“Sampai kapan kita terus bersabar melihat keadaan seperti ini?”, “Apa kita bersabar terus sampai hancur dan binasa?”, “Kalau kita bersabar terus tanpa berbuat apa-apa maka kapan keadaan buruk ini akan berubah?”.
Komentar-komantar di atas barangkali sering kita kita dengarkan, atau bahkan disampaikan kepada kita ketika kita berupaya mengajak sebagian dari kaum muslimin untuk bersikap benar dan bersabar dalam menghadapi kejadian-kejadian di sekitar kita yang tidak kita inginkan.
Tentu saja komentar-komentar tersebut tidak didasari ilmu dan pemahaman agama yang benar, khususnya dalam memahami makna sifat sabar yang banyak dipuji dan diperintahkan dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Bahkan inilah yang diperintahkan Allah ﷻ kepada hamba dan Rasul-Nya yang paling mulia, Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau menghadapi kenyataan yang sangat pahit dan menyakitkan dari kaum kafir Quraisy yang menolak seruan dakwah beliau ﷺ dan bahkan menyakiti beliau ﷺ dengan berbagai macam gangguan[1].
Allah ﷻ berfirman:
{فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيْلاً}
“Maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang indah” (QS al-Ma’aarij:5).
Perintah Allah ﷻ untuk menetapi sifat sabar dalam menghadapi keadaan seperti itu menunjukkan bahwa hal ini akan mendatangkan banyak kebaikan pada akhirnya[2], karena memang sifat sabar merupakan sebab utama turunnya pertolongan dari Allah ﷻ kepada hamba yang menetapinya.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah bahwa bersabar ketika (menghadapi) sesuatu yang tidak disukai (akan mendatangkan) banyak kebaikan, sesungguhnya pertolongan (dari Allah ﷻ selalu) bersama sifat sabar, sesungguhnya jalan keluar (selalu) bersama kesempitan dan sesungguhnya bersama kesusahan (selalu ada) kemudahan”[3].
Keutamaan dan kemuliaan sifat sabar
Keutamaan dan kemuliaan ini banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah ﷺ.
Allah ﷻ berfirman:
{إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka (pada hari kiamat kelak) tanpa batas” (QS az-Zumar:10).
Imam asy-Syaukani berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa pahala dan ganjaran kebaikan orang-orang yang bersabar tidak ada batasnya… Ini adalah keutamaan besar dan ganjaran kebaikan agung yang mengandung arti bahwa setiap orang yang mendambakan pahala (dari) Allah dan menginginkan balasan kebaikan di sisi-Nya maka hendaknya dia menetapi sifat sabar, mengikatkan diri dengannya dan berpegang teguh padanya”[4].
Dalam ayat lain, Allah ﷻ berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ}
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar” (QS al-Baqarah: 153).
Arti kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah al-maiyyah al-khaashshah (kebersamaan khusus) yang mengandung makna limpahan pertolongan, taufik, penjagaan, dan perlindungan-Nya bagi hamba tersebut[5]. Kebersamaan ini khusus bagi hamba-hamba Allah ﷻ yang beriman dan memiliki sifat-sifat mulia.
Imam asy-Syaukani berkata: “Dalam ayat ini terdapat motivasi terbesar bagi hamba-hamba Allah ﷻ untuk menetapi sifat sabar ketika menghadapi segala kesusahan, karena barangsiapa yang Allah bersamanya, maka dia tidak akan takut (menghadapi) segala rintangan (apapun) meskipun (sebesar) gunung”[6]..
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) Allah ﷻ memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menjadikan sabar dan salat sebagai penolong dalam (menghadapi) urusan-urusan agama dan dunia mereka… Maka sifat sabar merupakan penolong besar dalam menghadapi segala urusan, maka tidak ada jalan bagi orang yang tidak bersabar untuk mencapai apa yang diinginkannya (karena tidak adanya pertolongan dari Allah baginya)… Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan khusus yang mengandung makna kecintaan, bantuan, pertolongan dan kedekatan Allah (bagi hamba-hamba tersebut). Maka ini merupakan kemuliaan besar bagi orang-orang yang memiliki sifat sabar. Kalau seandainya tidaklah ada keutamaan bagi orang-orang yang bersabar kecuali mendapatkan kebersamaan yang khusus dari Allah ini, maka cukuplah hal ini sebagai keutamaan dan kemuliaan (besar)”[7].
