رُوِيَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ r: « صَائِمُ رَمَضَانَ فِى السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِى الْحَضَرِ »
Diriwayatkan dari ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang berpuasa Ramadhan ketika sedang safar adalah seperti orang yang tidak berpuasa ketika sedang tidak safar”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no. 1666), asy-Syaasyi dalam “al-Musnad” (no. 229 dan 230) dan ath-Thabari dalam “Tahdziibul aatsaar” (5/189)[1], dengan sanad mereka semua dari jalur Usamah bin Zaid al-Laitsi, dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Abu Salamah bin ‘Abdir Rahman bin ‘Auf, dari ayahnya ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini adalah hadits yang lemah bahkan mungkar, karena menyelisishi riwayat yang shahih. Ada dua kelemahan dalam sanad hadits ini[2]:
1). Al-inqithaa’ (terputus), karena Abu Salamah bin ‘Abdir Rahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu tidak pernah mendengar riwayat hadits dari ayahnya.
2). Ada rawi yang bernama Usamah bin Zaid al-Laitsi, dia ada kelemahan dalam hafalannya. Imam Ahmad berkata: “Dia meriwayatkan dari (Imam) Naafi’ hadits-hadits mungkar (sangat lemah)”. Demikian pula Imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan, Abu Hatim ar-Raazi dan an-Nasaa-i melemahkan riwayatnya[3].
Imam al-Bushiri menyatakan kelemahan hadits ini, beliau berkata: “Dalam sanadnya ada al-inqithaa’ (terputus). Usamah bin Zaid disepakati kelemahannya dan Abu Salamah bin ‘Abdir Rahman bin ‘Auf tidak pernah mendengar (riwayat hadits) dari ayahnya sedikitpun”[4].
Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Imam al-Baihaqi, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani[5]. Bahkan Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini sebagai hadits mungkar[6].
Sebab kemungkaran hadits ini adalah karena rawi lain yang lebih kuat dan terpercaya meriwayatkannya dari ucapan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf t dan bukan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam an-Nasa-i (4/183) dan Ibnu Abi Syaibah (no. 8962) dari jalur Muhammad bin ‘Abdir Rahman bin Abi Dzi’ib, dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Abu Salamah bin ‘Abdir Rahman bin ‘Auf, dari ayahnya ‘Abdur Rahman bin ‘Auf ucapannya. Riwayat mauquf (ucapan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf t) inilah yang dinyatakan shahih dan lebih dikuatkan oleh para ulama Ahli hadits, seperti Imam al-Baihaqi, Abu Zur’ah ar-Razi, ad-Daraquthni dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani[7].
Ada jalur lain yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi (7/265) dari Yazid bin ‘Iyadh, dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dari Abu Salamah bin ‘Abdir Rahman bin ‘Auf, dari ayahnya ‘Abdur Rahman bin ‘Auf t, dari Rasulullah r. Akan tetapi Jalur ini juga sangat lemah, karena Yazid bin ‘Iyadh dinyatakan sebagai pendusta oleh Imam Malik dan selainnya[8].
Demikian juga yang dikeluarkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam “Tarikh Bagdad” (11/383). Jalur ini juga sangat lemah, karena dalam sanadnya ada Abu Qatadah ‘Abdullah bin Waqid al-Harrani, dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena kelemahannya yang fatal)[9].
Hadits ini juga diriwayatkan dari dua shahabat lain, yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar dan ‘Aisyah y, akan tetapi kedua riwayat ini juga lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani[10].
Kesimpulannya, hadits ini lemah jika disandarkan kepada ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang benar adalah dari ucapan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Riwayat mauquf (ucapan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf t) ini juga didukung dari jalur lain yang shahih, dikeluarkan oleh Imam an-Nasa-i (2/106) dari Humaid bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, dari bapaknya ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ucapannya[11].
Kelemahan hadits ini menjadikannya tidak bisa dijadikan sandaran untuk mengharamkan puasa Ramadhan ketika safar, khususnya bagi orang yang tidak mengalami kesulitan berpuasa pada waktu itu, maka ini diperbolehkan[12].
Beberapa hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan makna ini:
1- Dari Hamzah bin ‘Amr al-Aslami radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Apakah aku boleh berpuasa ketika safar? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berpuasalah kamu jika kamu mau dan berbukalah (tidak berpuasa) jika kamu mau”[13].
2- Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, yang berpuasa di antara kami tidak mencela yang tidak berpuasa dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa”[14].
Adapun bagi orang yang merasa berat atau kesulitan berpuasa ketika safar, maka tentu tidak diperbolehkan, karena ini bertentangan dengan keringanan yang Allah berikan baginya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
“Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS al-Baqarah: 185).
Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang terkenal: “Bukanlah termasuk berpuasa ketika sedang safar”[15].
Kesimpulan makna inilah yang dipahami oleh para Shahabat y. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Para Shahabat radhiyallahu ‘anhu ajmain berpendapat bahwa barangsiapa yang memiliki kekuatan (kemampuan) lalu dia berpuasa (ketika safar) maka itu adalah kebaikan dan barangsiapa yang tidak mampu lalu dia tidak berpuasa (ketika safar) maka itu adalah kebaikan”[16].
Dan makna riwayat yang shahih dari ucapan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu di atas juga dibawa kepada makna ini, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani[17]. Wallahu ta’ala A’lam.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 5 Sya’ban 1438 H Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Al-Maktabah asy-syaamilah (al-Ishdar ats-tsaani).
[2] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (2/75).
[3] Lihat kitab “Tahdziibut tahdziib” (1/183).
[4] Dalam kitab “Mishbaahuz zujaajah” (1/532 – Sunan Ibni Majah).
[5] Lihat kitab “as-Sunan al-kubra” (4/244), “Tahdziibu sunani Abi Dawud” (1/456 – al-Maktabah asy-syaamilah) dan “Fathul Baari” (4/184).
[6] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (2/75).
[7] Lihat kitab “as-Sunan al-kubra” (4/244), “’Ilalul hadits” (1/239), “al-‘Ilal” (4/283), dan “Fathul Baari” (4/184).
[8] Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 604).
[9] Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 328).
[10] Kitab “Fathul Baari” (4/184).
[11] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (2/75).
[12] Lihat kitab “Fathul Baari” (4/184) dan “Shaifatu shaumin Nabiy r” (hlmn 57-58).
[13] HSR al-Bukhari (2/687) dan Muslim (no. 1121).
[14] HSR al-Bukhari (2/687) dan Muslim (no. 1118).
[15] HSR al-Bukhari (2/687) dan Muslim (no. 1115).
[16] HR at-Tirmidzi (no. 713), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani rahimahullah.
[17] Kitab “Fathul Baari” (4/184).