Hadits Palsu Tentang Larangan Menceraikan Istri

رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رضي الله عنه أَنّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: « تَزَوَّجُوْا وَلاَ تُطَلِّقُوْا، فَإِنَّ الطَّلاَقَ يَهْتَزُّ لَهُ الْعَرْشُ »

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Menikahlah dan janganlah kamu menceraikan (istrimu), karena sesungguhnya perceraian itu menjadikan ‘Arsy Allah berguncang”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (5/112), Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam “Akhbaaru Ashbahaan” (2/289), al-Khathib al-Bagdadi dalam “Tarikh Bagdad” (12/191) dan Ibnul Jauzi dalam “al-Maudhu’at” (2/277), dengan sanad mereka semua dari jalur Abu Ibrahim at-Turjumani, dari ‘Amr bin Jumai’, dari Juwaibir, dari adh-Dhahhak bin Muzahim, dari an-Nazzal bin Saburah, dari ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه, dari Rasulullah ﷺ.Baca selengkapnya…
Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Amr bin Jumai’, dia tertuduh memalsukan hadits, bahkan sebagian dari para ulama Ahli hadits menyatakan dia sebagai pendusta.

Imam Yahya bin Ma’in berkata: “Dia adalah pendusta yang buruk “[1]. Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Dia tertuduh memalsukan hadits”. Imam al-Khathib al-Bagdadi dan al-Hakim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu”[2].

Hadits ini diisyaratkan sebagai hadits palsu oleh Imam Ibnu ‘Adi, al-Khathib al-Bagdadi, Ibnul Jauzi[3] dan as-Suyuthi[4], serta dinyatakan sebagai hadits palsu oleh Imam asy-Syaukani[5] dan Syaikh al-Albani[6].

Hadits yang semakna juga diriwatkan dari Abu Musa al-Asy’ari رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Menikahlah dan janganlah kamu menceraikan (istrimu), karena sesungguhnya Allah tidak menyukai laki-laki dan perempuan yang suka mencicipi (mudah bercerai)”.

Akan tetapi hadits ini dinyatakan lemah oleh Syaikh al-Albani[7].

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Rasulullah ﷺ. Akan tetapi hadits ini juga dinyatakan kelemahannya oleh Imam ad-Daraquthni[8].

Kerusakan hadits ini bukan hanya ditinjau dari segi sanad periwayatannya, akan tetapi juga dari segi makna dan kandungannya, karena bertentangan dengan perbuatan Rasulullah ﷺ dan para Salaf.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Bagaimana hadits ini tidak (dihukumi) palsu, sedangkan para ulama Salaf pernah melakukan thalaq/perceraian (dengan alasan yang dibenarkan dalam Islam), bahkan dalam riwayat yang shahih Rasulullah ﷺ pernah menthalaq istri beliau Hafshah bintu ‘Umar رضي الله عنه (lalu kemudian beliau ﷺ merujuknya kembali)”[9].

Karena hadits ini tidak benar penisbatannya kepada Rasulullah ﷺ, maka sama sekali tidak bisa dijadikan argumentasi dan sandaran untuk melarang atau mengharamkan perceraian, khususnya ketika ada alasan atau hajat (kebutuhan) yang dibenarkan dalam syariat islam.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum asal perceraian adalah makruh (dibenci dalam Islam) jika tidak ada alasan atau hajat yang dibenarkan dalam syariat[10]. Adapun jika ada alasan atau hajat maka itu dibolehkan, atau bahkan dalam kondisi tertentu bisa jadi hukumnya dianjurkan atau bahkan wajib[11].

Adapun hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah ﷺ dengan lafazh: “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah U adalah thalaq (perceraian)”[12], maka hadits ini adalah hadits lemah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Syaikh al-Albani dan Syaikh Muhamad bin Shaleh al-‘Utsaimin[13].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 21 Rajab 1437 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam “Tarikh Bagdad” (12/191).

[2] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam “Lisaanul miizaan” (4/358).

[3] Dalam kitab-kitab mereka yang kami sebutkan di atas.

[4] Dalam kitab “al-La-aali-ul mashnuu’ah fil ahaa-diitsil maudhuu’ah” (2/151).

[5] Dalam kitab “al-Fawaa-idul majmuu’ah fil ahaa-diitsil maudhuu’ah” (hlmn 139).

[6] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/278, no. 147 dan 2/161, no. 731).

[7] Dalam kitab “Dha’iiful jaami’ish shagiir” (no. 2430 dan 6244).

[8] Dalam kitab “al-‘Ilalul waaridah fil ahaa-diitsin nabawiyyah” (11/29-30).

[9] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/279).

[10] Lihat kitab “Faidul Qadiir” (3/243) dan “asy-Syarhul mumti’” (5/441-442).

[11] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (10/61).

[12] HR Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018) dan Imam-imam lainnya.

[13] Lihat kitab “Fathul Baari” (9/356), “Irwaa-ul galiil” (7/106) dan “asy-Syarhul mumti’” (5/441).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *