Menghidupkan Sunnah Rasulallah

بسم الله الرحمن الرحيم

     Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah , semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau  dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai ahlus sunnah. Karena konsekwensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau  adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau . Allah  berfirman:

{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).

     Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah , maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad  dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”[1].

     Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata: “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah  adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah  yang utama adalah (dengan) meneladani beliau , mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit”[2].

Kedudukan dan keutamaan sunnah Rasulullah  dalam Islam

     Sunnah Rasulullah , yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah , baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau [3], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah  sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah , dalam firman-Nya:

{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS al-Qalam:4).

     Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah , ummul mu’minin ‘Aisyah , ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah , beliau menjawab: “Sungguh akhlak Rasulullah  adalah al-Qur’an”[4].

     Ini berarti bahwa Rasulullah  adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[5].

     Demikian pula dalam firman-Nya :

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

     Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah , karena Allah  sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah  sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah  berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah [6].

     Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah  dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau “[7].

     Kemudian firman Allah  di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah  dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah  merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

     Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata: “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah ) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah ) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah “[8].

     Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah  memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau , terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau  bersabda:

((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”[9].

     Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah , terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah  yang telah ditinggalkan (manusia)[10].

     Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah  akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

     Syaikh Muhammad bih Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Sesungguhnya sunnah Rasulullah  jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia”[11].

Semangat para ulama Ahlus sunnah dalam meneladani sunnah Nabi

     Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah  sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah  memuliakan mereka.

     Sampai-sampai imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata: “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah ) maka lakukanlah!”[12].

     Demikian pula ucapan imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i[13]: “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah ) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya”[14].

     Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah  inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.

     Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata: “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah  yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah ), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”[15].

     Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah  dengan pujian yang setinggi-tingginya.

     Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[16]: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi[17] adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah ) di jamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah  kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham[18], ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham“.

     Kemudian Ibnul Qayyim berkata: “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu jaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah ), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”[19].

     Senada dengan ucapan di atas, imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi  kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi  bahwa beliau  pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam”[20].

     Bahkan para ulama Ahlus sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah  yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah  yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah  belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”[21].

     Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah  dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah  ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya[22]. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[23] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Peringatan dan nasehat penting

     Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim jaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim jaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah  dalam hal-hal yang wajib saja, adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.

     Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah , bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjurankantidak berdosa jika ditinggalkan…”.

     Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah , para ulama Ahlus sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah .

     Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (rasulullah ) maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamnya, apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah : “Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku”[24]. Dulunya para sahabat Rasulullah  dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekwensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya”[25].

     Oleh karena itu, syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini, dalam sebuah nasehat beliau yang sangat berharga[26], bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakuakan perbuatan tersebut dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan oleh Allah  dalam firman-Nya:

 {وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}

“Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS al-An’aam:110).

     Mirip dengan kasus di atas, syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin memberatkan/membebani mereka. Maka syaikh al-‘Utsaimin berkata: “Orang yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang yang menyembunyikan ilmu[27], karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat) hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran, barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan bertambah pahala (keutamaan)nya. Adapun jika dia (sengaja) tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada Rasulullah . Padahal Rasulullah  sendiri menjelaskan kepada umatnya hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam)  hal-hal yang wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala (yang besar) …”[28].

Penutup

     Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah  dan semangatnya para ulama Ahlus sunnah dalam mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan Rasulullah  menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan Allah  ketika kita mengahadap-Nya nanti?

     Renungkanlah firman Allah  berikut:

{يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ}

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya” (QS al-Israa:71).

     Imam Ibnu Katsir berkata: “Salah seorang ulama salaf berkata: “Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah ), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad “[29].

     Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[30], ketika beliau ditanya: “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah ), (apa sebabnya?)”, maka beliau menjawab: “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah ?”[31].

     Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah  sampai di akhir hayat kita, amin.

     Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah [32]

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

KotaNabi , 9 Dzulqa’dah 1430 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).

[2] Kitab “asy-Syifa bita’riifi huquuqil mushthafa” (2/24).

[3] Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40).

[4] HSR Muslim (no. 746).

[5] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).

[6] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).

[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).

[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).

[9] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih sunan Ibnu Majah” (no. 173).

[10] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).

[11] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).

[12] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/216).

[13] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah, dari kalangan atba’ut tabi’in (wafat setelah 140 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381).

[14] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/219).

[15] Ibid (1/168).

[16] Kitab “Ighatsatul lahfaan min mashaayidisy syaithaan” (1/70).

[17] Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, syaikhul Islam Abul Hasan al-Kindi al-Khuraasaani (wafat 242 H), lihat biografi beliau dalam “Siyaru a’laamin nubala'” (12/195).

[18] HR Ibnu Majah (no. 3950) dan lain-lain, hadits sangat lemah, karena dalam sanadnya ada Abu Khalaf  Haazim bin ‘Ahta’ al-A’ma, dia adalah seorang perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381). Hadits ini dilemahkan oleh al-‘Iraqi, al-Haitsami dan al-Albani.

[19] Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah QS an-Nisaa’:115.

[20] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/220).

[21] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).

[22] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

[23] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[24] HSR al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 1401).

[25] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (3/265).

[26] Lihat nasehat tersebut dalam kitab “Washaaya wa taujiihaat li tullaabil ‘ilmi” (1/55-57).

[27] Ini adalah termasuk dosa besar, berdasarkan HR Ibnu Majah (no. 266) dan dinyatakan shahih  oleh syaikh al-Albani.

[28] Liqa-aatul baabil maftuuh (1/388-389), pertanyaan no. 525.

[29] Tafsir Ibnu Katsir (3/73).

[30] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 166).

[31] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/74).

[32] Doa yang selalu diucapkan oleh imam Ahmad bin Hambal, dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Baghdad” (9/349).

2 comments

  1. Assalamualaikum,Bagi saya sunnah Rasullah wajib dilaksanakan. dan tetap istiqomah.Sunnah bagi saya berarti Hadist. Bahkan Rasulullah mengatakan kepada para sahabatnya,”Sholatlah kamu sebagaimana Aku sholat”.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *