Mengembalikan Kejayaan Umat Islam (Seri 2-Selesai)

Pelajaran Berharga dari Sejarah Islam

Sejarah Islam telah mencatat berbagai kemenangan gemilang yang dicapai oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ketika berperang menghadapi musuh-musuh mereka, karena Rasulullah dan para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah orang-orang yang paling kuat dalam menegakkan agama Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana keterangan Imam Ibnu Katsir di atas. Pada diri merekalah terwujud dengan sesungguhnya makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

{وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ}

“Sesungguhnya Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj: 40).

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqiiti berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia bersumpah akan sungguh-sungguh menolong orang yang menolong-Nya, dan sudah diketahui bahwa (makna) ‘menolong Allah’ tidak lain adalah dengan mengikuti syariat-Nya, dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya…[1].”

Dan inilah sebab utama yang menjadikan gentar dan takutnya musuh-musuh Islam menghadapi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,

{سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ}

“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut/gentar (menghadapi orang-orang beriman), disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.” (QS. Ali ‘Imraan:151).

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman bahwa Dia akan memasukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut/gentar dan rendah di hadapan orang-orang yang beriman, disebabkan perbuatan kafir dan syirik mereka, ditambah dengan azab dan sikasaan (pedih) yang Allah sediakan bagi mereka di akhirat (nanti)[2].”

Kemudian Ibnu Katsir membawakan sebuah hadits shahih dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Allah memberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan-Nya kepada seorang nabipun sebelumku: aku ditolong (oleh Allah dalam menghadapi musuh-musuhku) dengan rasa gentar (yang Allah masukkan ke dalam hati mereka sebelum berhadapan denganku) sejauh jarak sebulan perjalanan…[3].”

Sehubungan dengan pembahasan ini, ada dua peristiwa perang besar yang terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, yang dapat kita petik hikmah dan pelajaran berharga darinya, tentang bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji kaum mukminin dengan menangguhkan sementara pertolongan-Nya kepada mereka disebabkan perbuatan maksiat sebagian dari mereka.

Yang pertama, perang Hunain[4] yang terjadi pada tahun kedelapan hijriah. Ketika itu sebagian dari kaum muslimin merasa bangga dengan jumlah mereka yang banyak sehingga mereka lalai bahwa pertolongan itu semata-mata dari Allah dan bukan hanya karena jumlah yang banyak[5]. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan peristiwa ini dalam firman-Nya,

{لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ، ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ}

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (wahai kaum mu’minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu merasa bangga dengan banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan bercerai-berai. Kemudian Allah memberi ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada oang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikian pembalasan kepada mereka.” (QS. At-Taubah:25-26).

Yang kedua, perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga hijriah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kepada pasukan pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jubair radhiallahu ‘anhu, untuk tidak meninggalkan tempat mereka apapun yang terjadi pada pasukan kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian meninggalkan tempat kalian meskipun kalian melihat kami telah mengalahkan musuh, atau meskipun kalian melihat musuh telah mengalahkan kami maka janganlah kalian menolong kami.” Dalam riwayat lain,”…meskipun kalian melihat kami disambar burung.” Kemudian setelah mereka melihat pasukan musuh berlari mundur, sebagian dari pasukan pemanah berlari meninggalkan tempat mereka menuju pasukan muslimin untuk bersama mengumpulkan harta rampasan perang, padahal pemimpin mereka Abdullah bin Jubair telah mengingatkan mereka akan perintah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Akibatnya pasukan musuh berbalik menyerang pasukan muslimin sehingga terbunuh tujuh puluh orang dari pasukan muslimin, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sendiri terluka wajahnya yang mulia pada perang tersebut[6]. Meskipun kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pertolongan-Nya kepada mereka sehingga pasukan musuh mundur.

Perhatikan dan renungkanlah kedua peristiwa di atas, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menunda turunnya pertolongan-Nya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum hanya karena perbuatan maksiat sebagian dari mereka, padahal mereka secara keseluruhan adalah orang-orang yang paling kuat dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya[7].

Dalam perang Hunain sebagian mereka merasa bangga dengan jumlah mereka yang banyak, sehingga mereka lalai sesaat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang akibatnya mereka mulanya dikalahkan pasukan musuh, meskipun kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pertolongan-Nya kepada mereka[8]. Demikian pula dalam perang Uhud, sebab kekalahan mereka di awalnya adalah karena sebagian mereka menyelisihi perintah Rasulullah  shallallahu ‘alahi wa sallam[9].

Maka kalau keadaan ini bisa menimpa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang sangat kuat dalam berpegang teguh dengan agama Islam, disebabkan sekali kesalahan sebagian mereka ketika lalai dari bersandar kepada Allah, yang ini menyangkut masalah tauhid, dan ketika menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang banyak melanggar syariat Allah ‘Azza wa Jalla, serta tidak memperhatikan upaya pemurnian tauhid (mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah) dan al ittiba’ (semata-mata mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam)? Mungkinkah pertolongan dan kemenangan akan Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka?

Sebagai tambahan penjelasan, marilah kita renungkan bersama kisah berikut ini:

Imam ahmad dalam kitab “Az Zuhd” (hal. 142) dan Abu Nu’aim dalam kitab “Hilyatul Auliya‘” (1/216-217) meriwayatkan dengan sanad mereka berdua dari Jubair bin Nufair[10] beliau berkata, “Ketika (kaum muslimin) berhasil menaklukkan (wilayah) Qibrus (Cyprus, sebuah pulau di kawasan eropa saat ini) dan membuat lari bercerai berai penduduknya, (waktu itu) semua pasukan muslimin menangis satu sama lainnya. Aku melihat (sahabat yang mulia) Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu terduduk sendirian sambil menangis, maka aku bertanya, ‘Wahai Abu Darda!, apa sebabnya kamu menangis di hari yang Allah muliakan/menangkan agama Islam dan kaum muslimin?’ Beliau radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Celaka kamu wahai Jubair, (lihatlah) alangkah hinanya manusia di hadapan Allah jika mereka meninggalkan perintah-Nya, padahal penduduk negeri ini adalah orang-orang yang perkasa, unggul dan memiliki kerajaan (besar), tetapi mereka meninggalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka jadilah mereka seperti yang kamu saksikan (saat ini).’”

Upaya Untuk Mengembalikan Kejayaan Umat

Berdasarkan keterangan di atas, maka upaya terbaik yang harus dilakukan oleh kaum muslimin untuk mengatasi semua masalah yang mereka hadapi, serta mengembalikan kejayaan dan kemuliaan mereka adalah berusaha mewujudkan syarat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan dalam ayat-ayat tersebut di atas, yaitu dengan kembali mengoreksi pemahaman dan pengamalan kita terhadap Alquran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, utamanya pemahaman dan pengamalan terhadap dua kalimat syahadat (Laa ilaaha illallah) dan (Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam) yang merupakan landasan agama Islam ini.

Sementara itu, kita dapati sebagian kaum muslimin saat ini banyak yang melakukan cara-cara dengan mengatasnamakan upaya mengembalikan kejayaan umat, ada yang menempuh jalur politik, ada yang berupaya menggulingkan pemerintah yang berkuasa, ada yang mengutamakan kemajuan teknologi, ada yang menitikberatkan pada upaya menghimpun massa sebanyak-banyaknya, dan cara-cara lain yang tidak bersumber dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.

Padahal kalau kita amati dengan seksama peristiwa sejarah yang kami nukilkan di atas, jelas sekali menunjukkan bahwa kemajuan teknologi, kekuasaan besar dan jumlah pasukan yang besar sama sekali tidak bermanfaat tanpa adanya landasan iman dan ketaatan yang kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukankah negeri Qibrus yang ditaklukkan oleh kaum muslimin adalah negeri yang unggul dalam teknologi dan persenjataan saat itu, serta memiliki pasukan yang perkasa dan kekuasaan yang besar, sebagaimana ucapan Abu Darda’ di atas? Bukankah jumlah pasukan muslimin dalam perang Hunain sangat banyak akan tetapi tidak bermanfaat karena sebagian mereka lalai dari bersandar kepada Allah ‘Azza wa Jalla?

Dalam sebuah hadits shahih dari Tsauban radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak lama lagi umat-umat lain akan saling menyeru untuk mengeroyok kalian seperti orang-orang yang makan mengerumuni nampan (berisi hidangan makanan).” Salah seorang sahabat radhiallahu ‘anhu bertanya, “Apakah dikarenakan jumlah kita sedikit saat itu?” Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab, “Bahkan kalian saat itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih (tidak memiliki iman yang kokoh) seperti buih air bah, sungguh (pada saat itu) Allah akan menghilangkan rasa takut/gentar terhadap kalian dari jiwa musuh-musuh kalian dan Dia akan menimpakan (penyakit) al wahnu ke dalam hati kalian.” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (penyakit) al wahnu itu?” Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab, “Cinta (kepada perhiasan) dunia dan benci (terhadap) kematian[11].”

Perhatikanlah dengan seksama hadits yang agung ini! Bagaimana besarnya jumlah kaum muslimin secara kuantitas tidak bermanfaat sedikitpun dalam menghadapi musuh-musuh mereka, bahkan sekedar membuat takut musuh-musuh mereka juga tidak bisa. Hal ini disebabkan kualitas keimanan mereka sangat lemah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menyerupakan mereka dengan buih yang mudah terbawa aliran air, karena tidak mempunyai pijakan yang kuat di atas tanah. Seandainya kaum muslimin benar-benar beriman dan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka mestinya mereka tidak akan seperti buih, karena iman dan tauhid akan menjadikan pemiliknya kokoh dan kuat dalam hidupnya, disebabkan dia selalu bersandar kepada Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan kalimat tauhid (laa ilaaha illallah) dengan pohon indah yang akarnya menancap kokoh ke dalam tanah, dalam firman-Nya,

{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ}

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya (menancap) kokoh (ke dalam tanah) dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS. Ibrahim: 24).

Makna “kalimat yang baik” di sini adalah kalimat tauhid laa ilaaha illallah (tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah)[12].

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Demikianlah (keadaan) pohon iman (tauhid), akarnya (menancap) kokoh di dalam hati seorang mu’min dalam ilmu dan keyakinannya, sedangkan cabangnya yang berupa ucapan yang baik, amal shaleh, akhlak dan tingkah laku yang terpuji selalu (menjulang) ke langit…[13].”

Maka dengan ini, jelaslah bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat Islam adalah dengan mengajak mereka kembali kepada agama mereka, dengan mengoreksi kembali pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua kalimat syahadat (Laa ilaaha illallah) dan (Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam).

Adapun cara-cara lain yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, maka tidak akan mendatangkan kebaikan sedikitpun, bahkan justru semakin memperparah dan merusak kondisi umat Islam. Karena cara-cara itu adalah menyimpang dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan merupakan perbuatan bid’ah[14] dalam agama, yang berarti itu adalah perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan maksiat merupakan sebab terjadinya kerusakan dan bencana di muka bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[15] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 41).

Inilah yang dipahami oleh para ulama salaf, sehingga Imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi[16] ketika ditanya tentang makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya….”

Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam maka dia termasuk orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi[17].”

Senada dengan ucapan di atas, imam Abul ‘Aliyah Ar-Riyaahi[18] berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah membuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)[19].”

Kesimpulannya, inilah satu-satunya cara untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat Islam, yang telah dinyatakan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabda beliau,

“Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara ‘iinah (salah satu bentuk jual-beli riba), membuntuti ekor-ekor sapi (disibukkan dengan peternakan) dan merasa puas dengan (hasil) pertanian (sehingga lalai dari agama), serta meninggalkan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka niscaya sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpakan kehinaan dan kerendahan kepada kalian, dan Dia tidak akan menghilangkan kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Dalam riwayat Imam Ahmad: “…sampai kalian bertobat kepada Allah…[20].”

Oleh karena itu, senada dengan hadits di atas, sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata dalam ucapannya yang terkenal,

“Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan kita hina dan rendah[21].”

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memperbaiki keadaan kaum muslimin dan melimpahkan taufik-Nya kepada mereka agar mereka kembali kepada pemahaman dan pengamalan agama Islam yang benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلىِ آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة، والحمد لله رب العالمين.

Kota Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, 26 Shafar 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthani, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com


[1] Adhwaa-ul Bayaan (5/272).

[2] Tafir Ibnu Katsir (1/545).

[3] HR. Bukhari (no. 328) dan Muslim (no. 521).

[4] Kisah perang Hunain dalam HR. Muslim (no. 1775).

[5] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, (2/452).

[6] Lihat kisah selengkapnya dalam HR. Bukhari (no. 3817).

[7] Lihat kitab As Sabiilu ilai ‘izzi wat Tamkiin (hal. 33), tulisan syaikh Abdul Malik Ramadhani.

[8] Ibid (hal. 15).

[9] Ibid (hal. 33-34).

[10] Beliau adalah seorang tabi’in senior yang mulia dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam (wafat tahun 80 H), lihat kitab Taqriibut Tahdziib (hal. 91).

[11] HR. Abu Dawud (no. 4297), Ahmad (5/278) dan lain-lain, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahihah (no. 958).

[12] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/698).

[13] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 297).

[14] Yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, yang tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wasallam.

[15] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/576).

[16] Beliau adalah imam dari kalangan atba’ut tabi’in senior, seorang ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rsulullah shallallahu ‘alahi wasallam (wafat 194 H), lihat kitab Taqriibut Tahdziib (hal. 576).

[17] Tafsir Ibni abi Hatim Ar Raazi (6/74) dan Ad Durrul Mantsuur (3/477).

[18] Beliau adalah Rufai’ bin Mihran ar-Riyaahi (wafat 90 H), seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam , lihat Taqriibut tahdziib (hal. 162).

[19] Tafsir Ibnu Katsir (3/576).

[20] HR Abu Dawud (no. 3462), Ahmad (2/42) dan lain-lain, di-shahih-kan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahihah (no. 11).

[21] Riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/130), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *