya[11]. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[12] hidup bagimu.” (Qs. al-Anfaal: 24).

Peringatan dan nasihat penting

Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus Sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim jaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim jaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja, adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.

Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya, “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan….”

Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, para ulama Ahlus Sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamnya, apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku, maka dia bukan termasuk golonganku.[13] Dulunya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekwensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya.”[14]

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini, dalam sebuah nasihat beliau yang sangat berharga[15], bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakuakan perbuatan tersebut dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Qs. al-An’aam: 110).

Mirip dengan kasus di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin memberatkan/membebani mereka. Maka Syaikh al-‘Utsaimin berkata, “Orang yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang yang menyembunyikan ilmu[16], karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat) hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran, barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan bertambah pahala (keutamaan)nya. Adapun jika dia (sengaja) tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskan kepada umatnya hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam)  hal-hal yang wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala (yang besar).…”[17]

Penutup

Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semangatnya para ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika kita mengahadap-Nya nanti?

Renungkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya.” (Qs. al-Israa: 71).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Salah seorang ulama salaf berkata, ‘Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari Kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[18]

Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus Sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[19], ketika beliau ditanya, “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”, maka beliau menjawab, “Apakah aku tidak ingin (pada hari Kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”[20]

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, amin.

Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .[21]

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 9 Dzulqa’dah 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A

Artikel www.manisnyaiman.com


[1] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/216).

[2] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari kalangan atba’ut tabi’in (wafat setelah 140 H), lihat kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 381).

[3] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/219).

[4] Ibid (1/168).

[5] Kitab “Ighatsatul Lahfaan Min Mashaayidisy Syaithaan” (1/70).

[6] Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Abul Hasan al-Kindi al-Khuraasaani (wafat 242 H), lihat biografi beliau dalam “Siyaru Alaamin Nubala‘” (12/195).

[7] HR Ibnu Majah (no. 3950) dan lain-lain, hadits sangat lemah, karena dalam sanadnya ada Abu Khalaf  Haazim bin ‘Ahta’ al-A’ma, dia adalah seorang perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), lihat kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 381). Hadits ini dilemahkan oleh al-‘Iraqi, al-Haitsami dan al-Albani.

[8] Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah Qs. an-Nisaa’: 115.

[9] Dinukil oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/220).

[10] Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).

[11] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “Al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’).

[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[13] HSR. al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 1401).

[14] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (3/265).

[15] Lihat nasehat tersebut dalam kitab “Washaaya Wa Taujiihaat Li Tullaabil ‘Ilmi” (1/55-57).

[16] Ini adalah termasuk dosa besar, berdasarkan HR Ibnu Majah (no. 266) dan dinyatakan shahih  oleh Syaikh al-Albani.

[17] Liqa-aatul Baabil Maftuuh (1/388-389), pertanyaan no. 525.

[18] Tafsir Ibnu Katsir (3/73).

[19] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 166).

[20] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu Daaris Sa’aadah” (1/74).

[21] Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Baghdad” (9/349).

2 comments

  1. Assalamu’alaykum Ustadz,
    Ana ingin bertanya seputar Bekam.

    Ketika seseorang ingin berbekam di suatu Klinik, dia melihat Daftar Tarif, disitu tertulis: Bekam 60rb, Refleksi 55rb..dst.

    Ditempat Klinik Sehat yg lain, SETELAH selesai berbekam, si pasien ini bertanya, ‘Berapa pak?’, dijawab si tukang Bekam, ’60rb’. Atau bahkan SEBELUM berbekam, si pasien bertanya, ‘kalo bekam disini berapa pak?’, dijawab, ’60rb’.

    Yang أنا tahu, memberikan upah kepada tukang bekam, dibolehkan krn ada contoh dari Rasul, selama tidak pasang tarif.
    Hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata :“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan beliau memberi upah kepada orang yang membekam beliau. Seandainya upah bekam itu haram, tentu beliau tidak akan memberikan padanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Lalu, Bagaimana hukumnya menetapkan tarif dlm berbekam seperti contoh kasus2 di atas? Mohon pencerahannya. ‎​جَزَاك اللهُ خَيْرً

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *