بسم الله الرحمن الرحيم
Selalu mengingat Allah dalam semua keadaan dan bersegera menunaikan ibadah kepada-Nya ketika tiba waktunya, ini adalah sifat mulia dan terpuji yang dimiliki oleh hamba-hamba Allah yang beriman kepada-Nya dan selalu mengutamakan keridhaan-Nya, sehingga mereka tidak dilalaikan dari mengingat-Nya dalam kesibukan apapun yang sedang mereka kerjakan.
Allah berfirman:
{فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ. لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS an-Nuur: 36-38).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah ) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi”[1].
Imam al-Qurthubi berkata: “Dianjurkan bagi seorang pedagang untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaannya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah ) dalam ayat ini”[2].
Bersegera dalam beramal shaleh
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah r, hamba-hamba Allah yang shaleh dipuji dengan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, di antaranya selalu bersemangat dan bersegera dalam melakukan amal kebaikan dan ketaatan kepada-Nya.
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera (berlomba-lomba) dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).
Dalam ayat lain, Dia berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا يُشْرِكُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena kepada Rabb mereka (Allah ). Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan (bersedekah) apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang (yang selalu) bersegera dan berlomba-lomba dalam (melakukan) kebaikan-kebaikan” (QS al-Mu’minuun: 57-61).
Bahkan inilah bentuk motivasi dari Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk meraih kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya. Allah berfirman:
{وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ}
“Dan bersegeralah (berlomba-lombalah) kamu untuk (meraih) pengampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Ali ‘Imraan: 133).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ}
“Maka berlomba-lombalah kamu (dalam melakukan) kebaikan” (QS al-Baqarah: 148 dan al-Maidah: 48).
Juga dalam firman-Nya:
{وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ}
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang-orang (yang beriman) berlomba-lomba (untuk meraihnya)” (QS al-Muthaffifiin: 26).
Tentu saja, termasuk dalam hal ini bersegera melakukan shalat berjama’ah di mesjid ketika adzan berkumandang. Ini adalah sifat mulia hamba Allah yang beriman, bahkan ini menunjukkan kecintaan dan keterikatan hatinya dengan mesjid dan waktu-waktu pelaksanaan ibadah kepada Allah .
Mereka inilah yang dipuji dalam firman Allah :
{إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ}
“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS at-Taubah: 18).
Juga dalam sabda Rasulullah tentang orang-orang yang mendapatkan kemuliaan besar pada hari kiamat nanti:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: … dan seorang (hamba) yang hatinya (selalu) terikat pada mesjid…”[3].
Artinya: Dia sangat mencintai mesjid sebagai tempat beribadah kepada Allah dan selalu menetapi shalat berjama’ah di mesjid[4].
Keutamaan dan kedudukan shalat berjama’ah dan shalat di awal waktu
Dalam beberapa hadits yang shahih, Rasulullah menjelaskan besarnya keutamaan dan tingginya kedudukan shalat berjama’ah di mesjid dan melaksanakan shalat di awal waktu dalam Islam, bahkan beberapa hadits shahih menunjukkan bahwa shalat berjama’ah di mesjid hukumnya wajib.
Dari Ummu Farwah bahwa ada yang bertanya kepada Rasulullah : Amal shaleh apakah yang paling utama? Beliau bersabda: “(Melaksanakan) shalat di awal waktunya”[5].
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian dengan (perbandingan) dua puluh tujuh derajat”[6].
Dan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Shalat seorang (muslim) secara berjama’ah (di mesjid) dilipatgandakan (pahalanya lebih daripada) shalatnya (sendirian) di rumah dan di pasar (sebanyak) dua puluh lima kali lipat. Yaitu ketika dia berwudhu dengan benar (di rumahnya) kemudian dia pergi ke mesjid, dengan tujuan semata-mata untuk (melakukan) shalat (berjama’ah), maka tidaklah dia melangkahkan (kakinya) satu langkah kecuali dengan itu ditinggikan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan (dosa) darinya. Lalu ketika dia shalat, maka para Malaikat senantiasa mendo’akan kebaikan baginya selagi dia (berada) di tempat shalatnya, selama dia belum berhadats (betal wudhunya). Para Malaikat berdo’a: “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan baginya, ya Allah, berikanlah rahmat untuknya”. Dan dia senantiasa dalam shalat (mendapatkan pahala seperti orang yang melakukan shalat) selama dia menunggu (tibanya waktu) shalat (di mesjid)”[7].
Juga hadits Rasulullah tentang wajibnya menyambut seruan adzan dan shalat berjama’ah di mesjid bagi setiap laki-laki muslim yang tidak mempunyai ‘udzur (halangan) meskipun dia buta.
Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang lelaki buta datang dan bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunku ke mesjid (untuk shalat berjama’ah). Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk (diperbolehkan) shalat di rumah. Maka (di awalnya) Rasulullah membolehkannya, kemudian ketika orang itu akan pulang, Rasulullah memanggilnya dan bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengar seruan adzan untuk shalat (berjama’ah)?”. Orang itu menjawab: Iya. Rasulullah bersabda: “Kalau begitu penuhilah (seruan itu)”[8].
Bahkan dalam hadits yang lain, Rasulullah menyebutkan ancaman dan hukuman yang sangat keras bagi orang-orang yang meninggalkan shalat berjama’ah di mesjid.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan keras untuk memerintahkan agar kayu bakar dikumpulkan, lalu aku memerintahkan agar dikumandangkan adzan untuk shalat (berjama’ah di mesjid), lalu aku memerintahkan seseorang untuk mengimami (shalat berjama’ah) kaum muslimin, kemudian aku mendatangi orang-orang (yang tidak melakukan shalat berjama’ah di mesjid) untuk membakar rumah-rumah mereka”[9].
Teladan sempurna dari para ulama salaf
Sebaik-baik teladan setelah Rasulullah adalah para Shahabat beliau y, dan kemudian para ulama Salaf yang mengikuti petunjuk mereka dalam kebaikan. Mereka inilah yang dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:
{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah:100).
Juga dalam sabda Rasulullah : “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat y), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka”[10].
Tidak terkecuali dalam masalah shalat berjama’ah di mesjid, petunjuk para Shahabat adalah yang terbaik. Mereka memandang shalat berjama’ah di mesjid sebagai salah satu petunjuk agung dalam Islam, yang barangsiapa meninggalkannya maka dia akan tersesat dari jalan Allah yang lurus. Bahkan di jaman mereka y, hanya orang-orang munafiklah yang meninggalkan shalat berjama’ah di mesjid.
Shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah (pada hari kiamat) besok sebagai seorang muslim, maka hendaknya dia menjaga (pelaksanaan) shalat lima waktu (secara berjama’ah) di tempat (mesjid) yang dikumandangkan adzan untuk shalat lima waktu tersebut. Karena sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada Nabi Muhammad jalan petunjuk, dan sesungguhnya shalat lima waktu (yang dilaksanakan di mesjid secara berjama’ah) termasuk jalan petunjuk. Seandainya kalian melaksanakan shalat (lima waktu) di rumah sebagaimana orang yang meninggalkan (shalat berjama’ah di mesjid) melaksanakannya di rumah, berarti sungguh kalian telah meninggalkan petunjuk Nabimu . Dan jika kalian meninggalkan petunjuk Nabimu maka sungguh kalian akan tersesat (dari jalan Allah ). Tidak ada seorangpun yang bersuci (berwudhu) dan menyempurnakan wudhunya, lalu dia pergi ke salah satu mesjid dari mesjid-mesjid (yang ada), kecuali Allah akan menetapkan baginya dengan setiap langkah kakinya satu kebaikan, meninggikannya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan. Sungguh aku telah melihat (di jaman) kami, tidaklah ada yang meninggalkan shalat lima waktu (secara berjama’ah di mesjid) kecuali orang munafik yang telah diketahui (diyakini) kemunafikannya. Dan sungguh (sampa-sampai) seorang laki-laki (muslim yang sedang sakit) dibawa (ke mesjid) dengan diapit dua orang laki-laki sampai ditegakkan di (tengah) barisan (shalat berjama’ah)”[11].
Demikian pula para Shahabat lainnya y, memberikan teladan yang sempurna dalam masalah ini, seperti ucapan ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i : “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”[12].
Kemudian generasi Tabi’in yang datang setelah para Shahabat y, mereka juga menampilkan sebaik-baik teladan dalam menjaga dan bersegera melaksanakan shalat lima waktu secara berjama’ah di mesjid ketika adzan dikumandangkan.
Imam Sa’id bin al-Musayyab (wafat setelah thn 90 H), imam besar dari generasi Tabi’in dan paling luas ilmunya di kalangan mereka[13]. Imam Ibnu Hibban berkata tentang sifat-sifat beliau yang terpuji: “Beliau termasuk pemuka para Tabi’in dalam pemahaman agama, sifat wara’, ilmu, ibadah dan kemuliaan…Selama empat puluh tahun, tidaklah dikumandangkan adzan shalat kecuali Sa’id bin al-Musayyab (telah berada) di mesjid menanti (shalat berjama’ah)”[14].
Imam al-Aswad bin Yazid bin Qais an-Nakha’i al-Kufi (wafat thn 75 H), imam besar dan panutan dari generasi Tabi’in. Imam Ibrahim an-Nakha’i berkata tentangnya: “Imam al-Aswad apabila telah tiba waktu shalat (fardhu) maka beliau akan menderumkan/menghentikan onta (tunggangan)nya meskipun di atas batu”[15].
Imam al-A’masy Sulaiman bin Mahran al-Kufi (wafat thn 147 H), imam besar penghafal hadits dari generasi Tabi’in yunior. Imam Waqi’ bin al-Jarrah berkata memujinya: “Imam al-A’masy (selama) sekitar tujuh puluh tahun tidak pernah ketinggalan takbir pertama (bersama Imam dalam shalat berjama’ah)”[16].
Imam Ibrahim bin Maimun ash-Sha’ig (wafat thn 131 H) dari generasi Atba’ut tabi’in. Imam Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Ketika beliau (sedang bekerja) mengangkat palu (untuk menempa besi), lalu beliau mendengar adzan shalat (berkumandang), maka beliau tidak akan memukulkan palu tersebut (karena bersegera melaksanakan shalat berjama’ah)”[17].
Imam Muhammad bin Sama’ah at-Tamimi (wafat thn 233 H) dari generasi Atba’ut tabi’in yunior, beliau berkata: “Selama empat puluh tahun aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama (bersama Imam dalam shalat berjama’ah), kecuali pada hari wafatnya ibuku, aku ketinggalan satu kali shalat berjama’ah”[18].
Bahkan sifat ini di kalangan para ulama Salaf menjadi ukuran untuk menilai baik atau buruknya agama seseorang, dan kemudian dijadikan sebagai patokan unutk menilai siapa yang pantas dijadikan sebagai guru tempat menimba ilmu sunnah Rasulillah .
Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat thn 96 H) berkata: “Dulunya para ulama Ahlus sunnah jika ingin mempelajari ilmu (hadits) dari seseorang, maka mereka memperhatikan (terlebih dahulu) shalat, penampilan dan tingkahlaku orang tersebut”[19].
Imam Ibrahim bin Yazid at-Taimi (wafat thn 92 H) berkata: “Jika kamu melihat seorang laki-laki yang meremehkan takbir pertama (bersama Imam dalam shalat berjama’ah), maka cucilah tanganmu (tinggalkan riwayat hadits) darinya”[20].
Nasehat dan penutup
Itulah teladan yang sempurna dari generasi terbaik umat ini, yang kita semua tentu ingin mengikuti petunjuk dan teladan kebaikan mereka dalam ilmu dan amal. Siapakah yang tidak menginginkan dirinya termasuk ke dalam orang-orang yang meraih kemuliaan dan keridhaan Allah karena mengikuti petunjuk mereka yang lurus? Inilah makna firman-Nya:
{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah:100).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dengan baik adalah orang-oang yang mengikuti (meneladani) jejak-jejak mereka yang terpuji, sifat-sifat mereka yang mulia dan selalu mendo’akan (kebaikan) bagi mereka secara terang-terangan maupun tersembunyi”[21].
Terlebih lagi dalam shalat berjama’ah dan bersegera melaksanakannya ketika adzan dikumandangkan, yang keutamaannya sangat besar di sisi Allah , sampai-sampai Rasulullah bersabda: “Seandainya manusia mengetahui (keutamaan dan pahala sangat besar) yang ada pada adzan dan (berdiri di) shaf pertama (ketika shalat berjama’ah), kemudian mereka tidak mendapatkan (cara untuk membaginya) kecuali dengan mengundinya, maka niscaya mereka akan mengundinya. Seandainya mereka mengetahui (keutamaan dan pahala sangat besar) yang ada pada at-tahjir (menyegerakan shalat di awal waktunya) maka niscaya mereka akan bersegera melaksanakannya”[22].
Di samping itu, bukankah shalat merupakan sebab terbesar yang menjadikan damai dan sejuk hati hamba-hamba yang beriman? Bukankah ini lebih dari cukup untuk menjadikan hamba-hamba-Nya yang shaleh berlomba-lomba dan bersegera melaksanakannya di awal waktu ketika adzan dikumandangkan?
Camkanlah sabda Rasulullah berikut ini:
“Allah menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”[23].
Juga sabda beliau kepada Bilal : “Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”[24].
Semoga Allah menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka mencari sebab keridhaan-Nya.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk Rasulullah dan para Shahabat y dengan baik, dalam memahami dan mengamalkan agama Islam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 9 Rabi’ul awwal 1436 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/390).
[2] Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (5/156).
[3] HSR al-Bukhari (no. 1357) dan Muslim (no. 1031).
[4] Keterangan Imam an-Nawawi dalam “Syarh shahih Muslim” (7/121).
[5] HR Abu Dawud (no. 426) dan Ahmad (6/374), Syaikh al-Albani menghukuminya sebagai hadits shahih karena banyak jalurnya yang saling mendukung dan menguatkan.
[6] HSR al-Bukhari (no. 619) dan Muslim (no. 650).
[7] HSR al-Bukhari (no. 2013) dan Muslim (no. 649).
[8] HSR Muslim (no. 654).
[9] HSR al-Bukhari (no. 618) dan Muslim (no. 651).
[10] HSR al-Bukhari (no. 3450) dan Muslim (no. 2535).
[11] Atsar riwayat Imam Muslim (no. 654).
[12] Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’ (3/164).
[13] Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 241).
[14] Kitab “ats-Tsiqaat” (4/274).
[15] Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’ (4/53).
[16] Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’ (6/228).
[17] Kitab “Tahdziibut tahdziib” (1/150).
[18] Kitab “Tahdziibul kamaal” (25/319).
[19] Kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (2/16).
[20] Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’ (5/62).
[21] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (4/432).
[22] HSR al-Bukhari (no. 590) dan Muslim (no. 437).
[23] HR Ahmad (3/128) dan an-Nasa-i (7/61), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[24] HR Abu Daud (2/715) dan Ahmad (5/364), dinyatakan shahih oleh syaikh Al Albani.