Hukum asal bepergian ke segala penjuru bumi, termasuk untuk tujuan wisata atau rekreasi adalah diperbolehkan dalam Islam, selama tidak melanggar hal-hal yang dilarang dalam syariat Allah ﷻ.
Allah ﷻ berfirman:
{هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ}
“Dialah (Allah ﷻ) yang menjadikan bumi itu mudah bagimu (untuk ditelusuri), maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS al-Mulk: 15).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Arti ayat ini: Bepergianlah kamu ke segala penjuru bumi sesuai dengan keinginanmu, serta telusurilah semua tempat dan pelosoknya untuk berbagai macam usaha dan perniagaanmu. Ketahuilah usaha yang kamu lakukan tidak bermanfaat sedikitpun bagimu, kecuali jika Allah memudahkan hal itu bagimu”[1].
Perintah Allah ﷻ dalam ayat ini “…maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya” adalah perintah mubah (hukumnya boleh dan tidak dilarang), bentuk perintah ini bertujuan untuk memperlihatkan agungnya anugerah-Nya kepada hamba-hamba-Nya[2].
Akan tetapi, perjalan wisata atau rekreasi yang hukum asalnya mubah (boleh) ini bisa menjadi haram dan dilarang dalam agama jika terdapat padanya hal-hal yang melanggar syariat Islam.
Hal-hal yang melanggar syariat Islam dalam hal ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Beberapa contoh pelanggaran yang bersifat umum:
1- Pemborosan harta secara berlebihan
Ini terlihat jelas pada kebanyakan perjalan wisata yang dilakukan oleh sebagian orang di jaman sekarang ini, untuk biaya tiket kendaraan, penginapan, makanan dan kebutuhan-kebutuhan lain selama perjalanan ini.
Hal ini sangat dilarang dan diharamkan dalam Islam.
Allah ﷻ berfirman:
{وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا}
“…Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya (Allah ﷻ)” (QS al-Israa’: 26-27).
Makna pemborosan harta dalam ayat ini ada dua, yaitu:
– Membelanjakan harta di jalan yang tidak benar atau untuk perbuatan maksiat kepada Allah
– pemborosan berlebihan yang menghabiskan harta[3].
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idha’atul maal (menghambur-hamburkan harta)[4].
Arti “idha’atul maal” (menghambur-hamburkan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah ﷻ, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan[5].
2- Kesibukan yang melalaikan manusia dari mengingat Allah ﷻ
Mayoritas orang yang melakukan perjalan wisata bertujuan untuk bersantai dan bersenang-senang, sehingga mereka tidak berminta untuk melakukan amal-amal ibadah. Kalaupun mereka melakukan itu, maka hanya sekedarnya dan bahkan tidak jarang dilakukan dengan malas-malasan, na’uudzu billahi min dzaalik.
Hal ini tentu sangat tercela dan menjadikan manusia lalai dari mengingat Allah ﷻ yang merupakan sebab keburukan terbesar dalam kehidupan manusia.
Allah ﷻ berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anakmu menjadikanmu lalai dari mengingat Allah. Barangsiapa yang melakukan itu maka mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS al-Munafiqun: 9).
3- Banyak melakukan perbuatan sia-sia dan tidak mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat
Hal ini juga sering terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama perjalan wisata dan tentu saja hal ini tercela dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada dua nikmat (karunia Allah ﷻ) yang kurang dimanfaatkan oleh kebanyakan manusia, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”[6].
Dalam hadits lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Termasuk (dalam) kebaikan Islam seseorang adalah (dengan) dia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya”[7].
Adapun pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat Islam yang bersifat khusus dalam hal ini, maka akan kami jelaskan dalam contoh-contoh perjalanan wisata atau rekreasi maksiat berikut ini.
Contoh-contoh wisata atau rekreasi maksiat
1- Wisata ke negeri orang-orang kafir dengan tujuan untuk bersenang-senang.
Ini dilarang dan diharamkan dalam Islam karena termasuk bentuk loyalitas (kecintaan) kepada orang-orang kafir[8].
Bepergian ke negeri orang-orang kafir yang umumnya banyak terdapat perbuatan kufur dan maksiat, menjadikan seorang muslim akan sulit menegakkan dan menampakkan syiar-syiar Islam yang merupakan kebanggaan seorang muslim, bahkan bisa saja menjadikannya sulit untuk menegakkan ibadah kepada Allah ﷻ dengan benar.
Dengan Alasan inilah, Allah ﷻ memerintahkan dalam al-Qur’an kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk meninggalkan negeri-negeri yang mereka tidak mampu menegakkan agama mereka di tempat tersebut dan mencari negeri lain yang jauh dari keburukan itu, karena bumi ciptaan Allah ini luas.
Allah ﷻ berfirman:
{يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ}
“Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka hendaknya kamu beribadah kepada-Ku semata-mata” (QS al-‘Ankabuut: 56).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Ayat) ini merupakan perintah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berhijrah (berpindah) dari negeri yang mereka tidak mampu menegakkan agama mereka di tempat tersebut ke bumi Allah yang luas (ke negeri lain) yang mereka memungkinkan mereka menegakkan agama, dengan mengesakan dan beribadah kepada-Nya semata-mata, sebagaimana yang diperintahkan-Nya kepada mereka”[9].
Lebih lanjut, Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan hukum masalah ini berserta pengecualiannya, beliau berkata: “Bepergian ke negeri orang-orang kafir haram (hukumnya) kecuali dalam keadaan darurat (kebutuhan yang mendesak), seperti berobat, berdagang, dan mempelajari bidang-bidang (ilmu) tertentu yang bermanfaat (bagi kaum muslimin), yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan bepergian ke (negeri) mereka. Maka ini diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan (secukupnya), dan jika telah selesai kebutuhannya wajib (untuk segera) kembali ke negeri kaum muslimin.
Bolehnya bepergian (ke negeri mereka) ini dengan syarat seorang muslim (wajib) menampakkan dan merasa bangga dengan keislamannya, serta menjauhi tempat-tempat yang buruk, dalam rangka mewaspadai tipu daya mereka. Demikian pula bepergian (ke negeri mereka) diperbolehkan atau (bahkan) diwajibkan jika tujuannya untuk berdakwah ke jalan Allah dan menyiarkan agama Islam”[10].
2- Wisata ke kuburan orang-orang yang dianggap shalih atau wali
Sebagian dari kaum muslimin bahkan menyebut perbuatan ini termasuk ‘wisata religius’, padahal perbuatan ini diharamkan dalam Islam bahkan merupakan sebab besar terjadinya perbuatan syirik (menyekutukan Allah ﷻ).
Melakukan perjalanan untuk tujuan ini dilarang dalam Islam, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: al-Masjidll haram, Masjid nabawi dan Masjidil aqsha”[11].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Larangan dalam hadits ini meliputi semua perjalanan menuju ke masjid-masjid (selain tiga masjid tersebut di atas), kuburan-kuburan yang diagungkan (dikeramatkan) dan semua tempat yang dituju pada zatnya dengan menempuh perjalanan jauh untuk tujuan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ[12].
Di tempat lain beliau menjelaskan bahwa perjalanan seperti ini adalah perjalanan maksiat dan dilarang keras oleh mayoritas ulama Ahlus sunnah[13].
Adapun kemungkaran besar lain yang sering terjadi pada perjalanan wisata seperti ini adalah perbuatan syirik yang dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan tersebut, seperti sujud dan berdo’a di sisi kuburan orang yang dianggap sebagai wali untuk meminta berbagai macam kebutuhan, meminta keselamatan dan penjagaan dari bencana.
Semua ini jelas merupakan kesyirikan yang nyata, karena semua do’a dan permohonan tersebut hanya pantas ditujukan kepada-Nya, sebab hanya Dia-lah yang maha kuasa memenuhi segala kebutuhan tersebut dan tidak ada seorang mahklukpun yang sanggup melakukannya.
Allah ﷻ berfirman:
{أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ}
“Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengambil peringatan” (QS an-Naml: 62).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah ﷻ memperingatkan bahwa Dialah (satu-satunya) yang diseru ketika (timbul) berbagai macam kesusahan, dan Dialah yang diharapkan (pertolongan-Nya) ketika (terjadi) berbagai macam malapetaka, sebagaimana firman-Nya:
{وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ}
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, maka hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Allah” (QS al-Israa’: 67). Dan firman-Nya:
{ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ}
“Kemudian bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nyalah kamu memohon pertolongan” (QS an-Nahl: 53)”[14].
Dalam ayat lain, Allah ﷻ berfirman:
{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}
“Jika Allah menimpakan suatu kesulitan kepadamu, maka tidak ada yang (mampu) menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya” (QS Yuunus: 107).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “(Arti ayat ini): Allah ﷻ berfirman kepada nabi-Nya ﷺ: Wahai Muhammad ﷺ, jika Allah menimpakan kepadamu kesusahan atau bencana, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali (Allah ﷻ) Rabbmu (Tuhanmu) yang telah menimpakannya kepadamu, dan bukanlah sembahan-sembahan dan tandingan-tandingan lain (selain Allah ﷻ) yang disembah oleh orang-orang musyrik itu (yang mampu menghilangkannya)”[15].
Semua ayat di atas menunjukkan bahwa berdo’a untuk memohon pertolongan dan pemenuhan hajat adalah termasuk ibadah yang paling agung dan mulia, yang hanya layak ditujukan kepada Allah ﷻ semata-mata. Sehingga menujukannya kepada selain Allah ﷻ adalah termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).
Imam ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Termasuk jenis-jenis kesyirikan yaitu meminta (pemenuhan) hajat dari orang-orang mati (yang dianggap sebagai wali), beristigatsah (berdo’a untuk memohon pertolongan/menghilangkan kesusahan) dan menghadapkan diri kepada mereka. Inilah pangkal kesyirikan (yang terjadi) di alam semesta. Orang yang telah mati telah terputus amal perbuatannya dan dia tidak memiliki (kemampuan untuk memberi) manfaat maupun (mencegah) keburukan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang (lain) yang beristigatsah kepadanya atau meminta (pemenuhan) hajat kepadanya?”[16].
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Termasuk (perbuatan) syirik (menyekutukan Allah) adalah berdo’a untuk memohon pertolongan/menghilangkan kesusahan kepada selain-Nya atau menyeru (memohon) kepada selain-Nya”[17].
Termasuk dalam hal ini, melakukan perjalanan untuk menziarahi kuburan Rasulullah ﷺ. Semua hadits yang menjelaskan keutamaan/anjuran perbuatan ini adalah hadits yang sangat lemah dan palsu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya hadits-hadits (tentang keutamaan) menziarahi kuburan Rasulullah ﷺ semuanya (sangat) lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dalam agama Islam, oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak satupun diriwayatkan oleh (para imam) pemilik kitab-kitab (hadits) shahih dan sunan, yang meriwayatkannya adalah (para imam) yang meriwayatkan hadits-hadits yang (sangat) lemah (dalam kitab-kitab mereka), seperti ad-Daraquthni, al-Bazzar dan lain-lain”[18].
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak hadits-hadits lain (selain hadits di atas) tentang (keutamaan/anjuran) menziarahi kuburan Rasulullah ﷺ, semuanya dibawakan oleh as-Subki dalam kitabnya “asy-Syifaa’”, tapi seluruhnya adalah hadits yang sangat parah kelemahannya, bahkan sebagiannya lebih parah dari yang lainnya…Imam Ibnu ‘Abdil Hadi rahimahullah telah menjelaskan kelemahan semua hadits-hadits tersebut dalam kitab beliau “ash-Shaarimul manki” dengan penjelasan detail dan teliti yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain”[19].
3- Wisata ke peninggalan kaum-kaum yang dibinasakan Allah
Hal ini juga dilarang, berdasarkan hadits riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنه bahwa Rasulullah bersabdaﷺ: “Janganlah kamu masuk (mendatangi tempat) orang-orang yang diazab (dibinasakan) Allah kecuali dalam keadaan kamu menangis (karena takut kepada-Nya), kalau kamu tidak bisa menangis maka janganlah kamu mendatangi (tempat) orang-orang tersebut, supaya kamu tidak ditimpa azab yang telah menimpa mereka”[20].
Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ hanya membolehkan melewati tempat-tempat tersebut dengan rasa takut kepada Allah, menangis, mengambil pelajaran dari keburukan yang menimpa mereka dan berlindung kepada Allah dari keburukan tersebut[21].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Rasulullah ﷺ melarang untuk mengunjungi tempat-tempat kaum yang diazab (dibinasakan) Allah kecuali disertai tangisan karena takut Allah akan menimpakan azab kepada orang yang berkunjung tersebut sebagaimana yang telah menimpa mereka”[22].
Hal ini tentu saja hampir tidak pernah dilakukan oleh mayoritas orang yang mengunjungi tempat-tempatb tersebut untuk sekedar tujuan rekreasi dan bersenang-senang.
Bahkan berdiam dan menetap lama di tempat-tempat tersebut tidak diperbolehkan, karena Rasulullah ﷺ ketika pernah melewati pemukiman kaum Tsamud, beliau ﷺ segera memacu dan mempercepat kendaran (unta) beliau sampai meninggalkan tempat tersebut[23].
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun melewati tempat-tempat tersebut, maka Rasulullah ﷺ pernah melewatinya, akan tetapi beliau ﷺ bersegera meninggal-kannya (dengan memacu kendaraan beliau ﷺ) sambil menutup kepala beliau ﷺ… Maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mendatangi tempat-tempat tersebut untuk sekedar melihat-lihat dan rekreasi, akan tetapi (yang diperbolehkan adalah) untuk mengambil pelajaran dan disertai tangisan (karena takut kepada Allah ﷻ). Meskipun demikian, yang selamat (bagi agama seseorang) adalah tidak mendatangi tempat-tempat tersebut”[24].
4- Wisata ke situs peninggalan orang kafir
Khususnya peninggalan mereka yang berupa tempat ibadah, tempat pemujaan dan lain-lain yang berhubungan dengan keyakinan kufur/syirik atau simbol-simbol agama mereka. Misalnya: candi, patung, arca, piramida dan lain-lain.
Hal ini diharamkan dan dilarang keras dalam Islam karena orang yang beriman kepada Allah ﷻ dan hari akhir tidak mungkin hatinya merasa tenang ketika berada di tempat-tempat kesyirikan dan melihat simbol-simbol kekufuran. Mereka selalu berusaha menjauhi hal-hal tersebut dan menyatakan berlepas diri darinya.
Inilah sifat terpuji hamba-hamba Allah ﷻ yang beriman sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an:
{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada (diri nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (QS al-Mumtahanah: 4).
Dalam ayat lain, Allah juga memuji hamba-hamba-Nya yang beriman dengan sikap mereka yang selalu menjauhi perayaan-perayaan orang-orang musyrik/kafir. Allah ﷻ berfirman:
{والَّذِيْنَ لا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ}
“(Hamba-hamba Allah yang maha pemurah) adalah orang-orang yang tidak menyaksikan/menghadiri az-zuur/perayaan-perayaan orang-orang kafir” (QS al-Furqan:72).
Arti az-zuur dalam ayat ini adalah perayaan-perayaan orang-orang musyrik/kafir, sebagaimana ucapan Imam Mujahid bin Jabr al-Makki rahimahullah dan para ulama salaf lainnya, ucapan ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah [25].
Demikian pula, mengunjungi tempat-tempat buruk tersebut untuk berwisata dan bersenang-senang, tanpa mengingkari dan membencinya, berarti membenarkan dan meridhai perbuatan buruk tersebut[26], sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia duduk pada hidangan yang diedarkan di atasnya minuman keras (meskipun dia tidak meminumnya)[27]”.
Nasehat dan penutup
Demikianlah penjelasan tentang wisata dan rekreasi yang dilarang dalam Islam agar kita menjauhinya dan hanya mencukupkan diri dengan wisata dan rekreasi yang tidak melanggar syariat Islam.
Alhamdulillah, tempat-tempat wisata yang baik dan jauh dari kemungkaran cukup banyak kita dapati dan hendaknya orang-orang yang beriman kepada Allah ﷻ dan memikirkan keselamatan imannya berusaha mencukupkan diri dengan tempat-tempat tersebut, tentu dengan tetap selalu mewaspadai dan menjauhi semua keburukan yang terjadi di manapun dia berada.
Bagaimanapun juga, kerusakan agama dan iman seorang manusia merupakan malapetaka terbesar dalam hidupnya yang berakibat kesengsaraan berkepanjangan di dunia dan di akhirat kelak, nauudzu billahi min dzaalik.
Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ berdo’a kepada Allah ﷻ memohon perlindungan dari malapetaka terbesar ini:
((ولا تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا ، ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ همِّنا))
“(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama kami”[28].
Semoga Allah ﷻ menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya dan menjauhkan kita semua dari segala keburukan yang merusak iman dan agama kita. Sesungguhnya hanya Dia-lah yang maha kuasa untuk melindungi kita semua dari segala keburukan.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 19 Jumadal akhirah 1437 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (4/510).
[2] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (18/188) dan “Fathul Qadiir” (5/367).
[3] Lihat kitab “Zaadul masiir” (5/27-28).
[4] HSR al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).
[5] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).
[6] HSR al-Bukhari (5/2357).
[7] HR at-Tirmidzi (4/558), Ibnu Majah (2/1315) dan Ibnu Hibban (1/466), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[8] Lihat kitab “al-Walaa-u wal baraa-u fil Islam” (hlmn 8) tulisan Syaikh Shaleh al-Fauzan.
[9] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (3/556).
[10] Kitab “al-Walaa-u wal baraa-u fil Islam” (hlmn 9).
[11] HSR al-Bukhari (1/398) dan Muslim (no. 1397).
[12] Kitab “Iqtidhaa-ush shiraatil mustaqiim” (hlmn 328).
[13] Lihat kitab “Majmuu’ul fataawa” (4/520).
[14] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/492).
[15] Kitab “Jaami’ul bayaan fi ta’wiilil Qur-an” (15/219).
[16] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/346).
[17] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 200).
[18] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (1/234).
[19] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/123).
[20] HSR al-Bukhari (1/167) dan Muslim (no. 2980).
[21] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam “Syarhu shahih Muslim” (18/111).
[22] Kitab “Iqtidhaa’ush shiraatil mustaqiim” (hlmn 80).
[23] HSR Muslim (no. 2980).
[24] “Liqa-aatul baabil maftuuh” (82/8).
[25] Lihat kitab “Majmuu’ul fataawa” (25/327 dan 331).
[26] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (8/69).
[27] HR at-Tirmidzi (5/113) dan al-Hakim (4/320), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[28] HR at-Tirmidzi (no. 3502), dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.