Keutamaan Mencari Nafkah Halal dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain

بسم الله الرحمن الرحيم

عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِي اللَّهم عَنْه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ)) رواه البخاري.

     Dari al-Miqdam Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah  bersabda: “Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud  makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal dan berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarga dengan usaha sendiri. Bahkan ini termasuk sifat-sifat yang dimiliki oleh para Nabi  dan orang-orang yang shaleh. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Nabi Zakariya  adalah seorang tukang kayu”[2].

Dalam biografi imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’ut tabi’in, imam Abdullah bin al-Mubarak engkau mengeksport barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke tanah haram/Mekkah (untuk dijual), bagaimana ini?”. Maka Abdullah bin al-Mubarak menjawab: “Sesungguhnya aku melakukan (semua) itu hanya untuk menjaga mukaku (dari kehinaan meminta-minta), memuliakan kehormatanku (agar tidak menjadi beban bagi orang lain), dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah” Lalu al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Wahai Abdullah bin al-Mubarak, alangkah mulianya tujuanmu itu jika semuanya benar-benar terbukti”[3].

Beberapa faidah penting dari hadits di atas:

– Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi  dan orang-orang yang shaleh adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri, dan ini tidak melalaikan mereka dari amal shaleh lainnya, seperti berdakwah di jalan Allah  dan memuntut ilmu agama.

– Usaha yang halal dalam mencari rezki tidak bertentangan dengan sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikan manusia dari mengingat Allah . Allah  berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh:

{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}

“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah  adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi”[4].

– Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain[5]. Rasulullah  bersabda: “Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk mencari kayu bakar), kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), maka ini lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak”[6].

– Mulianya sifat ‘iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para shahabat Rasulullah , sebagaimana firman Allah :

{لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا}

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak” (QS al-Baqarah: 273).

– Keutamaan berdagang (berniaga) yang halal, dan inilah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah  dan para shahabat y, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih[7]. Adapun hadits “Sembilan persepuluh (90 %) rezki adalah dari perniagaan”, maka ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani[8].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Jakarta, 8 Jumadal ula 1434 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

 


[1] HSR al-Bukhari (no. 1966).

[2] HSR Muslim (no. 2379).

[3] Kitab “Tahdzibul kamal” (16/20) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/387).

[4] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/390).

[5] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (1/598).

[6] HSR al-Bukhari (no. 1402) dan (no. 1410).

[7] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (23/300, no. 674) dan dinyatakan jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaa-ditsish shahiihah” (no. 2929).

[8] Dalam “Silsilatul ahaa-ditsidh dha’iifah” (no. 3402).

2 comments

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *