بسم الله الرحمن الرحيم
MENITI ILMU DI ATAS MANHAJ SALAF
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد،
Muqaddimah
Manhaj salaf (metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus Sunnah yang mengukuti petunjuk mereka) adalah satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jaminan mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala hanya Allah berikan kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan), sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,
والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه، وأعدّ لهم جنات تجري تحتَها الأنهار خالدين فيها أبداً، ذلك الفوز العظيم
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar (para sahabat radhiallahu ‘anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan jaminan mendapatkan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat radhiallahu ‘anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan), yang artinya adalah mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan), ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi agama lainnya, atau ringkasnya: mengikuti petunjuk mereka dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini secara keseluruhan.
Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Ibnu Katsir berkata, “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan adalah orang-orang yang mengikuti jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji, serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun terang-terangan.” ([1]).
Manhaj Salaf: Manhaj Ilmu dan Amal
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang ada pada manhaj salaf, karena manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan pengamalan yang baik, sehingga orang yang benar-benar mengikuti manhaj ini akan terbimbing dalam pemahaman agamanya sehingga terhindar dari segala macam bentuk syubhat([2]), sekaligus terbimbing dalam pengamalan dari ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala macam bentuk syahwat([3]).
Dengan keistimewaan ini pulalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya,
ما ضل صاحبكم وما غوى
“Kawanmu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak sesat (dalam ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal).” (QS. An-Najm: 2).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyucikan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua macam kerusakan yaitu: adh-dhalaal (kesesatan/ kerusakan dalam ilmu dan pemahaman), dan al-ghawaayah/ al-ghayy (penyimpangan/ kerusakan dalam amal). Ini berarti dalam petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tedapat dua bimbingan sekaligus: al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan al-rusyd (bimbingan dalam amal), dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini.([4])
Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa oleh Al-Khulafa’ Ar-raasyidiin (para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat), sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan petunjuk Al-Khulafa’ Ar-Raasyidiin Al-Mahdiyyin …”([5]).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat sebagai Al-Khulafa’ Ar-Raasyidiin Al-Mahdiyyin, artinya para khalifah yang memiliki al-rusyd yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari al-ghawaayah), dan memiliki al-huda yaitu bimbingan dalam ilmu dan pemahaman (lawan dari adh-dhalaal). Maka ini menunjukkan bahwa orang yang benar-benar mengikuti petunjuk Al-Khulafa’ Ar-Raasyidiin dan termasuk para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan mengamalkan agama islam ini.
Oleh karena itulah, kita dapati para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan At-Tabi’in yang langsung menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak hanya mempelajari dari para sahabat shallallahu ‘alaihi wa sallam ilmu secara teori, akan tetapi mereka juga mempelajari bagaimana mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.
Imam Abu Abdirrahman Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah As-Sulami Al-Kuufi([6]) berkata, “Kami mempelajari Alquran dari suatu kaum (para Sahabat radhiallahu ‘anhum) yang menyampaikan kepada kami bahwa dulunya mereka ketika mempelajari sepuluh ayat (Alquran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mereka tidak akan berpindah ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami kandungan ayat-ayat tersebut, maka kamipun mempelajari Alquran sekaligus (bagaimana) mengamalkannya, dan setelah kami nanti akan datang suatu kaum yang mereka mempelajari Alquran seperti meminum air, Alquran tersebut tidak melampui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka).”([7])
-bersambung insya Allah–
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com
([1]) Tafsir Ibnu Katsir 4/432).
([2]) Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama islam, yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang batil (salah), lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Igaatsatul Laafaan (hal. 40- Mawaaridul Amaan).
([3]) Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan mendahulukannya di atas petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, ibid.
([4]) Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Miftahu Daari Sa’aadah (1/40).
([5]) HR Abu Dawud (no. 4607), At-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42 dan 43) dan Al-Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang mulia Al-‘Irbaadh bin Saariyah radhiallahu ‘anhu, dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 937).
([6]) Beliau adalah seorang Tabi’in ‘senior’ yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para imam ahli hadits dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i dan lain-lain, beliau wafat pada sekitar tahun 73 atau 74 H, biogarafi beliau dalam kitab Tahdziibul Kamala (14/408), Siyaru A’laamin Nubalaa’ (4/267) dan “Taqriibut tahdziib” (hal. 250).
([7]) Atsar ini dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’laamin Nubalaa’ (4/269), dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama ‘Atha’ bin As Saaib Al Kuufi, berkata Ibnu Hajar dalam kitab Taqriibut Tahdziib (hal. 250), “Dia adalah seorang yang sangat jujur akan tetapi (hafalannya) tercampur.” Meskipun demikian perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini adalah Hammaad bin Zaid Al Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin Al Madiini dan Al-‘Uqaili (lihat kitab Tahdziibul Kamaal, 7/185). Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam “Tafsir” beliau (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan tetapi Sulaiman bin Mihraan Al-A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah sedangkan dia adalah mudallis.
1 comment