Kerancuan dan Jawabannya
Demikian jelas dan gamblangnya keyakinan dan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa kelompok sesat yang pemahamannya menyimpang dari jalan yang benar, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian mereka selewengkan artinya sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Akan tetapi, kalau kita renungkan dengan seksama, kita akan dapati bahwa semua dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka gunakan untuk membela kebatilan dan kesesatan mereka, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kebatilan mereka dan bukan untuk mendukungnya.[1]
Di antara syubhat-syubhat mereka tersebut adalah:
1- Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa, ‘Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah berfirman, ‘Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Rabb-nya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman.’” (Qs. al-A’raaf: 143).
Mereka mengatakan, bahwa dalam ayat ini Allah menolak permintaan nabi Musa ‘alaihissalam untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya.[2]
Jawaban atas syubhat ini:
– Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan para ulama ahli bahasa arab.
Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam syairnya,
Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya[3]
Maka, makna yang benar dari ayat ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak permintaan Nabi Musa ‘alaihissalam tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di akhirat nanti, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman.[4] Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, tidak ada seorangpun di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Subhanahu wa Ta’ala sampai dia mati (di akhirat nanti).”[5]
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Apakah engkau telah melihat Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Dia terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya?”[6] Oleh karena itulah, Ummul mu’minin Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Barangsiapa yang menyangka bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allah Subhanahu wa TA’ala), maka sungguh dia telah melakukan kedustaan yang besar atas (nama) Allah.” [7]
– Permintaan Nabi Musa ‘alaihissalam dalam ayat ini untuk melihat Allah ‘Azza wa Jalla justru menunjukkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mungkin untuk dilihat, karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan shalih seperti Nabi Musa ‘alaihissalam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena permintaan sesuatu yang mustahil dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya, dan Nabi Musa ‘alaihissalam terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau adalah termasuk Nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia dan hamba-Nya yang paling mengenal-Nya.[8]
Maka, jelaslah bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
2- Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-An’aam: 103).
Jawaban atas syubhat ini:
– Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini, “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya.[9]
– Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menafikan al-idraak yang berarti al-ihaathah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi[10], bukankah manusia bisa melihat matahari di siang hari, tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan?[11]
– al-Idraak (meliputi/melihat secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari pada ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-idraak menunjukkan adanya ar-ru’yah (melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih umum.[12]
Sekali lagi ini membuktikan, bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang agung, melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan memahami dan mengimani masalah ini dengan benar, maka peluang kita untuk mendapatkan anugerah dan kenikmatan tersebut akan semakin besar, dengan rahmat dan karunia-Nya.
Adapun orang-orang yang tidak memahaminya dengan benar, apalagi mengingkarinya, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan kemuliaan dan anugerah tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya, na’uudzu billahi min dzaalik.
Dalam hal ini salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut.”[13]
Akhirnya, kami berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas,
Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti)
dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 12 Rabi’ul awwal 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.ManisnyaIman.com
[1] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/457).
[2] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/469) dan “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/455).
[3] Dinukil oleh Syaikh al-‘Utsaimin kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/456).
[4] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 302) dan “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/456).
[5] HSR Muslim (no. 169).
[6] HSR Muslim (no. 291).
[7] HSR Muslim (no. 177).
[8] Lihat kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/457).
[9] Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[10] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3l310).
[11] Lihat kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/457).
[12] Ibid.
[13] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab “An-Nihayah fiil Fitani wal Malaahim” (hal. 127).
1 comment