عن ابن عباس قال: قال رسول الله: ((لأَنْ يُرَبِّي أَحَدُكُمْ بَعْدَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَةٍ جَرْوَ كَلْبٍ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يُرَبِّيَ وَلَدًا لِصُلْبِهِ))
Dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Setelah seratus lima puluh empat (tahun nanti) sungguh jika salah seorang di antara kamu memelihara seekor anak anjing lebih baik baginya daripada memelihara anak kandungnya”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (10/288), Tamam ar-Razi dalam “al-Fawa-id”, dan dari jalur beliau Ibnu ‘Asa-kir dalam “Tarikh Dimasyq” (23/357-358), semuanya dari jalur Abul Mugirah, dari ‘Abdullah bin as-Samth, dari Shalih bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin ‘Abbas al-Hasyimi, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Abbas , dari Rasulullah .
Hadits ini adalah hadits yang dihukumi sebagai hadits palsu oleh para ulama, dalam sanadnya ada dua rawi yang tidak dikenal keadaannya (majhulul hal), yaitu ‘Abdullah bin as-Samth dan Shalih bin ‘Ali, salah satu atau mereka berdualah yang menjadi sumber hadits palsu ini.
Imam al-Haitsami berkata: “Aku tidak mendapati ulama yang menyebutkan biaografi mereka berdua”[1].
Imam Ibnu ‘Asa-kir dalam “Tarikh Dimasyq” (23/357) dan Khathib al-Bagdadi dalam “Tarikh Bagdad” (9/470) menyebutkan biografi mereka berdua, tapi keduanya tidak menyebutkan pujian atau celaan tentang riwayat hadits mereka berdua.
Oleh karena itu, para ulama menghukumi hadits ini sebagai hadits yang palsu. Imam adz-Dzahabi berkata: “‘Abdullah bin as-Samth dari Shalih bin ‘Ali, telah meriwayatkan hadits yang palsu”[2].
Hadits ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Ibnul Qayyim[3] dan asy-Syaukani[4].
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari shahabat yang lain, yaitu Hudzaifah bin al-Yaman dari Rasulullah , dikeluarkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam “al-‘Ilalul mutanahiyah” (2/637).
Hadits ini juga sangat lemah, karena termasuk riwayat rawi yang bernama Rawwad bin al-Jarrah dari Imam Sufyan ats-Tasuri. Rawi ini hafalannya tercampur di akhir hidupnya sehingga riwayatnya ditinggalkan, dan khusus untuk riwayatnya dari Imam Sufyan ats-Tasuri maka sangat lemah”[5].
Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang tidak shahih oleh Imam Ibnul Jauzi dalam “al-‘Ilalul mutanahiyah” (2/637), bahkan beliau menukil pernyataan Imam al-‘Uqaili yang mengatakan bahwa hadits ini tidak ada asalnya dari riwayat Sufyan ats-Tsauri”.
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr al-Gifari , dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (5/126) dan al-Hakim (3/386). Hadits ini juga palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Saif bin Miskin, dia selalu meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik dan palsu[6]. Juga ada dua perawi yang majhul (tidak dikenal), yaitu al-Muntashir bin ‘Umarah dan ayahnya[7].
Hadits ini dinyatakan sangat lemah oleh Imam adz-Dzahabi[8] dan al-Haitsami[9], serta dinyatakan palsu oleh Imam Ibnul Qayyim[10] dan Imam asy-Syaukani[11].
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik , dan telah dijelaskan kelamahannya yang fatal oleh Imam asy-Syaukani[12].
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang sangat lemah bahkan palsu dari semua jalur periwayatannya.
Demikian pula semua hadits yang semakna dengan hadits di atas, yaitu tentang tercelanya memiliki keturunan, semua adalah hadits palsu dan dusta. Misalnya, hadits tentang tanda-tanda hari kiamat, di antaranya: “…Jika anak menjadi sebab kemarahan (orang tuanya) dan hujan (turun) di waktu panas”, dan hadits “Tidaklah lahir setelah seratus (tahun) seorang anak yang Allah butuh (memberikan kebaikan) kepadanya”.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya (memiliki) anak semuanya dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir…Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits di atas sebagai contoh”[13].
Dan cukuplah hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah menunjukkan rusak dan batilnya makna hadits-hadits palsu tersebut di atas.
Misalnya hadits-hadits shahih berikut:
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani dia berkata: Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah dan berkata: Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? Rasulullah menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti)”[14].
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak keturunan, yang ini termasuk tujuan utama pernikahan, dan dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut[15].
Dan dari Anas bin Malik dia berkata: Ibuku (Ummu Sulaim ) pernah berkata: (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik ). Anas berkata: Maka Rasulullah pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya”. Anas berkata: Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang[16].
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allah I[17], karena Rasulullah tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Malik [18].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 10 Muharram 1435 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Kitab “Majma’uz zawa-id” (4/474).
[2] Kitab “Miizaanul i’tidaal” (2/436), ini dibenarkan oleh oleh Imam Ibnu Hajar dalam “Lisaanul miizan” (3/297).
[3] Kitab “al-Manaarul muniif” (hal. 109, no. 206).
[4] Kitab “al-Fawa-idul majmuu’ah” (hal. 134, no. 50).
[5] Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 211).
[6] Kitab “Lisaanul miizan” (3/132).
[7] Lihat kitab “Lisaanul miizan” (6/88).
[8] Catatan kaki kitab “al-Mustadrak” (3/386).
[9] Kitab “Majma’uz zawa-id” (1/134).
[10] Kitab “al-Manaarul muniif” (hal. 109).
[11] Kitab “al-Fawa-idul majmuu’ah” (hal. 134, no. 50).
[12] Dalam kitab “al-Fawa-idul majmuu’ah” (hal. 134, no. 50).
[13] Kitab “al-Manaarul muniif” (Hal. 109, no. 206).
[14] HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim (2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[15] Lihat kitab “Zaadul ma’aad” (4/228), “Aadaabuz zifaaf” (hal. 60) dan “Khataru tahdiidin nasl” (8/16- Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
[16] HSR al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481), lafazh ini yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.
[17] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (11/80).
[18] Lihat “Syarah shahih Muslim” (16/39-40).