Hadits Palsu Tentang Keutamaan Beribadah Pada Malam Hari Raya

بسم الله الرحمن الرحيم

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه ، أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قَالَ  مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ

Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan shalat (pada) malam (hari raya) ‘Idhul Fithr dan ‘Idhul Adha, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati (manusia).”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarani[1] dengan sanadnya dari ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini adalah hadits yang sangat lemah atau bahkan palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama ‘Umar bin Harun al-Balkhi. Imam Yahya bin Ma’in berkata tentangnya, “Dia adalah pendusta yang buruk, hadits (yang diriwayatkan)nya tidak ada nilainya.” Imam ‘Ali bin al-Madini berkata, “Dia sangat lemah (riwayat haditsnya).” Imam an-Nasa’i, Shaleh bin Muhammad dan Abu ‘Ali al-Hafizh berkata, “Dia ditinggalkan (riwayat) haditsnya.”[2]

Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang lemah oleh Imam al-‘Iraqi[3] dan al-Haitsami[4], serta dihukumi sebagai hadits palsu oleh Syaikh al-Albani[5].

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh, “Barangsiapa yang beribadah (melakukan shalat malam) pada dua malam hari raya dengan mengharapkan (ganjaran pahala) dari Allah, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati (manusia).”

Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Baqiyyah bin al-Walid, dia sering men-tadlis (menyamarkan periwayatan hadits) dari perawi-perawi yang lemah[6].

Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Syaikh al-Albani[7].

Hadits ini yang dijadikan sebagai landasan bagi sebagian kaum muslimin untuk menghidupkan malam ‘Idhul Fithr dan ‘Idhul Adha dengan berbagai macam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ini jelas merupakan perbuatan bid’ah[8] karena hadits yang dijadikan landasan adalah hadits yang sangat lemah bahkan palsu.

Disamping itu, mengkhususkan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak dikhususkan oleh syariat adalah terlarang dalam agama. Imam Ibnul Qayyim berkata, “…Termasuk (contoh) dalam hal ini bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan mengkhusukan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jumat, agar tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuaan bid’ah dalam agama (yaitu) dengan mengkhusukan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak dikhususkan oleh syariat.”[9]

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 20 Rajab 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com

 


[1] Dalam kitab “al-Mu’jamul kabiir” (no. 159).

[2] Semuanya dinukil oleh imam Ibnu Hajar dalam “Tahdziibut tahdziib” (7/443).

[3] Dalam takhrij beliau terhadap hadits-hadits kitab “Ihya’ ‘ulumiddin” (1/361, cet. Darul ma’rifah, Beirut).

[4] Dalam kitab “Majma’uz zawa-id” (2/430).

[5] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (2/11, no. 520).

[6] Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 126).

[7] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (2/11, no. 52i).

[8] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[9] Kitab “Ighaatsatul lahfaan” (1/368).