Ustadz Abdullah Taslim MA
Barangkali masih banyak di antara kaum muslimin yang belum memahami arti penting-nya bersandar dan bergantung kepada Allah ta’ala dalam semua keadaan hamba. Bahkan hal ini menurut sebagian orang terkesan sebagai sesuatu yang menunjukkan kekurangan dan kelemahan, disebabkan anggapan kebanyakan orang yang menilai bahwa kemandirian manusia adalah kemuliaan, sedangkan ketergantungan kepada selain dirinya adalah kelemahan dan kekurangan, tanpa membedakan kepada siapa ketergantungan tersebut ditujukan.
Memang anggapan ini bisa dikatakan benar jika ketergantungan tersebut ditujukan kepada makhluk, siapapun dia, karena tidak ada satu makhlukpun yang sempurna dan sifat dasar makhluk lemah dan penuh kekurangan, maka apa gunanya bergantung kepada sesuatu yang juga lemah dan kurang seperti diri kita?
Akan tetapi, jika ketergantungan dan penyandaran diri ini ditujukan kepada Dzat Yang Maha Sempurna sifat-sifat-Nya, Maha Kaya dan Maha kuasa atas segala sesuatu, bahkan semua makhluk tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada pertolongan dan karunia-Nya, bukankah ini merupakan sesuatu yang wajar dan semestinya diusahakan oleh manusia? Camkanlah makna firman Allah ta’ala:
{ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ }
“Hai manusia, kamulah yang butuh (bergantung) kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Imam Ibnu Katsir berkata: “(Dalam ayat ini) Allah ta’ala mengabarkan tentang kemaha-kayaan-Nya (sehingga Dia ta’ala tidak butuh) kepada semua makhluk-Nya, sedangkan mereka semua sangat bergantung kepada-Nya dan selalu tunduk di hadapan-Nya…Ini berarti bahwa seluruh manusia sangat butuh (bergantung) kepada-Nya dalam semua gerakan (aktifitas) dan diam mereka, sedangkan Allah ta’ala Maha Kaya pada Dzat-Nya (sehingga tidak butuh) kepada mereka”[1].
Agungnya kedudukan dan kemuliaan sifat selalu bersandar dengan benar kepada Allah ta’ala
Cukuplah sebagai argumentasi yang menunjukkan tingginya kemuliaan sifat ini adalah firman Allah ta’ala yang merupakan inti kandungan surah al-Fatihah:
{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah: 5).
Salah seorang ulama Salaf berkata: “Surah al-Fatihah adalah rahasia (inti kandungan) al-Qur’an dan rahasia al-Fatihah adalah ayat ini”[2].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan bahwa ayat ini menghimpun semua rahasia kandungan al-Qur’an[3].
Ini berarti bahwa ayat yang mulia ini adalah rahasia dan inti kandungan al-Qur’an secara keseluruhan, yang kesimpulan maknanya secara ringkas adalah ‘berelepas diri semua bentuk kesyirikan (menyekutukan Allah ta’ala) dan berlepas diri dari semua daya dan kekuatan serta hanya memasrahkan diri kepada-Nya, dengan selalu memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan hamba, baik urusan agama maupun dunia’[4].
Tingginya kedudukan sifat ini akan semakin jelas jika kita merenungkan makna ayat-ayat al-Qur’an yang menggandengkan antara sifat tawakkal (bersandar kepada Allah ta’ala) dengan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah), yang ini jelas menunjukkan bahwa kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan penyandaran diri kepada Allah ta’ala[5].
Misalnya firman Allah ta’ala dalam ayat-ayat berikut ini:
{رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلاً}
“(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung” (QS al-Muzzammil:9).
{قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا}
“Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami berserah diri” (QS al-Mulk: 29).
{وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ}
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib (tersembunyi) di langit dan di bumi, serta kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia (semata-mata), dan berserahdirilah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (QS Huud: 123).
Salah seorang ulama salaf, ketika menjelaskan tingginya kedudukan sifat ini sebagai sebab besar untuk meraih keridhaan Allah ta’ala dan kecukupan dari-Nya, beliau berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal (penyandaran dir) yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut[6].
Inilah yang terungkap dalam makna firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq:2-3).
Makna ayat ini: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya[7].
Makna agung ini lebih diperjelas dalam sabda Rasulullah ﷺ: “Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah ta’ala)?”[8].
Makna keutamaan dalam hadits di atas: hamba tersebut diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan lurus, diberi kecukupan dalam semua urusan dunia dan akhirat, serta dijaga dan dilindungi dari segala keburukan dan kejelekan, dari setan atau yang lainnya[9].
Oleh karena itulah, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tawakkal (berserah diri dan bersandar) kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezhaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah ta’ala maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan yang secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan kebaikan baginya (untuk menghapuskan dosa-dosanya) dan untuk menundukkan nafsunya, dan gangguan (dari musuh-musuhnya) yang dihilangkan darinya”[10].
Bahkan lebih dari itu semua, selalu bersandar dan bergantung kepada Allah ta’ala akan melahirkan sikap tunduk dan selalu merendahkan diri kepada Allah ta’ala, yang ini merupakan hakikat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) dan ini adalah kedudukan hamba yang paling tinggi di sisi Allah ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah, dan semakin bertambah (kuat) realisasi penghambaan diri seorang hamba (kepada Allah ta’ala) maka semakin bertambah pula kesempurnaannya (kemuliaannya) dan semakin tinggi derajatnya (di sisi Allah ta’ala).
Dan barangsiapa yang menyangka (dengan keliru) bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah dalam satu sisi, atau (dia menyangka) bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna (utama), maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”[11].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak ada jalan menuju (keridhaan) Allah yang lebih dekat dari (jalan) al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah ta’ala) dan tidak ada hijab (penghalang menuju keridhaan-Nya) yang lebih tebal dari pengakuan (membanggakan dan kagum dengan diri sendiri). Penghambaan diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-‘Ubudiyyah, (yaitu) kecintaan yang utuh dan (sikap) merendahkan diri yang sempurna (kepada Allah ta’ala).
Kedua landasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan (besarnya) anugrah dan kurunia (dari Allah ta’ala bagi hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua keburukan), yang ini akan menumbuhkan rasa cinta (kepada Allah ta’ala), dan mempersaksikan (besarnya) kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan (sikap) merendahkan diri yang sempurna (kepada Allah ta’ala)”[12].
Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah ﷺ kepada Allah ta’ala dalam doa beliau ﷺ: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”[13].
Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah ta’ala[14].
Allah ta’ala adalah al-Ganiyyu (Maha Kaya) dan ash-Shamad (Maha Sempurna sifat-sifat-Nya sehingga semua makhluk bergantung kepada-Nya)
Dua nama Allah ta’ala yang maha indah ini jika direnungkan dengan benar dan seksama akan melahirkan keyakinan kuat pada diri manusia tentang kelemahan, kebutuhan dan ketergantungan dirinya kepada Allah ta’ala dalam segala urusannya.
al-Ganiyyu (Yang Maha Kaya) adalah Dzat yang maha cukup dan tidak butuh sama sekali kepada siapapun dalam segala sesuatu, sedangkan semua makhluk selalu butuh dan bergantung kepada-Nya dalam segala urusan mereka.
Imam Ibnul Atsir berkata: “(maknanya) Dialah yang tidak butuh kepada siapapun dalam (segala) sesuatu, sedangkan semua makhluk butuh (bergantung) kepada-Nya, inilah kemahakayaan yang (bersifat) mutlak dan tidak ada satu makhlukpun yang menyertai Allah ta’ala dalam hal ini”[15].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Dialah (Allah ta’ala) yang maha kaya pada dzat-Nya, yang memiliki kemahakayaan yang sempurna dan mutlak dari semua sudut pandang dan pertimbangan, karena kemahasempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya”[16].
Bahkan sifat maha kaya dan maha sempurna Allah ta’ala ini adalah sifat yang terus-menerus ada pada dzat-Nya dan tidak mungkin lepas dari-Nya, sebagaimana sifat kekurangan, kebutuhan dan ketergantungan manusia kepada-Nya adalah sifat yang tetap dan terus-menerus diri manusia.
Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim, ketika menafsirkan firman Allah ta’ala:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}
“Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Beliau berkata: “Dalam ayat ini Allah ta’ala menjelaskan bahwa kebutuhan manusia kepada-Nya adalah perkara yang (selalu ada pada) diri mereka dan tidak mungkin lepas darinya, sebagaimana kemahakayaan dan kemahaterpujian-Nya adalah (perkara yang terus-menerus ada pada) zat-Nya. Maka kemahakayaan dan kemahaterpujian-Nya (selalu) ada pada zat-Nya dan bukan karena (adanya) perkara (lain) yang menimbulkannya, sebagaimana kebutuhan (semua makhluk) selain-Nya kepada-Nya (selalu) ada pada diri mereka dan bukan karena (adanya) perkara (lain) yang menimbulkannya”[17].
Maka Allah ta’ala Maha Kaya pada zat-Nya, Dia-lah yang memiliki kemahakayaan yang sempurna dan mutlak (tidak terbatas) dari semua segi dan tinjauan, karena kesempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Maka Allah Dia-lah Yang Maha Kaya secara pasti, karena kemahakayaan adalah kelaziman yang selalu ada pada zat-Nya, sebagaimana sifat maha menciptakan, memberi rezki, menyayangi dan maha perkasa adalah kelaziman yang selalu ada pada zat-Nya. Dialah Yang Maha Kaya lagi tidak butuh kepada makhluk-Nya sedikitpun, sementara mereka semua sangat membutuhkan dan tidak mungkin lepas dari ketergantungan kepada-Nya, karena semua makhluk butuh kepada rahmat, kebaikan, pengaturan, kecukupan dan petunjuk-Nya[18].
Sedangkan ash-Shamad adalah Penguasa yang maha sempurna sifat-sifat-Nya sehingga semua makhluk bergantung kepada-Nya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “ash-Shamad adalah penguasa yang sempurna kekuasaannya, oleh karena itu dulunya orang Arab menamakan pemimpin mereka dengan nama ini, karena banyaknya sifat terpuji (yang terkumpul) pada diri orang tersebut…Maka sesungguhnya ash-Shamad adalah zat yang dituju (dijadikan sandaran) oleh hati manusia dalam ketakutan dan pengharapan (mereka), karena banyaknya sifat baik dan terpuji (yang terhimpun) padanya. Oleh karena itu, mayoritas ulama salaf, di antaranya Abdullah bin ‘Abbas رضي الله عنه berkata: Ash-Shamad adalah penguasa yang maha sempurna kekuasaan-Nya…”[19].
Senada dengan itu, syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi berkata: “Allah ta’ala Dialah penguasa tunggal tempat menyandarkan segala kesulitan dan kebutuhan, Dialah Yang Maha Suci dan Tinggi dari (menyerupai) sifat-sifat makhluk, seperti makan, minum dan sebagainya…”[20].
Memahami dan merenungkan kedua nama Allah ta’ala yang maha indah ini akan melahirkan sifat al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri) yang benar kepada Allah ta’ala dan akan menjadikan seorang hamba semakin tunduk, merendahkan diri, mengakui kelemahan dan ketergantungan dirinya kepada Allah ta’ala.
Hal ini adalah sangat wajar, karena barangsiapa yang mengenal Allah ta’ala dengan sifat-sifat keagungan, kesempurnaan dan kemahakuasaan, maka otomatis dia akan semakin mengenal kekurangan, kelemahan dan kebutuhan dirinya kepada Allah ta’ala. Barangsiapa yang mengenal Allah ta’ala dengan sifat kemahakayaan-Nya yang sempurna dan mutlak (tidak terbatas) maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat al-faqr (selalu butuh dan bergantung kepada-Nya) dalam segala sesuatu. Barangsiapa yang mengenal Allah ta’ala dengan sifat kemahakuasaan-Nya yang sempurna maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat kelemahan yang sempurna. Barangsiapa yang mengenal Allah ta’ala dengan sifat kemuliaan-Nya yang sempurna maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat kerendahan yang sempurna (di hadapan-Nya). Barangsiapa yang mengenal Allah ta’ala dengan sifat ilmu dan hikmah-Nya yang sempurna maka dia akan mengenal dirinya dengan sifat kejahilan (kebodohan).
Dengan mengenal semua ini akan membuahkan pada diri seorang hamba keyakinan bahwa dirinya selalu bergantung dan sangat butuh kepada Allah ta’ala dalam semua perkara dan keadaan. Sifat mulia inilah yang merupakan sebab utama kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba di dunia dan di akhiat[21].
Kebutuhan dan ketergantungan hamba kepada Allah dalam urusan dunia dan agamanya
Allah ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}
“Hai manusia, kamulah yang butuh (bergantung) kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Kebutuhan ketergantungan diri manusia kepada Allah ta’ala ini bukan hanya dalam urusan-urusan dunia saja, seperti meminta rezki, udara untuk bernafas, penjagaan kesehatan dan kesemubuhan penyakit, tapi juga yang lebih penting dari semua itu, urusan kebaikan agama dan keteguhan iman seorang hamba.
Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah ta’ala berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku!, kalian semua tersesat (dari jalan yang lurus) kecuali orang yang Aku berikan petunjuk padanya, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku berikan petunjuk kepadamu. Wahai hamba-hamba-Ku!, kalian semua kelaparan (tidak memiliki makanan) kecuali orang yang Aku berikan makanan kepadanya, maka mohonlah makan (rezki) kepada-Ku niscaya Aku berikan makanan kepadamu. Wahai hamba-hamba-Ku!, kalian semua telanjang (tidak memiliki pakaian) kecuali orang yang Aku berikan pakaian kepadanya, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan pakaian kepadamu. Wahai hamba-hamba-Ku!, sesungguhnya kalian selalu berbuat salah (dosa) di malam dan siang hari, sedangkan Aku maha mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah ampun kepada-Ku niscaya Aku berikan pengampunan kepadamu”[22].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan makna bahwa semua makhluk sangat butuh dan bergantung kepada Allah ta’ala untuk memenuhi semua kemaslahatan (hidup) mereka dan menghindari segala keburukan (yang bisa menimpa) mereka, baik dalam urusan dunia maupun agama mereka. Dan semua makhluk sama sekali tidak memiliki sedikitpun (kemampuan untuk memenuhi) semua itu. Barangsiapa yang tidak mendapatkan anugerah hidayah dan rezki dari Allah, maka Dia akan menghalangi hamba itu dari keduanya di dunia, dan barangsiapa yang tidak mendapatkan pengampunan dari Allah atas dosa-dosanya, maka itulah yang akan membinasakannya di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman:
{ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا }
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahfi: 17).
Dan ayat yang semakna dengan ini sangat banyak di dalam al-Qur’an”[23].
Oleh karena itulah, Allah ta’ala memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling agung dalam al-Qur-an[24], karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (Neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan hidayah (dari Allah ta’ala) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nashrani)”[25].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah, ketika menjelaskan makna hadits qudsi di atas, beliau berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah mencintai hamba-hamba yang (selalu) memohon kepada-Nya semua kemaslahatan (kebaikan) agama dan dunia mereka, (baik itu) berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain, sebagaimana mereka memohon kepada-Nya hidayah dan pengampunan (dosa)”[26].
Buah manis dan dampak positif selalu bersandar kepada Allah ta’ala.
Buah manis terbesar dari sifat mulia ini adalah mewujudkan kesempurnaan iman, karena sifat inilah yang melahirkan hakikat al-‘ubudiyah (penghambaan diri) yang merupakan sebab sempurnanya kecintaan Allah ta’ala kepada hamba.
Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa selalu bersandar dan bergantung kepada Allah ta’ala akan melahirkan sikap tunduk dan selalu merendahkan diri kepada Allah ta’ala, yang ini merupakan hakikat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) dan ini adalah kedudukan hamba yang paling tinggi di sisi Allah ta’ala[27].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Agama (iman) yang benar tidak lain adalah merealisasikan al-‘ubudiyah (penghambaan diri) kepada Allah dalam semua segi, yaitu (dengan) merealisasikan kecintaan kepada-Nya dalam semua tingkatannya. Sejalan dengan sempurnanya al-‘ubudiyah (pada diri seorang hamba) maka sempurna pula kecintaan hamba itu kepada Rabbnya (Allah ta’ala) dan sempurna kecintaan Allah kepada hamba-Nya itu”. Sebagaimana sejalan dengan berkurangnya al-‘ubudiyah ini maka berkurang pula kecintaan tersebut”[28].
Demikian pula termasuk buah manis terbesar dari sifat agung ini adalah menumbuhkan dan menyempurnakan rasa cinta, takut dan berharap, yang ketiganya merupakan tiang utama penopang iman kepada Allah ta’ala[29].
Inilah sifat mulia para wali (kekasih) Allah ta’ala yang dipuji dalam al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا}
“Orang-orang (shaleh) yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada Rabb mereka Allah ta’ala) siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) serta mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti” (QS al-Israa’: 57).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dalam ayat ini Allah ta’ala menghimpun tiga tiang utama penopang iman (yaitu rasa cinta, takut dan berharap). Maka mencari wasilah (lahir dari) rasa cinta kepada Allah yang memotivasi (seorang hamba) untuk mendekatakan diri kepada-Nya, kemudian setelah itu Allah menyebutkan (dua penopang iman lainnya yaitu) berharap dan takut kepada-Nya. Inilah cara beribadah para wali (kekasih) Allah”[30].
Dalam ayat lain, Allah ta’ala memuji para Rasul-Nya u dengan sifat-sifat mulia ini. Allah ta’ala berfirman:
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan (perasaan) harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’” (QS al-Anbiyaa’: 90).
Tumbuh dan sempurnanya tiga sifat mulia ini (rasa cinta, takut dan berharap kepada Allah) dengan selalu bersandar kepada Allah adalah hal yang wajar, karena semakin seorang hamba mengenal dan meyakini kamahasempurnaan, kemahakuasaan dan kemahakayaan-Nya maka dengan sendirinya hamba itu akan selalu mengharapkan karunia dan rahmat-Nya serta takut terhadap kemurkaan dan siksa-Nya semata-mata. Cukuplah hal ini menjadi sebab utama terwujudnya hakikat al-‘ubudiyah (penghambaan diri) dan sekaligus merupakan sebab sempurnanya kecintaan Allah ta’ala kepada hamba, sebagaimana penjelasan di atas.
Rasulullah ﷺ sendiri menyebutkan keutamaan besar sifat-sifat mulia ini dalam hadits berikut. Dari Anas bin Malik رضي الله عنه, bahwa Rasulullah ﷺ pernah menjenguk seorang pemuda yang sedang menjelang sakaratul maut (saat menjelang kematian), maka beliau ﷺ bertanya kepada pemuda tersebut: “Apa yang kamu rasakan (dalam hatimu) saat ini?”. Pemuda itu menjawab: “Demi Allah wahai Rasulullah, sungguh (saat ini) aku (benar-benar) meng-harapkan (rahmat) Allah dan aku (benar-benar) takut akan (siksaan-Nya akibat dari) dosa-dosaku”. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah terkumpul dua sifat ini (berharap dan takut) dalam hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkannya”[31].
Bahkan lebih dari itu, sifat agung ini merupakan kunci utama untuk meraih taufik dari Allah ta’ala yang merupakan asal semua kebaikan dan sebab utama istiqamahnya seorang hamba di atas jalan yang lurus sampai di akhir hayatnya. Karena sifat mulia ini akan memotivasi seorang hamba untuk selalu berdo’a dengan sungguh-sungguh dan memperlihatkan rasa butuh yang sangat kepada Allah ta’ala, dan cukuplah ini merupakan kunci pembuka pintu-pintu kebaikan dan taufik dari Allah ta’ala.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Jika semua kebaikan (bagi seorang hamba) asalnya (dari) taufik yang ada di tangan Allah dan bukan di tangan hamba, maka kunci (pembuka pintu) taufik adalah (selalu) berdoa, menunjukkan rasa butuh/selalu bergantung, sungguh-sungguh dalam bersandar, serta selalu berharap dan takut kepada-Nya. Ketika seorang hamba telah diberi (oleh Allah ta’ala) kunci taufik ini, maka sungguh (berarti) Allah ingin membukakan (pintu taufik) baginya, tapi ketika Allah memalingkannya dari kunci taufik ini, maka (berarti) pintu kebaikan akan tertutup di hadapannya”[32].
Semakna dengan ucapan di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya berdo’a (kepada Allah ta’ala) adalah kunci (pembuka) segala kebaikan”[33].
Oleh karena itu, berdo’a kepada Allah ta’ala dengan merendahkan diri dan menampakkan rasa butuh kepada-Nya merupakan ibadah yang paling agung, karena menghimpun makna al-‘ubudiyah (penghambaan diri) seorang hamba kepada Allah, sekaligus merupakan pengakuan terhadap agungnya sifat rububiyah Allah ta’ala (menciptakan dan mengatur alam semesta beserta isinya) serta sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang lain.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berdo’a dan memohon kepada-Nya untuk menampakkan kedudukan al-‘ubudiyah (penghambaan diri), kebutuhan dan ketergantungan (hamba tersebut kepada Allah ta’ala), serta dalam rangka pengakuan agungnya (sifat) rububiyah (menciptakan dan mengatur alam semesta beserta isinya), sempurna kemahakayaan dan kemahaesaan-Nya dalam (melimpahkan) karunia dan kebaikan (kepada hamba-hamba-Nya), dan bahwa sungguh seorang hamba tidak akan bisa terlepas dari kebutuhan kepada (limpahan) karunia-Nya meskipun (hanya) sekejap mata”[34].
