Meniti Ilmu di Atas Manhaj Salaf [02]: Ulama Salaf Imam dalam Ilmu dan Amal

Ulama Salaf Imam dalam Ilmu dan Amal

Keterangan dan nukilan yang kami sampaikan di atas akan semakin terbukti kalau kita mencermati dengan sekasama biografi para imam besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang mana kita akan dapati bahwa mereka tidak hanya disifati sebagai orang-orang yang memiliki ilmu agama yang dalam, akan tetapi mereka juga adalah orang-orang yang merupakan teladan dalam ibadah dan amal shalih.

Sebut saja misalnya Rabii’ bin Khutsaim Al-Kuufi (wafat tahun 65 H)([1]), salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits dan termasuk murid sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, yang karena ketekunan ibadah dan ketakwaan beliau sampai-sampai guru beliau sendiri, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu memuji beliau dengan mengatakan, “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh beliau akan mencintaimu, setiap kali aku melihatmu aku mengingat orang-orang yang selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”([2])

Muhammad bin Sirin Al-Bashri (wafat tahun 110 H)([3]), seorang imam besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits, dalam biografi beliau diterangkan bahwa beliau adalah orang yang sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan tekun beribadah, sehingga Abu ‘Awaanah Al-Yasykuri berkata, “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar, tidaklah seorangpun melihat dia kecuali orang itu akan mengingat Allah.”([4])

Tsabit bin Aslam Al-Bunaani Al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H)([5]), juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits dan termasuk murid ‘senior’ sahabat yang mulia Anas bin Mali’k radhiallahu ‘anhu, beliau sangat tekun dalam beribadah bahkan disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah di jamannya, sehingga guru beliau sendiri, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu memuji beliau dengan mengatakan, “Sesungguhnya Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu kebaikan.”([6]) Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dalam pujian ini mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara manusia ada pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan.”([7])

Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi (wafat tahun 181 H)([8]), imam besar yang ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in) yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits, beliau disifati sebagai orang yang terkumpul padanya semua sifat-sifat baik, sampai-sampai imam Sufyan bin ‘Uyainah memuji beliau dengan mengatakan, “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan sifat-sifat Abdullah bin Al-Mubarak, maka aku tidak melihat para Sahabat radhiallahu ‘anhum melebihi keutamaan beliau kecuali karena mereka menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berjihad bersama beliau.”([9]) Ibnu Hajar dalam Taqriibut Tahdziib (hal. 271) berkata, “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala), terkumpul padanya (semua) sifat-sifat baik.”

Kemudian sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang disebutkan oleh Al-Khathib Al-Baghdaadi dalam kitab beliau Tarikh Baghdad (9/58) dan Adz-Dzahabi dalam Siyaru a’laamin nubala’ (13/203) dalam biografi Imam besar penghafal hadits yang ternama, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab Sunan Abi Dawud. Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam mempelajari ilmu hadits sampai kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal: guru utama Imam Abu Dawud, kemudian Waqi’ bin Al-Jarrah Ar-Ruaasi: termasuk guru utama Imam Ahmad, lalu Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri: guru utama Imam Waqi’ bin Al-Jarrah, selanjutnya Manshur bin Al-Mu’tamir: termasuk guru utama Sufyan Ats-Tsauri, seterusnya Ibrahim bin Yazid An-Nakha-i: termasuk guru utama Manshur bin Al-Mu’tamir, kemudian ‘Alqamah bin Qais An-Nakha-i: guru utama Ibrahim An-Nakha-i dan termasuk murid ‘senior’ sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, selanjutnya Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang langsung menimba ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini semua adalah imam-imam besar Ahlul Hadits yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab hadits yang ternama, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain.

Yang menarik dari nukilan tersebut adalah semua Imam-imam besar tersebut disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk dan tingkah lakunya”, mulai dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah laku beliau, kemudian ‘Alqamah diserupakan dengan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dalam petunjuk dan tingkah laku beliau, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud, beliau diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah laku beliau.

Dalam nukilan tersebut kita dapati bahwa para ulama Ahlus Sunnah dalam menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara teori belaka, akan tetapi mereka juga mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teladan yang beliau ambil dari guru-guru beliau padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh sekali.

-bersambung insya Allah

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com


([1]) Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamal (9/70) dan Siyaru A’laamin Nubala’ (4/258).

([2])Siyaru A’laamin Nubala’ (4/258), juga dinukil oleh Al-Miizi dalam Tahdziibul Kamaal (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab Taqriibut Tahdziib (hal. 157).

([3]) Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamal (25/344) dan Siyaru A’laamin Nubala’ (4/606).

([4])Siyaru A’laamin Nubala’ (4/610), sifat beliau ini menunjukkan bahwa beliau adalah wali (kekasih) Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wali (kekasih) Allah adalah orang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah”, HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (no. 12325), Dhiya’uddin Al-Maqdisi dalam Al-Ahaaditsul Mukhtaarah (2/212) dan lain-lain, hadits ini dinyatakan kuat oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1733) karena diriwayatkan dari jalur lain yang saling menguatkan.

([5]) Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamal (4/342) dan Siyaru A’laamin Nubala’ (5/220).

([6]) Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (no 35679), perawinya semua terpercaya kecuali Zaid bin Dirham Al-Bashri tidak ada seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya kecuali ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat (4/247).

([7]) HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah (no. 251), dinyatakan hasan (baik) oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur lain yang saling menguatkan.

([8]) Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamal (16/5) dan Siyaru A’laamin Nubala’ (8/378).

([9]) Tahdzibul Kamal (16/16) dan Siyaru A’laamin Nubala’ (8/390).

2 comments

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *