Berbuat Kerusakan di Muka Bumi (Seri 2-Habis)

Syirik dan bid’ah sebab terbesar kerusakan di muka bumi

Dikarenakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allah, maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.

Imam Qatadah[1] dan As-Suddi berkata, “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik, dan inilah kerusakan yang paling besar [2].”

Demikian juga perbuatan bid’ah[3] dan semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, pada hakIkatnya merupakan sebab terbesar terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta, sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi.

Oleh karena itu, imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi[4] ketika ditanya tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…”

Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam maka dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi[5].”

Cara mengatasi dan memperbaiki kerusakan di muka bumi

Karena sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut adalah dengan bertobat dengan tobat yang nasuha[6] dan kembali kepada Allah. Karena taubat yang nasuha akan menghilangkan semua pengaruh buruk perbuatan dosa yang pernah dilakuakan.

Rasululah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosanya, adalah seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali)[7].”

Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas,

{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“…supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41).

Artinya: agar mereka kembali (bertobat) dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang berdampak timbulnya kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga (dengan tobat tersebut) akan baik dan sejahteralah semua keadaan mereka[8].”

Dalam hal ini, sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah mengucapkan dalam doanya, “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…[9].”

Maka kembali kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dengan mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikan kerusakan tersebut dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya[10], untuk kebaikan dan kemaslahan hidup manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[11] hidup bagimu.” (QS. Al-Anfaal: 24).

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin[12].”

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون}

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96).

Artinya: Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka[13].”

Oleh karena itu, “orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi” yang sebenarnya adalah orang-orang yang menyeru manusia kembali kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan ilmu tentang tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam kepada manusia.

Mereka inilah orang-orang yang menyebabkan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan ikut merasakan kebaikan tersebut, sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allah untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka[14].

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosa baginya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan…[15].”

Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan besar dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah-tengah manusia, yang ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.

Dalam hal ini, imam Al-Hasan Al-Bashri[16] pernah berkata, “Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti[17].”

Penutup

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dalam mengajak mereka untuk selalu kembali kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, yang itu merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hidup yang hakiki bagi mereka.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 2 Rabi’ul awwal 1431 H

Penulis: Abdullah bin Taslim Al-Buthani,M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com


[1] Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al BasHR.i (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).

[2] Dinukil oleh imam Al-Qurthubi dalam tafsir beliau (14/40).

[3] Yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, yang tidak dicontohkan oleh Nabi r.

[4] Beliau adalah imam dari kalangan atba’ut tabi’in senior, seorang ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rsulullah r (wafat 194 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 576).

[5] “Tafsir Ibni abi Hatim Ar Raazi” (6/74) dan “Ad Durrul mantsuur” (3/477).

[6] Yaitu taubat yang benar dan sungguh-sungguh, sehingga menghapuskan dosa-dosa yang lalu. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, (8/168).

[7] HR. Ibnu Majah (no. 4250) dan Ath-Tahbraani dalam Al-Mu’jamul kabiir no. 10281 dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan Syeikh Al-Albani. Lihat Adh-Dha’iifah, no. 615.

[8] Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 643.

[9] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalaani dalam Fathul Baari, 3/443.

[10] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari

kesempurnaan ilmu Allah I, lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 131 dan 946.

[11] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/34

[12] Kitab Al-Fawa-id, hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’.

[13] Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 298.

[14] Lihat kitab Miftaahu daaris sa’aadah, 1/64 dan Faidhul Qadiir, 4/268.

[15] HR. At-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Majah (no. 223), dinyatakan shahih oleh Syeikh Al-Albani.

[16] Beliau adalah Al-Hasan bin Abil Hasan Yasar Al-Bashri (wafat 110 H), seorang imam besar dan termasyhur dari kalangan tabi’in. Lihat kitab Taqriibut tahdziib hal. 160.

[17] Diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi dalam kitab As-Sunan (no. 324) dengan sanad yang shahih.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *