Sholat Ied (Hari Raya) di Masjid Bolehkah?

بسم الله الرحمن الرحيم

SHALAT ‘IED (HARI RAYA) DI MASJID, BOLEHKAH?

Shalat ‘Ied (hari raya) adalah salah satu syi’ar (simbol keagungan dan kemuliaan)1 Islam yang sangat agung2 dan melambangkan ketinggian agama Allah yang mulia ini.

Oleh karena itu, Rasulullah selalu melaksanakannya di tanah lapang di luar masjid, bahkan tidak ada satu riwayatpun yang shahih bahwa Rasulullah pernah melaksanakannya di masjid. Kemudian para Shahabat sepeninggal Rasulullah juga mempraktetakkan sunnah ini dengan baik3.

Imam Ibnul Haajj al-Maliki berkata: “Sunnah yang telah berlangsung (sejak dulu) dalam (pelaksanaan) shalat ‘Ied (hari raya) adalah dilaksanakan di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Muhammad bersabda: “Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu shalat di masjid lain kecuali (shalat) di al-Masjidil Haram”4.

Kemudian bersamaan dengan keutamaan yang agung ini Rasulullah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang dan tidak melaksanakannya di Masjid Nabawi. Maka ini merupakan dalil (argumentasi) yang jelas tentang ditekankannya pensyariatan shalat ‘Ied di tanah lapang.

Ini adalah Sunnah Rasulullah dan melaksanakannya di masjid, menurut madzhab Imam Malik – semoga Allah merahmatinya – adalah (perbuatan) bid’ah5, kecuali jika ada alasan darurat (mendesak) untuk melaksanakannya di masjid, maka ini bukan perbuatan bid’ah. Karena Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya (shalai ‘Ied di masjid) dan juga para al-Khulafaa’ ur-raasyidiin (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ) sepeninggal beliau .

Juga dikarenakan Rasulullah memerintahkan kaum perempuan (seluruhnya) untuk keluar menuju (tempat) shalat ‘Ied, bahkan beliau memerintahkan para wanita yang sedang haidh dan gadis pingitan untuk keluar ke (tempat) shalat ‘Ied…6.

Maka ketika Rasulullah memerintahkan (semua) kaum perempuan untuk keluar (ke tempat shalat ‘Ied) berarti beliau mensyariatkan shalat ‘Ied di tanah lapang untuk menampakkan syi’ar Islam”7.

Dalil-dalil dari Sunnah Rasulullah

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sunnah Rasulullah adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang, adalah sebagai berikut:

1- Dari Abu Sa’id al-Khudri dia berkata: “Rasulullah keluar (untuk melaksanakan shalat) pada hari raya ‘Iedul fithr dan ‘Iedul adha menuju tanah lapang, maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat ’Ied, kamudian setelah selesai beliau berdiri (untuk berkhutbah) di hadapan kaum muslimin dan mereka (tetap) duduk di shaf-shaf mereka…Abu Sa’id al-Khudri berkata: Kemudian sunnah itu terus dilakukan kaum muslimin sampai di Jaman (pemerintahan) Marwan bin al-Hakam…”8.

Imam an-Nawawi berkata: “Hadits ini merupakan dalil bagi ulama yang mengatakan bahwa dianjurkan keluar menuju tanah lapang untuk melaksanakan shalat ‘Ied dan bahwa melaksanakannya di tanah lapang lebih utama daripada melaksanakannya di masjid. Pendapat inilah yang diamalkan oleh kaum muslimin di hampir semua kota, kecuali penduduk Mekkah…”9.

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini dijadikan sebagai argumentasi bahwa dianjurkan keluar menuju shahra’ (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat ‘Ied dan bahwa itu lebih utama daripada melaksanakannya di masjid, karena Rasulullah senantiasa melaksanakannya di tanah lapang, padahal keutamaan (shalat) di masjid beliau (sangat besar)”10.

2- Dari ‘Abdullah bin ‘Umar dia berkata: “Rasulullah selalu keluar ke tanah lapang (untuk melaksanakan shalat) pada hari raya dan sebuah tombak kecil dibawa di hadapan beliau . Setelah beliau sampai di tanah lapang tersebut maka tombak kecil itu ditancapkan di hadapan beliau , lalu beliau pun shalat di hadapannya (sebagai sutrah/pembatas shalat)”11.

3- Dari al-Bara’ bin ‘Azib dia berkata: “Rasulullah ketika hari raya ‘Iedul adha keluar menuju tanah lapang di al-Baqi’, lalu beliau shalat dua rakaat, kemudian menghadapkan wajahnya kepada kami…”12.

Pernyataan dan penegasan para ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini

Imam Malik berkata: “Tidak boleh melaksanakan shalat ‘Ied di masjid, akan tetapi kaum muslimin hendaknya keluar (ke tanah lapang) sebagaimana dulunya Rasulullah selalu keluar (ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat ‘Ied)… Kemudian sunnah ini selalu dipraktekkan oleh kaum muslimin di seluruh negeri”13.

Imam asy-Syafi’i berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah senantiasa keluar menuju tanah lapang di Madinah untuk melaksanakan shalat ‘Ied, demikian pula para Shahabat setelah beliau . Dan (inilah yang diamalkan oleh) oleh mayoritas kaum muslimin di (hampir) semua kota, kecuali penduduk Mekkah…”14.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata: “Yang sesuai dengan sunnah Rasulullah adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang, ‘Ali bin Abi Thalib memerintahkannya, al-Auza’i dan ahli ra’yu menganjurkannya, dan ini adalah pendapat Ibnul Mundzir…

Sungguh Nabi Muhammad selalu keluar menuju tanah lapang (untuk melasanakan shalat ‘Ied) dan meninggalkan Masjid Nabawi (padahal keutamaannya sangat besar), demikian pula para al-Khulafaa’ ur-raasyidiin (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ) setelah beliau …

Tidak pernah dinukil (satu haditspun) dari Nabi bahwa beliau pernah melaksanakan shalat ‘Ied di Masjid Nabawi, kecuali jika ada ‘udzur (alasan yang dibenarkan dalam Islam, seperti hujan, angin kencang dan lain-lain).

Dan juga karena ini adalah ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, kapan dan di manapun kaum muslimin selalu keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat ‘Ied, meskipun (mereka memiliki) masjid yang luas atau sempit”15.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah adalah selalu melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang”16.

Imam al-Bagawi berkata: “Yang sesuai dengan sunnah Rasulullah (dalam hal ini yaitu) bahwa seorang imam keluar (menuju tanah lapang) untuk melaksanakan shalat ‘Ied, kecuali jika ada ‘udzur maka dilaksanakan di masjid”17.

Imam al-Qurthubi berkata: “Imam Malik dan seluruh ulama (Ahlus Sunnah) bersepakat (menyatakan) bahwa shalat dua hari raya di semua kota dilaksanakan di tempat terbuka (tanah lapang), kecuali di Mekkah yang dilaksanakan di Masjidil haram”18.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “hadits-hadits di atas merupakan argumentasi yang tegas menyatakan bahwa yang sesuai dengan sunnah Rasulullah dalam (pelaksanaan) shalat ‘Ied adalah dilaksanakan di tanah lapang, dan ini merupakan pernyataan mayoritas ulama Ahlus Sunnah”19.

Beliau juga berkata: “Sunnah Rasulullah yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa Rasulullah selalu melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang di luar kota. Kemudian sunnah ini terus diamalkan oleh generasi pertama umat ini (para Shahabat ), mereka tidak pernah melaksanakan shalat ‘Ied di masjid, kecuali dalam keadaan darurat, seperti hujan dan lain-lain. Inilah pendapat Imam mazhab yang empat (Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad) dan selain mereka dari para imam dan ulama Ahlus sunnah”20.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Disunnahkan (dianjurkan) untuk melaksanakan shalat ‘Ied di shahra’ (tanah lapang) di luar kota, dan hendaknya (di pilih) tempat shalat ‘Ied yang dekat supaya tidak menyusahkan bagi kaum Muslimin.

Dalilnya adalah perbuatan Nabi Muhammad dan para al-Khulafaa’ ur-raasyidiin (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ), mereka selalu melaksanakan shalat ‘Ied di shahra’ (tanah lapang)…”21.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam berkata: “Dalam hadits di atas terdapat argumentasi tentang disyariatkannya (diutamakannya) shalat ‘Ied di shahra’ (tanah lapang) di luar pemukiman, meskipun di kota Madinah an-Nabawiyyah”22.

Mengapa penduduk Mekkah dikecualikan dalam masalah ini?

Adapun pengecualian ‘penduduk kota Mekkah’ yang disebutkan dalam ucapan Imam asy-Syafi’I, Imam an-Nawawi dan Imam al-Qurthubi di atas, maka hal ini telah dijelaskan alasannya oleh para ulama Ahlus Sunnah.

Imam asy-Syaukani berkata: “Ada kemungkinan shalat ‘Ied (di Mekkah) tidak dilaksanakan di tanah lapang karena sempitnya sudut-sudut kota Mekkah (sulit mencari tempat yang luas)”23.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Adapun (pelaksanaan shalat ‘Ied) di Mekkah, maka aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah atau salah seorang yang pernah menjadi penguasa di Mekkah keluar (menuju tanah lapang dan) meninggalkan Masjidil haram…Barangkali hikmah (alasan) mereka tetap shalat ‘Ied di Masjidil haram – Allah yang lebih mengetahuinya – adalah karena keberadaan Ka’bah di dalam Masjidil haram, yang mana shalat di Masjidil haram lebih baik daripada seratus ribu shalat di masjid lain. Juga karena sulitnya menemukan shahra’ (tanah lapang) di Mekkah, disebabkan tanahnya banyak perbukitan dan lembah, sehingga menyulitkan penduduknya untuk keluar (mencari tanah lapang). Oleh karena itulah shalat ‘Ied di Mekkah tetap dilaksanakan di Masjidil haram”24.

Adapun ‘penduduk kota Madinah’ maka hukumnya seperti kota-kota lainnya, sebagaimana ucapan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin25 dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam yang telah dinukil sebelumnya, karena tanah lapang yang luas banyak ditemukan di sana.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Kota Madinah (dalam hal ini) sama dengan kota-kota lainnya, dianjurkan bagi penduduknya untuk keluar ke shahra’ (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat ‘Ied, inilah yang lebih utama. Dan dimakruhkan (tidak disukai dalam Syariat Islam) bagi mereka untuk melaksanakannya di Masjid nabawi, kecuali jika ada alasan (yang dibenarkan dalam syariat Islam)…”26.

Apakah ada pendapat lain dalam masalah ini?

Ada pendapat lain dalam masalah ini yang dinisbatkan kepada Imam asy-Syafi’i. Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata: “Dinukil dari Imam asy-Syafi’i (bahwa beliau berkata): Kalau masjid di dalam kota luas (bisa menampung semua penduduk muslim) maka shalat di masjid tersebut lebih utama, karena masjid adalah tempat yang paling utama dan paling suci. Oleh karena itulah, penduduk Mekkah melaksanakan shalat ‘Ied di Masjidil haram”27.

Imam asy-Syafi’i juga mengisyaratkan bahwa sebab disunnahkannya shalat di tanah lapang dan bukan di masjid adalah karena sempitnya masjid sehingga digunakanlah tanah lapang yang luas. Beliau berkata: “Seandainya suatu kota makmur sehingga masjidnya bisa menampung kaum muslimin di kota tersebut dalam shalat ‘Ied, maka aku memandang mereka tidak boleh meninggalkan masjid (untuk menuju ke tanah lapang), tapi kalaupun mereka keluar (menuju ke tanah lapang) maka itu tidak mengapa (boleh). Akan tetapi kalau masjidnya (sempit sehingga) tidak bisa menampung mereka, maka aku tidak menyukai mereka shalat ‘Ied di masjid tersebut28.

Ucapan Imam asy-Syafi’i menunjukkan bahwa jika masjid di dalam kota sempit maka lebih utama shalat ‘Ied dilaksanakan di tanah lapang29.

Pendapat ini berargumentasi dengan sebuah atsar/riwayat dari ‘Umar bin al-Khaththab ketika terjadi hujan turun di hari raya pada jaman kekhalifahan beliau . Lalu ‘Umar mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat ‘Ied di masjid, kemudian setelah shalat beliau berkhutbah di atas mimbar dan berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah dulu keluar menuju tanah lapang bersama kaum muslimin dan shalat ‘Ied bersama mereka, karena tanah lapang lebih kondusif dan lebih luas bagi mereka, sedangkan Masjid nabawi tidak cukup untuk menampung mereka. Maka ketika turun hujan (seperti sekarang) ini (shalat) di masjid adalah lebih kondusif”.

Atsar ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “as-Sunan al-Kubra” (3/310), tapi derajatnya sangat lemah30, karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Umar bin ‘Abdir Rahman bin ‘Auf al-Qadhi, Imam al-Bukhari berkata tentangnya: “haditsnya diingkari (karena kelemahannya yang fatal)”. Imam an-Nasa-i berkata: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang parah)”31.

Atsar ini juga dikeluarkan oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitab “al-Umm” (1/389) dari jalur lain dari ‘Umar bin al-Khaththab . Atsar ini juga derajatnya sangat lemah, karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya al-Aslami, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqlani berkata tentangnya: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahan-nya yang parah)”32.

Karena Atsar ini derajatnya sangat lemah, sehingga tentu tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi untuk mendukung pendapat Imam asy-Syafi’i di atas, bahwa sebab disunnahkannya shalat ‘Ied di tanah lapang dan bukan di masjid adalah karena tidak adanya masjid yang luas yang bisa menampung kaum muslimin.

Imam asy-Syaukani menyanggah pendapat ini, beliau berekata: “(pendapat yang mengatakan bahwa sebab (disunnahkannya shalat ‘Ied di tanah lapang dan bukan di masjid) adalah (karena) sempitnya (masjid) dan luasnya (tanah lapang) ini hanyalah dugaan semata dan tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan contoh teladan dari Rasulullah yang selalu keluar menuju tanah lapang (untuk melaksanakan shalat ‘Ied), (apalagi) setelah mereka juga mengakui bahwa Rasulullah terus-menerus melakukan hal itu.

Adapun berargumentasi dengan pelaksanaan shalat ‘Ied di Mekkah di Masjidil haram, maka itu (bisa) dijawab dengan adanya kemungkinan mereka tidak melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang karena sempitnya sudut-sudut kota Mekkah dan bukan karena luasnya Masjidil haram”33.

syaikh al-Albani berkata: “Dari penjelasan yang lalu, nyatalah kebatilan (kesalahan) pendapat yang menyebutkan sebab (disunnahkannya shalat ‘Ied di tanah lapang) adalah karena sempitnya masjid, dan yang kuat adalah pernyataan para ulama (Ahlus sunnah) yang menegaskan bahwa shalat ‘Ied di tanah lapang adalah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah dan ini disyariatkan di setiap jaman dan tempat, kecuali karena alasan darurat. Dan aku tidak mengetahui seorangpun dari ulama mujtahid yang diperhitungkan ucapannya menyelisihi dalam masalah ini34.

Kemudian kalaupun pendapat dan alasan ini bisa diterima, maka tetap saja kondisi masjid-masjid kaum muslimin saat ini tidak memenuhi syarat yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi’i di atas, selain Masjidil haram, karena masjid-masjid tersebut rata-rata tidak terlalu luas dan tidak ada satu masjidpun yang cukup untuk menampung semua kaum muslimin di suatu kota tertentu.

Maka berdasarkan penjelasan ini, pelaksanakan shalat ‘Ied di masjid-masjid kaum muslimin di jaman ini, sungguh pada hakikatnya tidak sesuai dengan pendapat Imam asy-Syafi’i sendiri, sebagaimana yang kami jelskan di atas. Sehingga bisa dikatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu bukan hanya bertentangan dengan sunnah Rasulullah dan para al-Khulafaa’ ur-raasyidiin, bahkan juga menyelisihi petunjuk semua ulama dan Imam Ahlus sunnah yang ucapan mereka diperhitungkan35, wallahul musta’an.

Oleh karena itu, syaikh al-Albani berkata: “… Semua itu menunjukkan bahwa (pelaksanaan) shalat ‘Ied di masjid-masjid di jaman ini (tanpa adanya ‘udzur syar’i) adalah (perbuatan) bid’ah, meskipun menurut pendapat Imam asy-Syafi’i, karena tidak dijumpai satu masjidpun di negeri kami (juga di negeri-negeri kaum muslimin) yang bisa menampung kaum muslimin di negeri tersebut”36.

Hukum melaksanakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya ‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan)

Telah kami nukilkan ucapan beberapa ulama Ahlus sunnah yang menyatakan bahwa yang sesuai dengan sunnah Rasulullah adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang dan bukan di masjid, kecuali jika ada ‘udzur syar’i.

Oleh karena itulah, melaksanakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya ‘udzur syar’i jelas bertentangan dengan sunnah Rasulullah , sehingga sebagian dari para ulama Ahlus sunnah ada yang menyatakan ketidakbolehannya, ada juga yang mengatakan bahwa hal itu makruh (dibenci dalam Islam).

Penulis kitab “Zaadul mustaqni’” Syaikh Syarafuddin Musa bin Ahmad al-Hijawi berkata: “Dimakruhkan (dibenci dalam Islam) melaksanakan shalat ‘Ied di masjid jami’ tanpa adanya ‘udzur syar’i”. Ucapan beliau ini disetujui dan dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin ketika menjelaskan kandungan kitab ini, bahkan kemudian Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menambahkan: “Ucapan penulis ini memberikan pengertian bahwa melaksanakannya di masjid jami’ karena adanya ‘udzur syar’i tidaklah dimakruhkan”37.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam berkata: “Sesungguhnya shalat ‘Ied tidak boleh dilaksanakan di masjid, kecuali jika ada hajat (‘udzur syar’i) seperti hujan dan lain-lain”38.

Bahkan sebagaian dari para ulama Ahlus sunnah menyatakan bahwa ini termasuk perbuatan bid’ah.

Telah kami nukilkan sebelum ini ucapan Imam Ibnul Haajj al-Maliki, beliau berkata: “Ini adalah Sunnah Rasulullah dan melaksanakannya di masjid, menurut madzhab Imam Malik – semoga Allah merahmatinya – adalah (perbuatan) bid’ah39, kecuali jika ada alasan darurat (mendesak) untuk melaksanakannya di masjid, maka ini bukan perbuatan bid’ah. Karena Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya (shalai ‘Ied di masjid) dan juga para al-Khulafaa’ ur-raasyidiin (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ) sepeninggal beliau …”40.

Pendapat ini didukung dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani, beliau berkata: “Hadits-hadits shahih (yang telah kami nukilkan sebelumnya) dan selainnya, kemudian perbuatan generasi pertama (umat ini yaitu para Shahabat ) yang selalu ( melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang), lalu pernyataan para ulama (Ahlus sunnah), semua itu menunjukkan bahwa (pelaksanaan) shalat ‘Ied di masjid-masjid saat ini (tanpa adanya ‘udzur syar’i) adalah (perbuatan) bid’ah…”41.

Adapun sebab dan alasan yang menjadikan hal ini dibenci dalam Islam, maka para ulama telah menjelaskannya

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Melaksanakan shalat ‘Ied di masjid tanpa ‘udzur syar’i dimakruhkan (dibenci dalam Islam) karena perbuatan ini menjadikan luputnya tujuan besar (disyariatkannya shalaat ‘Ied), yaitu memperlihatkan dan menampakkan syi’ar Islam (yang agung) ini dan ini adalah tujuan yang dituntut dalam syariat Islam. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya bahwa Rasulullah memerintahkan (semua kaum muslimin) untuk keluar menuju tanah lapang meskipun (dalam kondisi) sulit. Maka ini menunjukkan perhatian besar (Rasulullah untuk menampakkan syi’ar Islam ini) dengan keluarnya kaum muslimin (menuju tanah lapang)”42.

Inilah pendapat para ulama yang didukung dengan dalil-dalil yang shahih, adapun pendapat yang membolehkan shalat ‘Ied di masjid tanpa ‘udzur syar’i secara mutlak maka tidak diketahui argumentasi yang menjadi sandarannya.

Memang benar para ulama mengatakan bahwa shalat ‘Ied tersebut tetap sah43, akan tetapi tidak lepas dari kemakruhan, sebagaimana penjelasan yang lalu, wallahu a’lam.

Kemudian contoh-contoh ‘udzur syar’i (alasan yang dibenarkan dalam syariat Islam), sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama adalah: hujan, angin kencang, atau adanya sesuatu yang ditakutkan (misalnya serangan musuh) sehingga menghalangi keluar menuju tanah lapang. Demikian pula ‘udzur yang ada pada orang-orang tertentu, seperti sakit, cacat, lanjut usia dan lain-lain44.

Hikmah disyariatkannya shalat ‘Ied di tanah lapang

Para ulama Ahlus sunnah menjelaskan beberapa hikmah agung disyariatkannya shalat ‘Ied di tanah lapang:

1. Untuk menampakkan syi’ar Islam yang agung dan lambang ketinggian agama Allah yang mulia.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat ‘Ied termasuk syi’ar-syi’ar Islam yang paling agung”45.

Imam Ibnul Haajj al-Maliki berkata: “…Rasulullah mensyariatkan shalat ‘Ied di tanah lapang untuk menampakkan syi’ar Islam”46.

2. Sebagai sebab untuk menyatukan hati kaum muslimin dan menghimpun kalimat mereka, dengan mereka shalat bersama di tanah lapang yang luas di belakang satu imam.

Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Kemudian sunnah Rasulullah ini, yaitu melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang, memiliki hikmah yang sangat agung dan tinggi (yaitu) agar kaum muslimin mempunyai dua hari dalam setahun (hari raya ‘Idul fithr dan ‘Iedul adha) untuk semua penduduk kota berkumpul pada hari itu, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Mereka semua menghadapkan diri kepada Allah dengan hati mereka, dengan satu kalimat dan shalat (bersama) di belakang imam yang satu.

Mereka bertakbir (mengucapkan ‘Allahu akbar’/Allah maha besar), bertahlil (mengucapkan ‘laa ilaha illallah’/Tidak ada sembahan yang benar selain Allah) dan berdo’a kepada-Nya dengan ikhlas, seakan-akan mereka memiliki hati yang satu.

Mereka berbahagia dan bergembira dengan limpahan nikmat Allah bagi mereka, sehingga hari ‘Ied benar-benar menjadi hari raya bagi mereka…

Maka semoga kaum muslimin mau mengikuti seruan untuk mengikuti sunnah Nabi mereka ini dan menghidupkan syi’ar-syi’ar agama mereka, yang ini merupakan penentu kemuliaan dan kesuksesan mereka. Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)47 hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24)”48.

Penjelasan yang semakna juga dinyatakan oleh Syaikh Abdullah bin ‘Abdir Rahman al-Bassam dalam kitab “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (3/55).

Juga perlu diingatkan kepada kaum muslimin di sini bahwa tujuan disyariatkannya shalat ‘Ied di tanah lapang adalah untuk menytukan kaum muslimin di setiap kota di satu tempat, maka tidak semestinya terjadi banyak didakan tempat pelaksanaan shalat ‘Ied, baik di tanah lapang maupun masjid, apalagi yang jaraknya berdekatan, karena ini akan memecah belah persatuan kaum muslimin dan jelas bertentangan dengan hikamh agung disyariatkannya shalat ‘Ied, wallahul musta’aan49.

Nasehat dan penutup

Inilah sunnah Rasulullah , para al-Khulafaa’ ur-raasyidiin dan bahkan para Shahabat secara keseluruhan dalam melaksanakan shalat ‘Ied, apakah seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah dan mengikuti petunjuk para Shahabat masih ragu-ragu untuk mengikuti dan mengamalkannya?

Yang sungguh sangat mengherankan, ketika sunnah Rasulullah yang agung ini demikian mudah untuk diamalkan tanpa ada halangan yang berarti, tapi sebagian dari kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang mengaku sebagai pengikut sunnah Rasulullah , tetap bersikeras menyelisihinya, dengan melaksanakan shalat ‘Ied di masjid, wallahul musta’an.

Sebagai contoh, misalnya di beberapa daerah di Indonesia, alhamdulillah pelaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang sudah dikenal dan terbiasa di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa hal ini lebih dikenal di kalangan masyarakat awam daripada shalat ‘Ied yang dikerjakan di masjid-masjid.

Lantas alasan dan halangan apakah yang menjadikan sebagian dari kaum muslimin tetap menyelisihi sunnah yang agung ini? Kalaulah hal ini belum dikenal di masyarakat, mungkin kita bisa memberikan ‘udzur dengan mengatakan bahwa dalam rangka menjinakkan hati masyarakat awam maka untuk sementara dilakukan dulu hal-hal yang mereka tidak ingkari, sampai pemahaman yang benar mereka kenal dengan baik. Tapi kenyataan yang terjadi malah terbalik, justru masyarakat awam yang lebih mengenal dan semangat mempraktekkan sunnah ini daripada mereka yang mengaku dekat dengan sunnah Rasulullah .

{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}

Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).

Sebagai penutup, di sini kami nukilkan ucapan dari Syaikh al-Albani yang mengandung nasehat dan kesimpulan dari pembahasan ini.

Beliau berkata: “Dari penjelasan yang lalu maka kita ketahui bahwa melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang inilah yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah dan ini merupakan hal yang disepakati oleh para imam Ahlus sunnah dari tinjauan ilmiyah. Di samping itu, melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang mengandung banyak faedah dan hikmah yang tidak akan terwujud mayoritasnya dengan dilaksanakan di satu atau banyak masjid.

Oleh karena itu, semestinya bagi kaum muslimin untuk kembali kepada sunnah Nabi mereka dan ikut serta (memberikan dukungan) kepada orang-orang yang bersemangat ingin menghidupkan sunnah ini di negeri-negeri kaum muslimin. Sesunguhnya tangan Allah di atas jama’ah kaum muslimin, yaitu jama’ah (yang selalu menetapi) sunnah Rasulullah dan bukan yang menyelisihinya”50.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat sebagai nasehat kebaikan bagi kita semua dan motivasi untuk selalu bersiap merubah diri kita mengikuti kebenaran yang telah jelas argumentasinya di hadapan kita, wallahu waliyyut taufiq.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 11 Ramadhan al-Mubarak 1436 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

1 Syi’ar adalah tanda atau lambang keagungan Islam yang diperintahkan oleh Allah untuk ditegakkan dan ditampakkan (lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” 2/1169 dan “Tafsir as-Sa’di” hlmn. 76).

2 Lihat kitab “Majmuu’ul fataawa” (24/183).

3 Lihat kitab “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/384).

4 HSR al-Bukhari (no. 1133) dan Muslim (no. 1394).

5 Perbuatan dalam agama yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah .

6 HSR al-Bukhari (no. 344) dan Muslim (no. 890).

7 Kitab “al-Madkhal” (2/283).

8 HSR al-Bukhari (no. 913) dan Muslim (no. 889).

9 Kitab “Syarh shahih Muslim” (6/177).

10 Kitab “Fathul Baari” (2/450).

11 HSR al-Bukhari (no. 930), Muslim (no. 501), Ibnu Majah (no. 1304) dan lain-lain.

12 HSR al-Bukhari (no. 933) dan Ahmad (4/282).

13 Kitab “al-Mudawwanah al-kubra” (1/245).

14 Kitab “al-Umm” (1/267).

15 Kitab “al-Mugni (2/229).

16 Kitab “Zaadul ma’aad” (1/441).

17 Dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 20).

18 Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (9/314).

19 Kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 20).

20 Kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 35).

21 Kitab “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/384).

22 Kitab “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (3/42).

23 Kitab “Nailul authaar” (2/587).

24 Kitab “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/387).

25 Lihat kitab “Fathu Dzil jalaali wal ikraam bisyarhi buluugil maraam” (2/392).

26 Kitab “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/387).

27 Kitab “al-Mugni (2/229).

28 Kitab “al-Umm” (1/268).

29 Lihat kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 35-36) dan “Taudhiihul ahkaam” (3/56).

30 Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al-Albani dalam “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn 27)

31 Keduanya dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Miizaanul i’tidaal” (3/628).

32 Kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn. 93).

33 Kitab “Nailul authaar” (3/359).

34 Kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 28).

35 Lihat kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 28).

36 Kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 36).

37 Lihat ucapan al-Hijawi dan Syaikh al-‘Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/387).

38 Kitab “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (3/42).

39 Perbuatan dalam agama yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah .

40 HSR al-Bukhari (no. 344) dan Muslim (no. 890).

41 Kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 36).

42 Kitab “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/387).

43 Lihat kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 14).

44 Lihat kitab “asy-Syarhul mumti’ ‘ala zaadil mustaqni’” (2/387) dan Shahiihu fiqhis sunnah” (1/601).

45 Lihat kitab “Majmuu’ul fataawa” (24/183).

46 Kitab “al-Madkhal” (2/283).

47 Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

48 Dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 39).

49 Lihat kitab “Shahiihu fiqhis sunnah” (1/601).

50 Kitab “Shalaatul ‘iedaini fil mushalla hiyas sunnah” (hlmn. 43).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *