بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد،
Merupakan hal yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, terlebih lagi oleh para penuntut ilmu agama, keutamaan besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan bagi orang-orang yang mempelajari ilmu agama. Keutamaan tersebut disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta keterangan dari para ulama salaf, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim dalam juz pertama dari kitab beliau Miftahu Daaris Sa’adah memuat pembahasan khusus tentang keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama, dalam bab yang berjudul: Keutamaan dan kemuliaan (mempelajari) ilmu (agama), penjelasan tentang besarnya kebutuhan untuk (mempelajari) ilmu ini, serta tergantungnya kesempurnaan (iman) dan keselamatan seorang hamba di dunia dan akhirat kepada ilmu (agama) ini. Dalam bab tersebut, Ibnul Qayyim menyebutkan lebih dari seratus lima puluh segi keutamaan ilmu, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta keterangan para ulama salaf rahimahumullah, sehingga pembahasan tentang keutamaan ilmu yang beliau sebutkan dalam kitab tersebut adalah pembahasan yang sangat lengkap dan menyeluruh, yang mungkin tidak kita dapati di kitab-kitab para ulama lainnya.
Namun sayangnya, kebanyakan dari kita -termasuk para penuntut ilmu sendiri- sering lalai dan kurang menyadari bahwa ilmu yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah sekadar teori belaka, yang hanya terlihat dalam bentuk hafalan yang kuat, atau kemampuan yang mengagumkan dalam berceramah dan menyampaikan materi kajian, atau gelar dan titel yang disandang, tanpa adanya wujud nyata dan pengaruh dari kemanfaatan ilmu tersebut bagi orang yang mempelajarinya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai dan merahmati sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang berkata, “Bukanlah ilmu itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu (yang bermanfaat) itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (Tafsir Ibnu Katsir (3/729), Ibnu katsir membawakan ucapan beliau ini dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور
“Sesungguhnya, yang memiliki rasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (tentang agama Allah). Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Faathir:28).
Dalam atsar shahih lainnya, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga berkata dihadapan sahabat-sahabatnya, “Sesungguhnya, kalian (sekarang) berada di zaman yang banyak terdapat orang-orang yang berilmu, tapi sedikit yang suka berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu zaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah, tapi sedikit orang yang berilmu.” (Atsar riwayat Imam al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 789) dan Abdurrazzak dalam Al-Mushannaf (no. 3787), dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Baari (10/510) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dishahihkan olah Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 2510).
Definisi Ilmu yang Bermanfaat (Al-‘Ilmu an-Naafi’)
Imam Ibnu Rajab al-Hambali menyebutkan definisi Ilmu yang bermanfaat dengan dua penjelasan yang lafazhnya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi dan sama sekali tidak bertentangan. Dalam kitab beliau Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘Ala ‘Ilmil Khalaf (hal. 6) beliau berkata, “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan al-Qur’an dan Hadits. (Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Semua ini sangat cukup (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang berakal dan merupakan kesibukkan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat).”
Adapun dalam kitab beliau yang lain Al-Khusyuu’ Fish Shalaah (hal. 16) beliau berkata, “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang masuk (dan menetap) ke dalam relung hati (manusia), yang kemudian melahirkan rasa tenang, takut, tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Kedua penjelasan Imam Ibnu Rajab ini sepintas kelihatannya berbeda dan tidak berhubungan, akan tetapi kalau diamati dengan seksama kita akan dapati bahwa kedua penjelasan tersebut sangat bersesuaian dan bahkan saling melengkapi. Karena pada penjelasan definisi yang pertama, beliau ingin menjelaskan sumber ilmu yang bermanfaat, yaitu ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih (benar periwayatannya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dipahami berdasarkan penjelasan dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka. Ini berarti, seseorang tidak akan mungkin sama sekali bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat tanpa mengambilnya dari sumber al-‘Ilmu an-Naafi’ yang satu-satunya ini.
Adapun dalam penjelasan definisi yang kedua, beliau ingin menjelaskan hasil dan pengaruh dari ilmu yang bermanfaat, yaitu menumbuhkan dalam hati orang yang memilikinya rasa tenang, takut dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini berarti bahwa ilmu yang cuma pandai diucapkan dan dihafalkan oleh lidah, tapi tidak menyentuh –apalagi masuk– ke dalam hati manusia, maka ini sama sekali bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti ini justru akan menjadi bencana bagi orang yang memilikinya, bahkan menjadikan pemiliknya terkena ancaman besar –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita semua– termasuk ke dalam tiga golongan manusia yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih (HR. at-Tirmidzi (no. 2382), Ibnu Khuzaimah (no. 2482), Ibnu Hibban (no. 408) dan al-Hakim (no. 1527) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targiib Wat Tarhiib (no. 22), Imam muslim juga meriwayatkan hadits ini dalam Shahih Muslim (no. 1905) tanpa lafazh yang kami sebutkan di atas. Perawi hadits di atas menyebutkan bahwa Abu Hurairah radhillahu ‘anhu sebelum menyampaikan hadits tersebut sampai pingsan tiga kali berturut-turut karena dasyatnya ancaman dalam hadits tersebut dan ketakutan beliau akan kemungkinan tertimpa ancaman tersebut, maka apakah setelah ini masih ada di antara para penuntut ilmu yang merasa aman dari kemungkinan terkena ancaman ini ??!!!).
Jenis ilmu inilah yang dimiliki oleh orang-orang Khawarij (kelompok bid’ah yang pertama kali menyempal dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum, kelompok ini terkenal dengan pemahaman sesat mereka yang mudah mengafirkan kaum muslimin berdasarkan hawa nafsu) dan kelompok-kelompok bid’ah lainnya yang menjadikan mereka menyimpang sangat jauh dari pemahaman Islam yang benar, sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menerangkan sifat-sifat Khawarij dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mereka selalu mengucapkan kata-kata yang baik (dan indah kedengarannya), mereka (mahir) dalam membaca (dan menghafal) al-Qur’an, akan tetapi bacaan tersebut tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka), mereka keluar dengan cepat dari agama ini seperti anak panah yang (menembus dan) keluar dengan cepat dari sasarannya…” (HSR. Muslim dalam Shahih Muslim, no. 1066).
Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat dan meneguhkan keimanan mereka dengan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber petunjuk yang menetap di dalam hati mereka, Allah berfirman,
بل هو آيات بينات في صدور الذين أوتوا العلم
“Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang jelas (yang terdapat) di dalam dada (hati) orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. al-‘Ankabuut: 49).
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Maknanya: Al-Qur’an adalah ayat-ayat yang nyata dan jelas sebagai petunjuk kepada (jalan) yang benar, dalam perintah, larangan maupun berita (yang dikandung)nya, dan Allah memudahkan bagi orang-orang yang berilmu untuk menghafal, membaca dan memahami (kandungan)nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/552).
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.Manisnyaiman.com
Assalamualaikum ya ustadz…
, terima kasih atas tulisannya ana jadi kembali termotivasi.
Tapi kalo boleh tanya ana minta tolong untuk diberikan contoh suatu perkara yang kita ilmui, tapi sering tidak diamalkan.
Jazakallah Khairan Katsiro
Alhamdulillah, syukron akhi artikelnya…
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak disembah melainkan Alloh dan mohonlah ampunan bagi dosamu”. (QS. Muhammad: 19) inilah yg dimaksud dengan ilmu yg bermanfa’at. Ilmu yg menjadikan seorang hamba mengenal akan keesaan Alloh, ilmu yg membuahkan rasa takut, harapan, dan cinta kepada Alloh. Ustadz, jika ada yg salah mohon dikoreksi. Jazakumullohu khoiron katsiro.