Kemudian, dalam sebuah hadits yang shahih, dari Abu Sa’id al-Khudri رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang sungguh-sungguh berusaha untuk bersabar maka Allah akan memudahkan kesabaran baginya, dan tidaklah sesorang dianugerahkan (oleh Allah ﷻ) pemberian yang lebih baik dan lebih luas (keutamaannya) dari pada (sifat) sabar”[8].
Hadits yang mulia ini menunjukkan agungnya keutamaan dan tingginya kedudukan sifat sabar dalam Islam, bahkan menunjukkan bahwa sifat ini menempati kedudukan yang tertinggi dalam Islam, karena sifat ini menghimpun semua sifat dan perbuatan yang terpuji[9].
Sebagaimana hadits ini juga menunjukkan bahwa sifat sabar tidak akan diraih kecuali dengan taufik dari Allah ﷻ dan dengan bersungguh-sungguh berusaha melatih dan membiasakan diri menetapi sifat tersebut[10], demikian pula sifat-sifat mulia lainnya dalam Islam[11].
Dan masih banyak dalil-dalil lain yang menjelaskan tingginya kemuliaan dan keutamaan sifat agung ini.
Makna sabar dan hakikatnya
Arti sabar secara etimologi adalah al-habs (menahan/mencegah), maka makna sabar adalah menahan diri dari berputus asa, dan menahan lisan dari keluh kesah, serta menahan anggota badan dari perbuatan yang dilarang Allah ﷻ[12]. Inilah arti kesabaran yang indah yang Allah ﷻ perintahkan dalam firman-Nya:
{فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلاً}
“Maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang indah” (QS al-Ma’aarij:5).
Imam asy-Syaukani berkata: “Makna kesabaran yang indah adalah kesabaran yang tidak disertai sikap berkeluh kesah dan mengadu kepada selain Allah”[13].
Tentu saja hal ini akan dimudahkan oleh Allah ﷻ bagi hamba-Nya karena keimanannya yang kuat dan pengharapannya terhadap balasan pahala di sisi Allah ﷻ.
Imam Sa’id bin Jubair berkata: “Kesabaran itu adalah pengakuan seorang hamba kepada Allah atas musibah yang menimpa dirinya (bahwa itu semua dari sisi-Nya) dan pengharapannya terhadap balasan pahala di sisi-Nya. Sungguh terkadang seorang hamba bersedih, akan tetapi dia berusaha menahan diri, tidak terlihat darinya kecuali kesabaran”[14].
Inilah sebab besar limpahan hidayah dan taufik dari Allah ﷻ ke dalam hati seorang hamba yang merupakan landasan utama segala kebaikan, sekaligus sebagai sebab yang meringankan musibah yang menimpa hamba tersebut, disertai balasan pahala yang agung di sisi-Nya.
Allah ﷻ berfirman:
{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Taghaabun:11).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah ﷻ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya”[15].
Sedangkan hakikat sabar adalah seperti yang dipaparkan oleh Imam Ibnul Qayyim, yaitu: “akhlak mulia yang termasuk perangai jiwa (yang luhur), dengannya seorang hamba akan menjauhi perbuatan buruk dan tidak terpuji. Sifat ini merupakan bagian dari kekuatan jiwa yang menjadikan baik dan lurus keadaannya”[16].
Adapun rukun sabar ada tiga yaitu:
1- Menahan diri dari sikap murka terhadap segala ketentuan Allah ﷻ
2- Menahan lisan dari keluh kesah (kepada selain Allah ﷻ)
3- Menahan anggota badan dari perbuatan yang dilarang (Allah ﷻ), seperti menampar wajah (ketika terjadi musibah), merobek pakaian, memotong rambut dan sebagainya.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Poros sifat sabar berkisar pada tiga rukun ini, sehingga barang-siapa yang menunaikan ketiga rukun ini dengan benar maka musibah yang menimpanya akan berganti menjadi anugerah, bencana berubah menjadi karunia, dan hal yang tidak disukainya berubah menjadi kesenangan. Karena sesungguhnya Allah tidaklah mengujinya (dengan musibah) untuk membinasakannya, akan tetapi hal itu untuk menguji kesabaran dan ‘ubudiyah (penghambaan diri)nya kepada Allah”[17].
Para ulama juga menjelaskan bahwa sabar itu ada tiga macam: sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah ﷻ, sabar dalam meninggalkan larangan-larangan-Nya, dan sabar dalam menghadapi ketentuan takdir-Nya yang menimpa manusia[18].
Sabar identik dengan pasrah pada keadaan dan berpangku tangan?
Berdasarkan pemaparan di atas, jelaslah bahwa sifat sabar tidak berarti berpangku tangan atau pasrah pada keadaan, seperti yang dituduhkan oleh sebagian dari kaum muslimin kepada orang-orang yang selalu menyerukan untuk bersabar dalam menghadapi kenyataan sepahit apapun. Bahkan menetapi sifat ini justru merupakan solusi dan tindakan terbaik dalam menghadapi semua itu, karena bukankah sifat inilah yang Allah ﷻ perintahkan kepada Rasul-Nya ﷺ, sebagaimana penjelasan di atas, ketika Rasulullah ﷺ menghadapi kesusahan yang lebih dari kesusahan apapun yang dialami seorang manusia di jalan Allah? Bukankah sifat ini merupakan sebai-baik penolong bagi seorang hamba? Bukankah sifat ini termasuk sebab turunnya pertolongan dari Allah? Di atas telah kami nukil sabda Rasulullah ﷺ: “Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan (dari Allah ﷻ selalu) bersama sifat sabar”[19].
Bahkan lebih dari itu semua, bukankah sifat ini menghimpun semua sifat dan perbuatan yang terpuji dalam Islam, sebagaimana hadits Rasulullah ﷺ yang telah kami nukil di atas?. Maka kalau demikian keadaan dan kedudukan mulia sifat ini dalam Islam, lalu apakah pantas jika sifat ini diidentikkan dengan pasrah dan berpangku tangan yang menunjukkan arti negatif dan buruk?.
Memang benar kita diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk berusaha merubah keadaan yang buruk dan bertentangan dengan prtunjuk Islam, bahkan kita perintahkan untuk berusaha merubah kemungkaran dan kemaksiatan yang terjadi semaksimal yang mampu kita lakukan.
Allah ﷻ berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ}
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS ar-Ra’d: 11).
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran/kemaksiatan maka hendaklah dia (berusaha) merubahnya dengan tangannya, kalau dia tidak mampu maka dengan lisan (ucapan)nya, kalau tidak dia mampu maka dengan hatinya, dan pengingkaran dengan hati itu adalah selemah-lemah iman”[20].
Akan tetapi, ini semua bukan berarti kita boleh melakukan tindakan apa saja dalam rangka merubah kemungkaran, sampaipun dengan melanggar batasan-batasan agama!.
Karena kalau ini diperbolehkan, maka apa bedanya kita dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran pertama, lalu kita merubahnya dengan cara yang sama mungkarnya atau bahkan lebih buruk?.
Oleh karena itulah, para ulama melarang tindakan mencegah kemungkaran jika ditakutkan atau paling tidak ada kemungkinan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar[21].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak diperbolehkan mengingkari kemungkaran dengan tindakan yang lebih buruk daripada kemungkaran tersebut. Oleh karena (dalam Islam) diharamkan memberontak dengan senjata kepada penguasa/pemerintah (meskipun) dengan alasan beramar ma’ruf dan nahi mungkar, karena akibat (buruk) yang ditimbulkan setelah itu, dengan melakukan perbuatan haram dan meninggalkan kewajiban, lebih besar daripada perbuatan mungkar dan dosa yang mereka lakukan”[22].
Di dalam al-Qur’an, Allah ﷻ memerintahkan kepada kita untuk menghadapi dan menyikapi perbuatan buruk dengan cara yang baik dan bukan dengan keburukan. Allah ﷻ berfirman:
{وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ، ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ}
“Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan, tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” (QS Fushshilat: 34-35).
Artinya: tolaklah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, kemungkaran dengan kebaikan, kezhaliman dengan pemaafan dan dosa dengan bertaubat[23].
Kemudian dalam ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan manfaat besar menolak keburukan dengan kebaikan, yaitu: menjadikan tunduk orang yang tadinya memusuhi kita, bahkan menjadikannya seperti teman akrab bagi kita[24]. Ini berarti bahwa sikap ini merupakan cara terbaik untuk mencegah kemungkaran, karena akan melahirkan kesudahan yang baik dan damai.
Lalu di akhir ayat ini, Allah ﷻ menegaskan bahwa taufik dari-Nya untuk bisa melakukan kebaikan besar ini hanya diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki sifat sabar, karena sifat mulia inilah yang akan membawa kepada keberuntungan besar di dunia dan akhirat kelak[25].
Jadi berdasarkan pemaparan di atas, jelaslah bahwa bersabar bukanlah tercela dan menunjukkan sikap lemah, bahkan sifat ini adalah sifat terpuji dan merupakan cara menghadapi dan memecahkan masalah yang terbaik, karena sifat ini merupakan sebab utama turunnya pertolongan dari Allah ﷻ.
Juga perlu ditambahkan di sini, bahwa bukan berarti dengan kita menetapi sifat sabar dalam menghadapi kemungkaran, lantas kita hanya berpangku tangan dan tidak melakukan tindakan apa-apa untuk merubahnya, sama sekali tidak demikian! Kita tetap diperintahkan untuk melakukan usaha untuk merubahnya, tapi usaha dan tindakan yang sesuai dengan petunjuk Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Makanya kita diperintahkan untuk menetapi sifat sabar supaya tindakan dan usaha kita tidak melampaui batasan syariat yang telah digariskan oleh Allah ﷻ.
Inilah makna sabda Rasulullah ﷺ: “Bersemangatlah melakukan apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, serta janganlah bersikap lemah”[26].
Di antara perbuatan dan tindakan terpuji yang akan lahir dari sifat sabar, dengan izin Allah ﷻ, adalah bersikap lemah lembut dan tidak tergesa-gesa dalam menghadapi setiap masalah, tidak mudah marah, menasehati pelaku kemungkaran dengan nasehat yang baik, mudah memaafkan dalam hal-hal yang memang pantas dimaafkan dan lain-lain.
Semua tindakan dan sikap tersebut merupakan sebab kebaikan yang dipuji dalam Islam, sebagaimana dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah ﷺ berikut:
– “Sesungguhnya sikap lemah lembut tidaklah ditempatkan pada sesuatu kecuali akan meng-hiasinya dan tidaklah dihilangkan dari sesuatu kecuali akan menjadikannya buruk”[27].
– “Sikap at-taanni (tenang dan tidak terburu-buru mengambil keputusan) adalah dari Allah sedangkan sikap tergesa-gesa adalah dari Setan”[28].
– “Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemaafannya kecuali kemuliaan”[29].
– “Ada tiga sifat yang menjadikan hati seorang muslim tidak akan menjadi dengki dan buruk…(di antaranya): menasehati (dengan baik) para pemimpin kaum muslimin”[30].
Dan tentu semua sikap-sikap baik inilah yang akan memudahkan turunnya pertolongan dari Allah ﷻ, sebagaimana dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُم}
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad: 7).
Asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi berkata: “Sudah diketahui bahwa menolong (agama) Allah hanya (dilakukan) dengan mengikuti ketentuan yang digariskan-Nya dalam syariat Islam, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua laranagn-Nya”[31].
Kesimpulan dan Nasehat
Kesimpulan dari pemaparan di atas adalah bahwa bersikap sabar dalam menghadapi segala sesuatu akan mendatangkan segala kebaikan dan menjadikan baik hasil akhir dalam segala urusan, karena sikap inilah yang merupakan sebab besar turunnya pertolongan dari Allah ﷻ.
Oleh karena itulah, sifat ini sangat dianjurkan untuk selalu menyertai seorang hamba ketika dia berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah ﷻ dengan memerintahkan kepada kabaikan dan melarang dari kemungkaran.
Allah ﷻ berfirman menukil ucapan Lukman al-Hakim ketika menasehati anaknya:
{يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ}
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik serta cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa (gangguan) yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS Luqman: 17).
Ayat ini menunjukkan bahwa bersifat sabar dalam menghadapi perlakuan buruk ketika seorang hamba menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, ini adalah termasuk akhlak terpuji yang selalu ditempuh oleh orang-orang yang mengikuti jalan keselamatan[32].
Dalam hal ini, shahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas رضي الله عنه berkata: “Termasuk hakikat iman adalah bersabar dalam (menghadapai) hal-hal yang tidak kita sukai (buruk)”[33].
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya dan kita memohon kepada Allah ﷻ dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi agar Dia ﷻ senantiasa memudahkan taufik-Nya bagi kita semua untuk memiliki sifat sabar dalam menghadapi semua keadaan dan sifat-sifat mulia dalam Islam lainnya. Sesungguhnya Dia ﷻ maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a hamba-hamba-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 7 Dzulhijjah 1437 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Lihat “Tafsir Ibni Jarir ath-Thabari” (12/228) dan “Fathul Qadiir” (5/404).
[2] Lihat “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 885).
[3] HR Ahmad (1/307) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 2382).
[4] KItab “Fathul Qadiir” (4/645).
[5] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/781) dan “Syarhul ‘aqiidatil waasithiyyah” (1/402).
[6] Kitab “Fathul Qadiir” (1/246).
[7] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 74).
[8] HSR al-Bukhari (6105) dan Muslim (1053).
[9] Kitab “Tuhfatul ahwadzi” (6/143).
[10] Lihat keterangan imam as-Sindi dalam kitab “Haasyiatus Sindi ‘alan Nasa-i (5/95).
[11] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (1/82).
[12] Lihat kitab “’Idatush shaabiriin” (hlmn 7).
[13] KItab “Fathul Qadiir” (5/404).
[14] Dinukil oleh mam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/268).
[15] Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
[16] KItab “’Idatush shaabiriin wa dzakhiiratusy syaakiriin” (hlmn 36 – cet. Dar Ibnil Jauzi, Arab Saudi).
[17] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilish shayyib” (hal. 11).
[18] Lihat keterangan imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
[19] HR Ahmad (1/307) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 2382).
[20] HSR Muslim (no. 49).
[21] Lihat kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/4) dan “Fathul Baari” (1/225).
[22] Kitab “Majmuu’ul fataawa” (14/472).
[23] Lihat penjelasan Imam asy-Syaukani dalam kitab “Fathul Qadiir” (4/106).
[24] Lihat penjelasan Imam al-Bagawi kitab “Ma’aa-limut tanziil” (7/174).
[25] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 749).
[26] HSR Muslim (no. 2664).
[27] HSR Muslim (no. 2594).
[28] HR at-Tirmidzi (4/367), Abu Ya’la (3/1054) dan al-Baihaqi (10/104), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 1795).
[29] HSR Muslim (no. 2588).
[30] HR at-Tirmidzi (5/34), Ibnu majah (no. 230) dan Ahmad (3/225), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[31] Kitab tafsir beliau “Adhwaa-ul bayaan” (5/272).
[32] Lihat penjelasan Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsir beliau (14/63).
[33] Dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsir beliau (14/63).