بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits Yang Sangat Lemah Tentang Jihad Paling Besar Dan Jihad Paling Kecil
عن جابر بن عبد الله قال: قدم على رسول الله قومٌ غزاةٌ، فقال : « قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ مِنَ الجِْهادِ الأَصْغَرِ إِلَى الجِهادِ الأَكْبَرِ ». قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : « مجاهدة العبد هواه » رواه البيهقي في “الزهد الكبير” والخطيب في “تاريخ بغداد” بإسناد ضعيف.
Dari Jabir bin ‘Abdillah beliau berkata: “Para pasukan perang telah datang (dan menemui) Rasulullah (dari medan jihad), maka beliau bersabda: “Kalian telah datang dengan sebaik-baik kedatangan, dari jihad yang paling kecil (berperang di jalan Allah ) menuju jihad yang paling besar”. Merekapun bertanya: Apakah jihad yang paling besar itu? Rasulullah bersabda: “Perjuangan seorang hamba (untuk menundukkan) hawa nafsunya”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “az-Zuhdul kabiir” (no. 384), al-Khathib al-Bagdadi dalam “Tarikh bagdad” (13/523), dan Ibnul Jauzi dalam “Dzammul hawa” (hal. 39), dengan sanad mereka bertiga dari jalur Yahya bin Ya’la, dari Laits bin Abi Sulaim, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Jabir bin ‘Abdillah , dari Rasulullah .
Hadits ini adalah hadits yang sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Laits bin Abi Sulaim, riwayatnya ditinggalkan karena hafalannya yang sangat buruk[1]. Demikian pula rawi yang bernama Yahya bin Ya’la al-Aslami, Imam Ibnu Hajar berkata tentangnya: “Dia lemah dan penganut (paham) Syi’ah”[2].
Imam al-Baihaqi setelah mengeluarkan hadits ini, beliau berkata: “Hadits ini sanadnya lemah”. Pernyataan beliau ini dibenarkan oleh Imam al-‘Iraqi dan al-Munawi[3].
Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan dihukumi sebagai hadits mungkar (sangat lemah) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani[4].
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menghukumi hadits ini sebagai hadits yang tidak ada asalnya dan matannya (isinya) sangat mungkar. Beliau berkata: “Hadits ini tidak ada asalnya dan tidak diriwayatkan oleh seorangpun dari para ulama (Ahli hadits) yang memahami ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad . Dan berjihad melawan orang-orang kafir adalah termasuk amal yang paling agung, bahkan merupakan seutama-utama amalan sunnah (yang bersifat anjuran) yang dikerjakan oleh seorang hamba”[5].
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas menunjukkan bahwa hadits ini bukan hanya lemah dari sisi sanadnya, tapi matan (isi)nya juga mungkar dan sangat bertentangan dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah tentang agungnya kedudukan dan keutamaan berjihad melawan orang-orang kafir di jalan Allah . Sedangkan kandungan hadits lemah ini seakan-akan merendahkan kedudukan berjihad di jalan Allah , dengan menamakannya sebagai ‘jihad yang paling kecil’, maka penamaan inilah yang diingkari beliau[6].
Adapun kedudukan berjihad (berjuang) menundukkan hawa nafsu di jalan Allah , maka tentu sangat tinggi dan besar, bahkan berjihad melawan orang-orang kafir dan munafik tidak mungkin dilakukan seorang hamba kecuali setelah dia berhasil menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah .
Allah berfirman:
{وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ}
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (QS al-Hajj: 77).
Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata: “maksud ayat ini adalah berjihad (berjuang menundukkan) nafsu dan hawa, inilah jihad yang paling besar dan inilah jihad yang sebenar-benarnya”[7].
Dalam hal ini, Rasulullah bersabda: “Orang yang berjihad (dengan jih ad yang sebenarnya) adalah orang yang berjihad (untuk menundukkan) nafsunya di (jalan) Allah ”[8].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Jihad yang paling wajib adalah berjihad (berjuang menundukkan) nafsu, berjihad (menundukkan) hawa, berjihad (melawan) Syaithan dan berjihad (menundukkan) dunia. Barangsiapa yang berjihad (menundukkan/melawan) empat hal ini di (jalan) Allah, maka Allah akan melimpahkan hidayah kepadanya (untuk menempuh) jalan-jalan keridhaan-Nya yang menyampaikannya ke Surga”[9].
صلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Semarang, 9 Rabi’ul awwal 1436 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Lihat kitab “Tahdziibut tahdziib” (8/418) dan “Taqriibut tahdziib” (hlmn 464).
[2] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 598).
[3] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/511).
[4] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (5/459, no. 2460).
[5] Lihat kitab “Majmuu’ul fataawa” (11/197).
[6] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (5/459).
[7] Dinukil oleh Imam al-Bagawi dalam tafsir beliau “Ma’aalimut tanziil” (hlmn 402).
[8] HR at-Tirmidzi (no. 1621) dan Ahmad (6/20), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[9] Kitab “al-Fawaa-id” (hlmn 59).