Berdo’a dengan makna seperti inilah yang dimaksud dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ berikut.
– Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “seutama-utama ibadah adalah berdo’a”[35].
– Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia bagi Allah ta’ala daripada do’a”[36].
Penutup
Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala menegaskan bahwa selalu bersandar kepada-Nya merupakan sebab utama kecukupan dan pertolongan dari-Nya kepada hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat lain, Allah ta’ala juga berfirman:
{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}
“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya?” (QS az-Zumar: 36).
Maka cukuplah ayat-ayat ini sebagai motivasi besar bagi kita untuk mengusahakan tum-buhnya sifat selalu bersandar dan bergantung kepada Allah ta’ala dalam segala urusan kita. Tidakkah kita ingin senantiasa mendapatkan kecukupan, pertolongan dan keberkahan dari Allah ta’ala dalam semua urusan kita? Bukankah ini tujuan utama dan puncak kebahagiaan setiap manusia di dunia dan akhirat?
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat dan menjadi motivasi kebaikan bagi kita, utamanya dalam upaya memurnikan penghambaan diri dan penyandaran hati kita hanya kepada Allah ta’ala semata-mata. Hanya kepada-Nyalah kita memohon semua kebaikan dan kemuliaan ini, sesungguhnya Dia ta’ala maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 27 Dzulqa’dah 1437 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (3/727).
[2] Dinukil oleh Imam dalam tafisr beliau “Tafsir Ibni Katsir” (1/48).
[3] Kitab “Majmuu’ul fataa-wa” (1/90).
[4] Lihat “Tafsir Ibni Katsir” (1/48) dan “Fathul Qadiir” (1/35).
[5] Lihat kitab “al-Irsyaad ila shahiihil I’tiqaad” (hal. 59).
[6] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/497).
[7] Kitab “Fathul Qadiir” (7/241).
[8] HR Abu Dawud (no. 5095) dan at-Tirmidzi (no. 3426), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani.
[9] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 235).
[10] Kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/464-465).
[11] Kitab “al-‘Ubuudiyyah” (hal 57 – Tahqiiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi, cet. Darul ashaalah).
[12] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 15 – cet. Dar al-kitab al-‘Arabi).
[13] HR at-Tirmidzi (4/577), Ibnu Majah (no. 4126) dan al-Hakim (4/358), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani.
[14] Lihat kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 34) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/16).
[15] Kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (3/739).
[16] Kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 66).
[17] Kitab “Thariiqul hijratain” (hal. 22).
[18] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 183).
[19] Kitab “ash-Shawa-‘iqul mursalah” (3/1024-1025).
[20] Kitab “Adhwa-ul bayaan” (2/187).
[21] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 185).
[22] HSR Muslim (no. 2577).
[23] Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hlmn 224).
[24] Sebagaimana dalamHR Ahmad (2/357) dari Abu Hurairah t dengan sanad yang shahih.
[25] Kitab “Majmuu’ul fata-wa” (14/37).
[26] Kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hlmn 225).
[27] Lihat halaman 4 dari tulisan ini.
[28] Kitab “al-‘Ubuudiyyah” (hlmn 107 – cet. Dar al-Ashalah thn 1419 H).
[29] Lihat kitab “Majmuu’ul fata-wa” (15/26) dan “Badaa-i’ul fawaa-id” (3/526).
[30] Kitab “Badaa-i’ul fawaa-id” (3/522). Lihat juga “Thariiqul hijratain” (hlmn 422).
[31] HR at-Tirmidzi (no. 983), Ibnu Majah (no. 4261) dan al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (no. 1001), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi, al-Mundziri dan Syaikh al-Albani dalam “Shahihut targiib wat tarhiib” (no. 3383).
[32] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 104).
[33] Kitab “Majmuu’ul fata-wa” (10/661).
[34] Kitab “Mada-rijus saalikiin” (3/102).
[35] HR al-Hakim (1/667), dinyatakan shahih oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahaa-diitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (no. 1579).
[36] HR at-Tirmidzi (5/455), Ahmad (2/362), Ibnu Hibban (3/151) dan al-Hakim (1/666), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan al-Hakim, serta dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.