Arti sikap “adil” dalam poligami
Allah Subhanahu wa Ta’ala merintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya, maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna.[1] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. an-Nahl: 90).
Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka.[2] Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya,[3] yang ini jelas di luar kemampuan manusia.[4]
Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,[5]
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS. an-Nisaa’: 129).
Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus Sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala), ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…’, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. ‘…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…’ artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/ tepat, wallahu a’lam.”[6]
Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’ (bersikap adil di antara para istri),[7] dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan Imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang di-nafi-kan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)… Imam at-Tirmidzi berkata, ‘Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)’, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)… Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, ‘Yaitu kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)…’”[8]
Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), ‘Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.’[9] Kemudian, Allah melarang “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia).’”[10]
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim.”[11]
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.manisnyaiman.com
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/596) dan Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 447).
[2] Lihat kitab Ahkaamut Ta’addud fi Dhau-il Kitaabi was Sunnah (hal. 69).
[3] Sebagaimana persangkaan keliru orang-orang yang tidak memahami pengertian adil yang sebenarnya.
[4] Sebagaimana penjelasan para ulama yang akan kami nukil setelah ini, insya Allah.
[5] Bahkan kesalahpahaman dalam memahami ayat ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa
poligami tidak boleh dilakukan, karena orang yang berpoligami tidak mungkin bisa bersikap adil !!?, kita
berlindung kepada Allah dari penyimpangan dalam memahami agama-Nya.
[6] Kitab al-Umm (5/158).
[7] Dalam kitab Shahihul Bukhari (5/1999).
[8] Kitab Fathul Baari (9/313).
[9] Hadits ini adalah hadits yang lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2134), at-Tirmidzi (no. 1140),
an-Nasa’i (no. 3943) dan Ibnu Majah (no. 1971), dinyatakan lemah oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-
Nasa’i dan syaikh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil (7/82).
[10] Kitab Tafsiirul Qurthubi (5/387).
[11] Kitab Tafsir Ibnu Katsir (1/747).
Ya…artikel ini betul bila diawali dengan kejujuran dari si Suami…dari awal untuk berpoligami dan ini tak bisa dijalankan kalau tidak didasarkan dari praktek-praktek dan alasan-alasan dari uswah terbaik Rasulullah…salam Peace