بسم الله الرحمن الرحيم
Khusyu’ dalam ibadah kedudukannya seperti ruh/jiwa dalam tubuh manusia[1], sehingga ibadah yang dilakukan tanpa khusyu’ adalah ibarat tubuh tanpa jasad alias mati.
Oleh karena itu, Allah memuji para Nabi dan Rasul dengan sifat mulia ini, yang mereka adalah hamba-hamba-Nya yang memiliki keimanan yang sempurna dan selalu bersegera dalam kebaikan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
Dalam ayat lain, Dia memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dengan sifat-sifat mulia yang ada pada mereka, di antaranya sifat khusyu’:
{إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Ahzaab: 35).
Bahkan Allah menjadikan sifat agung ini termasuk ciri utama orang-orang yang sempurna imannya dan sebab keberuntungan mereka[2], dalam firman-Nya:
{قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ}
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”.
Oleh karena itu, Rasulullah memohon kepada Allah sifat mulia ini dalam doa beliau : “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”[3].
Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah [4].
Arti khusyu’ dan hakikatnya
Secara bahasa khusyu’ berarti as-sukuun (diam/tenang) dan at-tadzallul (merendahkan diri). Sifat mulia ini bersumber dari dalam hati yang kemudian pengaruhnya terpancar pada anggota badan manusia.
Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah ). Tatkala Hati manusia telah khusyu’ maka semua anggota badan akan ikut khusyu’, karena anggota badan (selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda Rasulullah : “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”.
Maka jika hati seseorang khusyu’, pendengaran, penglihatan, kepala, wajah dan semua anggota badannya ikut khusyu’, (bahkan) semua yang bersumber dari anggota badannya”[5].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Para ulama sepakat (mengatakan) bahwa khusyu’ tempatnya dalam hati dan buahnya (tandanya terlihat) pada anggota badan”[6].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Khusyu’ dalam shalat adalah hadirnya hati (seorang hamba) di hadapan Allah dengan merasakan kedekatan-Nya, sehingga hatinya merasa tentram dan jiwanya merasa tenang, (sehingga) semua gerakan (angota badannya) menjadi tenang, tidak berpaling (kepada urusan lain), dan bersikap santun di hadapan Allah, dengan menghayati semua ucapan dan perbuatan yang dilakukannya dalam shalat, dari awal sampai akhir. Maka dengan ini akan sirna bisikan-bisikan (Setan) dan pikiran-pikiran yang buruk. Inilah ruh dan tujuan shalat”[7].
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf ketika beliau melihat seorang laki-laki yang bermain-main dalam shalatnya: “Seandainya hati orang ini khusyu’ maka akan khusyu’ semua anggota tubuhnya”[8].
Lebih lanjut, imam al-Bagawi memaparkan makna ini dalam ucapan beliau: “Para ulama berbeda (pendapat) dalam makna khusyu’, Ibnu ‘Abbas berkata: “(Orang-orang yang khusyu’ adalah) mereka yang selalu tunduk dan merendahkan diri (kepada Allah ). al-Hasan (al-Bashri) dan Qatadah berkata: “(Mereka adalah) orang-orang yang selalu takut (kepada-Nya)”. Muqatil berkata: “(Mereka adalah) orang-orang yang merendahkan diri (kepada-Nya)”. Mujahid berkata: “Khusyu’ adalah menundukkan pandangan dan merendahkan suara”. Khusyu’ (artinya) mirip dengan khudhu’, cuma khudhu’ ada pada (anggota) badan, sedangkan khusyu’ ada pada hati, badan, pandangan dan suara. Allah berfirman:
{وَخَشَعَتِ الأصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ}
“Dan (pada hari kiamat) khusyu’lah (merendahlah) semua suara kepada Yang Maha Pemurah” (QS Thaahaa: 108)”[9].
Khusyu’ adalah buah manis dari ilmu yang bermanfaat
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan”[10].
Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah menggandengkan empat perkara yang tercela ini, sebagai isyarat bahwa ilmu yang tidak bermanfaat memiliki tanda-tanda buruk, yaitu hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan[11], nu’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu yang tidak menimbulkan (sifat) khusyu’ dalam hati maka ini adalah ilmu yang tidak bermanfaat”[12].
Maka hadits ini merupakan argumentasi yang menunjukkan bahwa sifat khusyu’ adalah termasuk buah yang manis dan agung dari ilmu yang bermanfaat.
Imam al-‘Ala-i berkata: “Ketika Rasulullah (dalam hadits ini) menggandengkan antara memohon perlindungan (kepada Allah ) dari ilmu yang tidak bermanfaat dan dari hati yang tidak khusyu’, (maka) ini mengisyaratkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang mewariskan sifat khusyu’ (dalam diri manusia)”[13].
Lebih lanjut, imam Ibnu Rajab menjelaskan keterikatan antara ilmu yang bermanfaat dan sifat khusyu’ dalam ucapan beliau: “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang merasuk dan menyentuh hati manusia, kemudian menumbuhkan dalam hati ma’rifatullah (mengenal Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna) dan meyakini kemahabesaran-Nya, (demikian pula) rasa takut, pengagungan, pemuliaan dan cinta (kepada-Nya). Tatkala sifat-sifat ini telah menetap dalam hati (seorang hamba), maka hatinya akan khusyu’ lalu semua anggota badannyapun akan khusyu’ mengikuti kekhsyu’an hatinya”[14].
Inilah keutamaan khusyu’ yang merupakan buah utama ilmu yang bermanfaat, sekaligus merupakan ilmu yang pertama kali diangkat oleh Allah dari muka bumi ini[15], sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Darda’ bahwa Rasulullah bersabda: “Yang pertama kali diangkat (oleh Allah) dari umat ini adalah sifat khusyu’, sehingga (nantinya) kamu tidak akan melihat lagi seorang yang khusyu’ (dalam ibadahnya)”[16].
Khusyu’ dalam shalat
Sifat khusyu’ dituntut dalam semua bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah , akan tetapi dalam ibadah shalat, sifat yang agung ini lebih terlihat wujud dan pengaruh positifnya.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Sungguh Allah telah mensyariatkan bagi hamba-hamba-Nya berbagai macam ibadah yang akan tampak padanya kekhusyu’an (anggota) badan (seorang hamba) yang bersumber dari kekhusyu’an, ketundukan dan kerendahan diri dalam hatinya. Dan termasuk ibadah yang paling tampak padanya kekhusyu’an adalah ibadah shalat. Allah memuji hamba-hamba-Nya yang khusyu’ dalam shalat mereka dalam firman-Nya:
{قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ}
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”[17].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Para ulama menafsirkan (arti) khusyu’ dalam shalat yaitu diamnya anggota badan yang disertai dengan ketenangan (dalam) hati. Maksudnya: menghadirkan/mengkonsentrasikan hati dalam shalat dan menjadikan anggota badan tenang, maka tidak ada perbuatan sia-sia dan bermain-main (dalam shalat) disertai hati yang hadir berkonsentrasi menghadap ke pada Allah . Tatkala hati (seorang hamba) menghadap kepada Allah yang maha mengetahui isi hati, maka pasti hamba tersebut akan (meraih) khusyu’ (dalam shalatnya) dan memusatkan pikirannya kepada Zat yang dia sedang bermunajat kepada-Nya, yaitu Allah . Kalau demikian khusyu’ adalah sifat ruhani dalam diri manusia yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan anggota badan”[18].
Ciri inilah yang ada pada orang-orang yang sempurna keimanannya, para Shahabat y, sebagaimana dalam firman Allah :
{سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}
“Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).
Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna ayat ini: “Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri)”[19].
Lebih lanjut, imam Ibnu Katsir menjelaskan manfaat dan faidah besar dari shalat yang khusyu’ dalam membawa seorang mukmin untuk merasakan kemanisan iman dan menjadikan shalatnya sebagai qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) baginya. Beliau berkata[20]: “Khusyu’ dalam shalat hanyalah akan diraih oleh orang yang hatinya tercurah sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya menyibukkan diri dan lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika itulah shalat akan menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya), sebagamana sabda Rasulullah dalam hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Allah menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”[21].
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda kepada Bilal :
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”[22].
Cara untuk meraih khusyu’
Dikarenakan sifat khusyu’ sumbernya dari dalam hati manusia, maka sifat ini hanya bisa diraih dengan taufik dan anugerah dari Allah . Oleh karena itu, cara utama untuk meraih sifat mulia ini dan sifat-sifat agung lainnya dalam agama adalah dengan banyak berdoa dan memohon kepada Allah .
Oleh karena itu, imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir berkata: “Aku mengingat-ingat apakah penghimpun segala kebaikan, karena kebaikan itu banyak; puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allah , maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allah kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, maka berarti penghimpun (semua) kebaikan adalah berdoa (kepada Allah )”[23].
Kemudian sifat khusyu’ akan diraih insya Allah dengan seorang hamba mengenal Allah dengan cara yang benar,melalui pemahaman terhadap nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna. Inilah ilmu yang paling mulia dalam Islam dan merupakan jalan utama untuk meraih semua sifat dan kedudukan yang mulia di sisi Allah .
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allah ) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia”[24].
Imam Ibnu Rajab al-Hambali memaparkan hal ini dalam ucapan beliau:
“Asal (sifat) khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain (bersumber) dari ma’rifatullah (mengenal Allah dengan memahami nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), mengenal keagungan-Nya, kemuliaan-Nya dan kesempurnaan-Nya. Sehingga barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan lebih khusyu’ (kepada-Nya).
Sifat khusyu’ dalam hati manusia dalam hati manusia bertingkat-tingkat (kesempurnaannya) sesuai dengan bertingkat-tingkatnya pengetahuan (dalam) hati manusia terhadap Zat yang dia tunduk kepada-Nya (Allah ) dan sesuai dengan bertingkat-tingkatnya penyaksian hati terhadap sifat-sifat yang menumbuhkan kekhusyu’an (kepada Allah ).
Ada hamba yang (meraih) khusyu’ (kepada-Nya) karena penyaksiannya yang kuat terhadap kemahadekatan dan penglihatan-Nya (yang sempurna) terhadap apa yang tersembunyi dalam hati hamba-Nya, sehingga ini menimbulkan rasa malu kepada Allah dan selalu merasakan pengawasan-Nya dalam semua gerakan dan diamnya hamba tersebut.
Ada juga yang (meraih) khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kemahasempurnaan dan kemahaindahan-Nya, sehingga ini menjadikannya tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya serta kerinduan untuk bertemu dan memandang wajah-Nya.
(Demikian pula) ada yang meraih khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kerasnya siksaan, pembalasan dan hukuman-Nya, sehingga ini membangkitkan rasa takutnya kepada Allah.
Maka Allah Dia-lah yang memperbaiki hati hamba-hamba-Nya yang tanduk dan remuk hatinya kepada-Nya. Allah maha dekat kepada hamba-Nya yang bermunajat kepada-Nya dalam shalat dan menempelkan wajahnya ke tanah ketika sujud, sebagaimana Dia maha dekat kepada hamba-Nya yang berdoa, memohon dan meminta ampun kepada-Nya atas dosa-dosanya di waktu sahur. Dia maha mengabulkan doa hamba-Nya serta memenuhi permohonannya, dan tidak ada sebab untuk memberbaiki kekurangan seorang hamba yang lebih agung dari kedekatan dan pengabulan doa dari-Nya”[25].
Pemaparan imam Ibnu Rajab di atas merupakan makna firman Allah :
{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah )” (QS Faathir:28).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Arti (ayat ini): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah, karena semakin sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allah, Zat Yang Maha Mullia, Maha kuasa dan Maha Mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula”[26].
Lebih lanjut, syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman al-Bassam[27] menjelaskan dengan lebih rinci, beberapa sebab untuk menghadirkan hati dan meraih khusyu’ dalam shalat, berdasarkan pengamatan terhadap dalil-dalil dalam al-Qur-an dan hadits yang shahih dari Rasulullah , akan kami bawakan di sini beserta tambahan keterangan dan penyebutan dalil, sebagai berikut:
1- Berlindung kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk.
Rasulullah bersabda tentang Setan yang selalu mengganggu manusia dalam shalat: “Itu adalah Setan yang bernama Khinzab, jika kamu merasakan (godaannya) maka berlindunglah kepada Allah darinya, dan hembuskanlah sedikit ludahmu ke (arah) kiri tiga kali”. ‘Utsman bin Abil ’Ash berkata: Lalu aku praktekkan petunjuk Rasulullah tersebut, maka Allah menghilangkan (godaan) Setan itu dariku[28].
2- Merenungi/menghayati (makna) bacaan al-Qur-an dan zikir-zikir dalam shalat.
Karena bacaan al-Qur-an dan zikir-zikir yang disyariatkan dalam Islam akan bermanfaat bagi orang yang membacanya jika dibaca dengan perenungan dan penghayatan dalam hati. Allah berfirman:
{كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ}
“Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad: 29).
Dalam ayat lain, Dia berfirman:
{إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ}
“Sesungguhnya pada yang demikian itu (al-Qur-an) benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” (QS Qaaf:37).
3- Menghadirkan kebesaran Allah dan (meyakini) bahwa orang yang shalat sedang bermunajat dan menghadapkan diri kepada-Nya.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat (berkomunikasi) dengan Allah , maka hendaknya salah seorang darimu memperhatikan bagaimana dia bermunajat dengan Allah, dan janganlah kalian saling mengeraskan suara ketika membaca al-Qur-an (dalam shalat)”[29].
4- Mengetahui kelemahan dan ketergantungan manusia ketika dia ruku’ dan sujud terhadap keagungan dan kebesaran Allah .
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Termasuk sempurnanya sifat khusyu’ dan ketundukan seorang hamba kepada Allah ketika dia ruku’ dan sujud adalah tatkala dia merendahkan diri kepada Allah dalam ruku’ dan sujudnya maka pada saat itu dia menyifati-Nya dengan sifat-sifat kemuliaan, kebesaran, keagungan dan ketinggian, seolah-olah hamba itu berkata: “kerendahan dan ketundukan adalah sifatku, sedangkan ketinggian, keagungan dan kebesaran adalah sifat-Mu”. Oleh sebab itu, orang yang shalat disyariatkan membaca (zikir) dalam ruku’nya: subhaana Rabbiyal ‘azhiim (maha suci Rabb-ku/Allah yang maha agung)”, dan dalam sujudnya membaca (zikir): subhaana Rabbiyal a’laa (maha suci Rabb-ku/Allah yang maha tinggi)”[30].
5- Membatasi pandangan (matanya hanya) pada tempat sujudnya, karena sesungguhnya jika pandangan itu tersebar (kemana-mana) maka hati (dan pikiran) akan mengikutinya.
Inilah di antara hikmah disyariatkannya meletakkan sutrah (pembatas shalat) di depan orang yang shalat, sebagaimana yang diperintahkan dalam beberapa hadits yang shahih[31], untuk membatasi pandangan mata sehingga hati dan pikiranpun akan lebih terkonsentrasi pada shalat yang sedang dikerjakan, maka ini jelas akan memudahkan untuk mencapai khusyu’ dengan izin Allah [32].
Oleh karena itu, orang yang sedang shalat disunnahkan agar pandangan matanya tidak melewati tempat sujudnya[33].
Bahkan dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah menegaskan bahwa memalingkan pandangan dari tempat sujud adalah tipu daya Setan yang ingin merusak shalat manusia. Dari ‘Aisyah dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang menoleh (memalingkan pandangan) ketika shalat, maka Rasulullah bersabda: “Itu adalah rampasan Setan dari shalat seorang hamba”[34].
Dalam hadits yang lain, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya dalam shalatnya selama hamba-Nya itu tidak memalingkan pandangan”[35].
6- Jangan mengerjakan shalat ketika hati/pikiran sedang sibuk (dengan hal lain), seperti keinginan makan dan minum, menahan buang air besar dan kecil, atau hal-hal lain yang mengganggu pikiran.
Rasulullah bersabda: “Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan dan ketika menahan buang air besar dan kecil”[36].
Dalam hadits lain, Rasulullah ketika shalat mengenakan pakaian yang bercorak (bergambar), setelah selesai shalat beliau bersabda: “Sungguh pakaian ini melalaikanku (mengganggu kekhusyu’anku) ketika aku shalat tadi”[37].
Hadits-hadits di atas menunjukkan tidak disukainya shalat dalam keadaan hati dan pikiran disibukkan dengan hal lain, seperti rasa lapar dan haus, atau keinginan untuk buang hajat. Demikian juga shalat dengan pakaian atau di hadapan sesuatu yang bermotif, bergambar, bertulisan, berwarna-warni dan hal-hal lain yang menggangu atau meyibukkan pikiran, karena semua ini akan merusak kekhusyu’an dalam shalat[38].
Hukum khusyu’ dalam shalat dan ibadah lainnya
Imam asy-Syaukani berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang (hukum) khusyu’, apakah termasuk kewajiban shalat atau keutamaan (anjuran) dalam shalat”[39].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menguatkan pendapat bahwa khusyu’ hukumnya wajib dalam shalat dan beliau membawakan banyak dalil untuk menguatkan pendapat ini[40].
Akan tetapi pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama bahwa khusyu’ bukan merupakan kewajiban dalam shalat, sehingga shalat yang dilakukan dengan tidak khusyu’ tetap sah dan mencukupi, meskipun jelas pahala dan keutamaannya sangat berkurang[41]. Maka shalat yang didominasi oleh kelalaian dan bisikan-bisikan Setan tidaklah batal dan tidak disyariatkan untuk diulang, meskipun jelas nilai pahala dan keutamaannya sangat kurang[42].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Pendapat yang benar: khusyu’ adalah sunnah (anjuran), akan tetapi anjurannya sangat ditekankan (sunnatun muakkadah). Karena khusyu’ adalah ruh shalat yang sebenarnya. Maka shalat (yang dikerjakan) tanpa menghadirkan hati (khusyu’) tidak lain (ibaratnya seperti) kulit tanpa isi dan pahala/keutamaan shalat akan berkurang sesuai dengan berkurangnya kekhusyu’an”[43].
Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya khusyu’ adalah hadits-hadits yang shahih tentang sujud sahwi, juga sabda Rasulullah tentang Setan yang mengganggu hamba yang shalat sehingga hamba tersebut tidak mengetahui berapa rakaat shalat yang telah dikerjakannya[44]. Dalam hadits-hadits ini, Rasulullah tidak memerintahkan shalat tersebut untuk diulangi, padahal jelas shalat tersebut dilakukan tanpa menghadirkan hati dan khusyu’[45].
Kesimpulannya, dalam hal ini para ulama bersepakat bahwa shalat yang dikerjakan seorang hamba tidak akan meraih pahala dan keutamaan kecuali sesuai dengan kadar kekhusyu’an dan kehadiran hatinya dalam shalat tersebut. Maka shalat tanpa khusyu’ tetap dikatakan sah, dalam artian tidak perlu diulangi, meskipun jelas pahala dan keutamaannya sangat sedikit[46].
Syubhat (kerancuan dan kesalahpahaman) tentang khusyu’
Beberapa perbuatan yang dianggap oleh orang-orang bodoh termasuk bentuk khusyu’ padahal sama sekali bukan khusyu’, di antaranya:
1- Khusyu’ nifaq (khusyu’ munafik), yaitu anggota badan yang terlihat tunduk dan tenang padahal hatinya lalai dan jauh dari khusyu’.
Khudzaifah bin al-Yaman berkata : “Jauhilah khusyu’ munafik”. Seseorang bertanya kepada beliau : Apa itu khusyu’ munafik? Khudzaifah berkata: “(Yaitu) kamu melihat (anggota) badan yang (seolah-olah) khusyu’ padahal hatinya tidak khusyu’”[47].
Inilah makna ucapan ‘Umar bin al-Khattab , ketika beliau melihat seorang pemuda yang tertunduk kepalanya, beliau berkata: “Wahai pemuda, angkatlah kepalamu, karena sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari apa yang ada di dalam hati”[48].
Dalam atsar lain, Ummul mu’minin ‘Aisyah melihat beberapa orang pemuda yang terlihat lemas ketika berjalan, ‘Aisyah bertanya: “Siapakah mereka itu”? Orang-orang menjawab: Mereka adalah ahli ibadah. Maka `’Aisyah berkata: “Dulunya ‘Umar bin al-Khattab kalau berjalan (langkahnya) cepat, kalau berbicara (suaranya) keras, kalau memukul (pukulannya) menyakitkan dan kalau dia memberi makan mengenyangkan, padahal beliau adalah ahli ibadah yang sejati”[49].
Imam Ibnu Rajab berkata: “Barangsiapa yang menampakkan (seolah-olah) khusyu’ (padahal) berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya maka itu tidak lain adalah kemunafikan di atas kemunafikan”[50].
2- Persangkaan sebagian dari orang-orang awam yang mengatakan bahwa ibadah yang khusyu’ adalah ibadah yang dikerjakan oleh seseorang tanpa ada bisikan, was-was dan godaan setan dalam hatinya.
Jelas ini merupakan persangkaan yang sangat keliru, karena tidak mungkin Iblis dan bala tentaranya pernah berhenti atau libur menggoda dan berusaha menghalangi manusia dari jalan kebaikan, apalagi kebaikan besar yang mendatangkan keridhaan Allah , yaitu beribadah dengan khusyu’. Dalam al-Qur-an, Allah menceritakan ucapan dan tekad Iblis untuk memalingkan manusia dari semua jalan kebaikan:
{قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ}
“Iblis berkata: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (QS al-A’raaf).
Dan dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Setan (Iblis) akan selalu duduk (menghalangi) manusia pada semua jalan (kebaikan yang akan ditempuhnya)”[51].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada satu jalan kebaikanpun kecuali Setan selalu menghadang untuk menghalangi orang yang ingin mengerjakannya”[52].
Bahkan Rasulullah mengabarkan dalam hadits yang shahih tentang adanya Setan yang tugasnya menggoda manusia dalam shalatnya, yaitu ketika ‘Utsman bin Abil ’Ash bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah, sesungguhnya Setan menghalangiku (menggodaku) dalam shalat dan mengacaukan bacaanku (dalam shalat). Maka Rasulullah bersabda: “Itu adalah Setan yang bernama Khinzab, jika kamu merasakan (godaannya) maka berlindunglah kepada Allah darinya, dan hembuskanlah sedikit ludahmu ke (arah) kiri tiga kali”. ‘Utsman bin Abil ’Ash berkata: Lalu aku praktekkan petunjuk Rasulullah tersebut, maka Allah menghilangkan (godaan) Setan itu dariku[53].
Oleh karena itu, upaya Setan untuk selalu menggoda manusia dalam ibadah mereka agar mereka jauh dari sifat khusyu’ tentu besar sekali, karena semakin besar pahala dan keutamaan suatu amal kebaikan, maka semakin besar pula usaha Setan untuk menghalangi manusia darinya.
Maka jika ada orang yang menyangka bahwa ketika dia beribadah tidak diganggu oleh Setan, maka ini ini justru menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan; apakah memang hatinya sedemikian parah kerusakannya sehingga Setan tidak merasa perlu untuk menggodanya? Karena kalau imannya benar dan hatinya khusyu’ maka bagaimana mungkin Setan akan membiarkannya dan tidak berusaha merusak kekhusyu’annya?
Bahkan boleh jadi semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?
Imam Ibnul Qayyim membuat perumpaan hal ini[54] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang lain; manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?
Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang kedua, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.
Demikianlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid, keimanan yang kokoh dan selalu khusyu’ kepada Allah , akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya dan dirusak kekhusyu’annya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut. Maka beliau bersabda: “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[55].
Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah bersabda: “Itulah (tanda) kemurnian iman”[56].
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:
– Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya
– Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya[57].
Adapun hati yang rusak dan jauh dari sifat khusyu’ ketika beribadah kepada Allah , maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas , ketika ada yang mengatakan kepada beliau: Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka. Abdullah bin ‘Abbas menjawab: “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[58].
Penutup
Dalam al-Qur-an Allah mengajak orang-orang yang beriman untuk meraih sifat khusyu’ dengan mempelajari dan memahami petunjuk-Nya, Allah berfirman:
{أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نزلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ}
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka kepada peringatan dari Allah (al-Qur-an) dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturnkan al-kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS al-Hadiid: 16).
Ayat ini memberikan motivasi bagi orang-orang yang beriman untuk bersungguh-sungguh meraih sifat khusyu’ dalam hati mereka, sekaligus merupakan celaan bagi orang-orang yang tidak mau tunduk hatinya ketika membaca, mendengarkan dan merenungkan isi ayat-ayat al-Qur-an[59].
Kalau hati manusia tidak juga mau berubah dan tunduk ketika membaca dan merenungkan firman Allah , maka kapan lagi hatinya akan tunduk dan menjadi baik?
Oleh karena itu, peringatan dan ancaman Allah dalam al-Qur’an hanyalah akan bermanfaat dan memberikan kebaikan bagi orang-orang yang hatinya hidup, beriman kepada Allah dan takut terhadap azab-Nya. Allah berfirman:
{إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ. لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ}
“al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir” (QS Yaasiin: 69-70).
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
{فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ مَنْ يَخَافُ وَعِيدِ }
“Maka berilah peringatan dengan al-Qur’an kepada orang yang takut kepada ancaman-Ku” (QS Qaaf: 45).
Adapun orang-kafir dan munafik, maka peringatan dan ancaman dalam al-Qur’an tidak bermanfaat bagi mereka, karena hati mereka tidak mengimaninya. Allah berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ}
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman” (QS al-Baqarah: 6).
Juga firman-Nya tentang orang-orang munafik:
{وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لأسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ}
“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka mau mendengar (peringatan Allah dalam al-Qur’an). Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)” (QS al-Anfaal: 23).
Semoga Allah memudahkan taufik-Nya kepada kita untuk meraih sifat khusyu’ dan sifat-sifat mulia lainnya dengan memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 5 Shafar 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Lihat kitab “Bada-i’ul fawa-id” (3/518), “Faidhul Qadiir” (3/88), “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 547) dan “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (2/82).
[2] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 547).
[3] HR at-Tirmidzi (4/577), Ibnu Majah (no. 4126) dan al-Hakim (4/358), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani.
[4] Lihat kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 34) dan “Tuhfatul ahwadzi” (7/16).
[5] Kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 11-12).
[6] Kitab “Mada-rijus saalikiin” (1/521).
[7] Keterangan syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 547).
[8] Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ul fata-wa” (18/273) dan imam Ibnu Rajab dalam “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 12).
[9] Kitab “Tafsir al-Bagawi” (hal. 408).
[10] HSR Muslim (no. 2722).
[11] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/319) dan “Faidhul Qadiir” (2/108).
[12] “Waratsatul anbiyaa’” (Majmuu’u rasa-ilil haafizh Ibni Rajab al-Hambali 1/17).
[13] Dinukil oleh imam al-Munawi dalam kitab “Faidhul Qadiir” (2/153).
[14] “Waratsatul anbiyaa’” (Majmuu’u rasa-ilil haafizh Ibni Rajab al-Hambali 1/16).
[15] Lihat kitab “al-Khusyuu’u fish shalaah” (hal. 15).
[16] HR ath-Thabarani dalam “Musnadusy Syaamiyyiin” (2/400), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “al-Jaami’ush shahiih” (no. 2569).
[17] Kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 22).
[18] Kitab “Fathu Dzil jalaali wal ikraam bisyarhi buluugil maraam” (1/571).
[19] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/260).
[20] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/319).
[21] HR Ahmad (3/128) dan an-Nasa-i (7/61), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[22] HR Abu Daud (2/715) dan Ahmad (5/364), dinyatakan shahih oleh syaikh Al Albani.
[23] Diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitab “az-Zuhd” (no. 1346).
[24] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/420).
[25] Kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 14).
[26] Tafsir Ibnu Katsir (3/729).
[27] Dalam kitab “Taudhiihul ahkaam min buluugil maraam” (2/83).
[28] HSR Muslim (no. 2203).
[29] HR Ahmad (2/67) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh syakh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 1603).
[30] Kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 28).
[31] Misalnya HSR Muslim (no. 500, 505 dan 506) dan lain-lain.
[32] Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/58 dan 2/66).
[33] Lihat kitab “Shifatu shalaatin Nabiyyi r” (hal. 89).
[34] HSR al-Bukhari (no. 718 dan 3117).
[35] HR at-Tirmidzi (5/148) dan Ibnu Khuzaimah (3/195), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan syaikh al-Albani.
[36] HSR Muslim (no. 560).
[37] HSR al-Bukhari (no. 366 dan 5479) dan Muslim (no. 556).
[38] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam “Syarhu shahih Muslim” (5/46) dan syaikh ‘Abdullah al-Bassam dalam “Taudhiihul ahkaam” (2/98).
[39] Kitab “Fathul Qadiir” (3/678).
[40] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “Fathu Dzil jalaali wal ikraam bisyarhi buluugil maraam” (1/571).
[41] Lihat keterangan syaikh ‘Abdullah al-Bassam dalam kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/83).
[42] Lihat kitab “Fathu Dzil jalaali wal ikraam” (1/571) dan “Taudhiihul ahkaam” (2/93).
[43] Kitab “Fathu Dzil jalaali wal ikraam bisyarhi buluugil maraam” (1/571).
[44] HSR al-Bukhari (no. 583) dan Muslim (no. 389).
[45] Lihat kitab “Mada-rijus saalikiiin” (1/112) dan “Fathu Dzil jalaali wal ikraam” (1/571).
[46] Lihat kitab “Mada-rijus saalikiiin” (1/112-113).
[47] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Mada-rijus saalikiin” (1/521) dan imam Ibnu Rajab dalam “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 14).
[48] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 14).
[49] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Mada-rijus saalikiin” (1/521).
[50] Kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 14).
[51] HR Ahmad (3/483), an-Nasa-i (6/21) dan Ibnu Hibban (10/453), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani.
[52] Kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/102).
[53] HSR Muslim (no. 2203).
[54] Dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 40-41).
[55] HR Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no. 5112).
[56] HSR Mualim (no. 132).
[57] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 174).
[58] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 41).
[59] Lihat kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” (hal. 18) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 840).
7 comments