بسم الله الرحمن الرحيم
“Seorang pengusaha sukses harus menguasai ilmu-ilmu tentang dunia usaha”. Pernyataan tersebut tentu saja akan diaminkan semua orang. Karena memang untuk dapat sukses dalam usaha seseorang paling tidak harus memahami ilmu ekomoni, strategi pemasaran, menejemen bisnis dan lain-lain yang berhubungan dengan dunia usaha.
Tapi jika dikatakan “Seorang pengusaha sukses harus memahami ilmu agama” maka tentu banyak orang yang tidak setuju, minimal bertanya dengan keheranan : “apa hubungannya bisnis dengan ilmu agama?” atau “apa gunanya ilmu agama dalam membantu mewujudkan suksesnya usaha?”.
Untuk memahami jawaban pertanyaan di atas, marilah kita renungkan makna atsar berikut ini,
Shahabat yang mulia, ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Tidak boleh berdagang di pasar-pasar kami kecuali orang yang telah memahami (ilmu) agama, karena kalau tidak (demikian) maka dia akan memakan (harta) riba”[1].
Arti ucapan shahabat yang berjuluk “orang yang selalu mendapat ilham dari Allah ”[2] ini adalah tidak boleh melakukan kegiatan jual-beli di tempat-tempat perniagaan kecuali orang yang telah memahami hukum-hukum jual beli, agar orang tersebut tidak terjerumus ke dalam hal yang diharamkan dalam agama dengan atau tanpa disadarinya.
Ya, memang benar, seorang pengusaha yang ingin sukses dalam artian sebenarnya, sukses dunia dan akhirat, wajib memahami ilmu agama yang berhubungan dengan kewajiban-kewajibannya dalam agama, kemudian lebih khusus lagi, yang berhubungan dengan masalah halal dan haram dalam dunia usaha/bisnis yang sedang digelutinya.
Kalau untuk tujuan terhindar dari kegagalan atau kerugian dalam bisnis saja seorang pengusaha muslim rela mengorbankan banyak waktu, tenaga dan biaya dalam mempelajari ilmu-ilmu di atas, maka mengapa untuk kerugian terbesar di akhirat karena melanggar hukum Allah dalam jual-beli sebagai akibat dari tidak paham ilmu agama, mengapa ini tidak dipedulikannya? Padahal Allah berfirman tentang orang-orang merugi yang sebenarnya:
{الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi (berbuat maksiat). Mereka itulah orang-orang yang merugi” (QS al-Baqarah: 27).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ}
“Orang itu rugi di dunia dan akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (QS al-hajj: 11).
Kalau untuk kepentingan menjaga modal usaha agar tetap stabil, seorang pengusaha rela menguras pikiran dan tenaga, maka mengapa kebaikan agamanya yang merupakan modal pokoknya yang sesungguhnya justru diabaikannya dengan tidak berusaha memahami hukum-hukumnya?!
Imam al-Hasan al-Bashri berkata: “Modal utama seorang mukmin adalah agamanya, ke manapun dia pergi, maka dia selalu membawa (megutamakan) agamanya”[3].
Dalam al-Qur-an, Allah mencela orang-orang yang hanya mementingkan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan dan keuntungan dalam urusan dunia, tapi mereka tidak memperhatikan ilmu agama yang justru berguna untuk menyelamatkan mereka dari kerugian yang sesungguhnya di akhirat kelak. Allah E berfirman:
{يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ}
“Mereka (hanya) mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai” (QS ar-Ruum: 7).
Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata: “Mayoritas manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan kecuali tentang dunia, usaha-usahanya, (cara-cara) meraih keuntungannya dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Bahkan mereka sangat cerdas dan ahli dalam usaha mendapatkan keuntungan dunia. Akan tetapi, mereka lalai dari (ilmu agama) yang bermanfaat bagi mereka di negeri akhirat (kelak), bahkan mereka (dalam hal ini) seperti orang dungu yang tidak punya akal dan pikiran sama sekali”[4].
Di antara contoh penerapan ilmu agama dalam usaha jual beli untuk membantu meraih kesuksesan dalam usaha, adalah sabda Rasulullah : “Kalau keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan atau uang pembayaran) maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli tersebut, tapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut) maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”[5].
Lihatlah bagaimana Rasulullah menjelaskan sebab kesuksesan dalam usaha jual-beli yang berupa keberkahan dan kebaikan dalam usaha tersebut. Kesuksesan apa yang lebih besar dari keberkahan dan kebaikan yang Allah jadikan pada usaha jual-beli dan keuntungan harta yang dilimpahkan-Nya kepada seorang muslim?!.
Semoga Allah senantiasa membimbing langkah kita dalam kebaikan serta memudahkan kita meraih kesuksesan dunia dan akhirat dengan memahami dan mengamalkan petunjuk dalam agama-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Jumadal akhir 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Dinukil oleh Imam al-Ajurri dalam kitab “al-Arba’uuna hadiitsan” (hal. 9).
[2] Sebagaimana dalam HR at-Tirmidzi (no. 3693) dan dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmizi dan Syaikh al-Albani.
[3] Dinukil oleh Imam al-Ajurri dalam kitab “al-Gurabaa-u minal mu’miniin” (hal. 28).
[4] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (6/305- cet. Dar Thayyibahs).
[5] HSR al-Bukhari (no. 1973) dan Muslim (no. 1532).
2 comments