بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits Lemah Tentang Tidurnya Orang Yang Berpuasa Adalah Ibadah
رُوِيَ عن عبد الله بن أبي أوفى عن النبي قال: « نوم الصائم عبادة وسكوته تسبيح »
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Abi Aufa bahwa Rasulullah bersabda: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah dan diamnya adalah tasbih (berdzikir kepada Allah )”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (3/415) dengan sanad beliau dari Sulaiman bin ‘Amr, dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair, dari dari ‘Abdullah bin Abi Aufa, dari Rasulullah .
Riwayat ini sanadnya palsu, karena ada rawi yang bernama Sulaiman bin ‘Amr, dia adalah Abu Dawud an-Nakha’i, seorang pendusta dan pemalsu hadits yang terkenal1.
Riwayat ini dinyatakan kelemahannya yang fatal oleh Imam al-‘Iraqi dalam “Takhriiju ahaadiitsil Ihya’” (hlmn 187) dan al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (6/290).
Juga diriwayatkan dari jalur lain dari Abdullah bin Abi Aufa, dari Rasulullah , dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (3/415).
Riwayat ini sanadnya sangat lemah, karena ada rawi yang bernama Ma’ruf bin Hassan as-Samarqandi, Imam Ibnu ‘Adi berkata tentangnya: “Hadits (yang diriwayatkan)nya munkar (sangat lemah)”2.
Juga ada jalur lain dari Abdullah bin Abi Aufa, dari Rasulullah , dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (3/415).
Riwayat ini sanadnya sangat lemah bahkan palsu, karena ada rawi yang bernama Khalaf bin Yahya, dia dinyatakan sebagai pendusta oleh Imam Abu Hatim ar-Raazi3.
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari shahabat lain, yaitu ‘Abdullah bin Mas’ud , dari Rasulullah . Dikeluarkan oleh Imam Abu Nu’aim dalam “Hilyatul auliya’” (5/83) .
Hadits ini juga sanadnya lemah, karena ada rawi yang bernama Abu Thaibah ‘Abdullah bin muslim as-Sulami al-Marwazi. Imam Abu Hatim ar-Raazi berkata tentangnya: “Hadits (riwayatnya) ditulis tapi tidak dijadikan sebagai sandaran”. Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia selalu salah dan menyelisihi (dalam meriwayatkan hadits)”4.
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib , dari Rasulullah . Dikeluarkan oleh Imam Hamzah bin Yusuf al-Jurjani dalam “Tarikh Jurjan” (hlmn 370).
Hadits ini dihukumi oleh Syaikh al-Albani sebagai hadits yang sangat lemah karena sanadnya gelap (rawi-rawinya tidak dikenal) dan terputus5.
Juga diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Rasulullah , sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-‘Iraqi dalam “Takhriiju ahaadiitsil Ihya’” (hlmn 187) dan dinyatakan lemah sanadnya oleh beliau.
Kesimpulannya, hadits ini lemah dari semua jalur periwayatannya, bahkan sebagian jalurnya sangat llemah dan yang lain palsu.
Hadits ini dihukumi sebagai hadits lemah oleh Imam al-‘Iraqi, Imam al-Munawi dan Syaikh al-Albani6.
Kelemahan derajat hadits ini menjadikannya tidak bisa dipakai sebagai argumentasi dan sandaran untuk menetapkan bahwa tidur dan diamnya orang yang berpuasa bernilai ibadah di sisi Allah , karena hukum asal tidur dan berdiam diri adalah mubah (boleh/tidak berpahala dan tidak berdosa).
Bahkan tidur yang berlebihan termasuk sebab besar yang menjadikan hati manusia lalai dan terhalang dari mengingat Allah 7, sehingga mestinya dilakukan sesuai dengan kebutuhan saja.
Meskipun demikian, perbuatan hukum asalnya mubah (boleh dilakukan tanpa ada dosa dan pahala), termasuk tidur, kalau diniatkan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah maka akan bernilai ibadah dan menjadi amal ketaatan yang mendapat pahala di sisi Allah 8. Ini berlaku umum bagi orang yang berpuasa maupun tidak.
Inilah makna sabda Rasulullah : “Ketika seorang suami mengumpuli istrinya maka itu bernilai sedekah”9.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 25 Rajab 1436 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
1 Lihat kitab “Lisaanul miizaan” (3/97).
2 Kitab “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (6/325).
3 Lihat kitab “Lisaanul miizaan” (2/405).
4 Lihat kitab “Tahdziibut tahdziib” (6/27).
5 Lihat kitab “Silsiltul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (10/231).
6 Dalam “Takhriiju ahaadiitsil Ihya’” (hlmn 187), “Faidhul Qadiir” (6/290) dan “Silsiltul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (10/230).
7 Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Zaadul ma’aad” (2/82).
8 Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam “Syarhu shahiihi Muslim” (6/16).
9 HSR Muslim (no. 1006).