Hadits Sangat Lemah Tentang Kalimat Hikmah

رُوِيَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ t أنه قَال:َ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: « الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا » رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما وهو ضعيف جداً.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalimat hikmah adalah barang berharga orang beriman yang hilang, sehingga di manapun dia menemukannya maka dia yang paling berhak terhadapnya”.

Hadits ini dikeluarkan oleh oleh Imam at-Tirmidzi (5/51), Ibnu Majah (no. 4169), Ibnu Hibban dalam kitab “al-Majruhin” (1/105) dan Ibnul Jauzi dalam “al-‘Ilal al-mutanahiyah” (1/95), dengan sanad mereka dari jalur Ibrahim bin al-Fadhl, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ.

Hadist ini sangat lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Ibrahim bin al-Fadhl al-Makhzumi, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani –rahimahullah- berkata tentangnya: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya kerena kelemahannya yang sangat fatal)[1].

Imam at-Tirmidzi –rahimahullah- menyetakan kelemahan hadits ini, beliau berkata: “Hadist ini adalah hadist gharib (hanya diriwayatkan dari satu jalur), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini dan Ibrahim bin al-Fadhl al-Madani al-Makhzumi dilemahkan dalam (periwayatan) hadits dari sisi hafalannya (yang sangat buruk)”[2].

Hadist ini juga dinyatakan lemah oleh Imam Ibnu Hibban –rahimahullah- dan Imam Ibnul Jauzi –rahimahullah- dalam kitab-kitab mereka yang tersebut di atas. Dan dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Syaikh al-Albani –rahimahullah- [3].

Hadist yang semakna juga diriwayatkan dari Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah ﷺ, dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Asakir dalam kitab “Tarikh Dimasyq” (55/192). Akan tetapi hadits ini palsu dan dusta, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Abu ad-dunia ‘Utsman bin al-Khaththab atau Mu’ammar bin al-Khaththab al-Asyajj, dia dihukumi sebagai pendusta dan pemalsu hadits oleh para ulama Ahli hadits[4].

Hadits ini dinyatakan sebagai hadits yang sangat lemah oleh Syaikh al-Albani –rahimahullah- [5].

Hadits yang semakna juga dikeluarkan oleh Imam al-Qudha’i dalam “Musnad asy-Syihab” (1/118) dari jalur Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, dari Rasulullah ﷺ.

Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada Hisyam bin Sa’ad, al-Madani, rawi ini ada sedikit kelemahan pada riwayat haditsnya dari segi hafalannya. Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “Hisyam bukanlah penghafal hadits (yang kuat)”. Imam Yahya bin Ma’in berkata: “Dia lemah (riwayat haditsnya)”. Imam Abu Hatim ar-Razi –rahimahullah- berkata: “Hadits (riwayat)nya ditulis tetapi tidak bisa dijadikan sandaran”[6].

Juga ada kelemahan lain, yaitu sanadnya mursal (tidak bersambung di akhirnya). Zaid bin Aslam al-Madani meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah ﷺ tanpa menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah ﷺ.

 

Derajat hadits ini yang sangat lemah menjadikannya sama sekali tidak bisa dijadikan sandaran dan argumentasi untuk mengamalkan kandungan maknanya.

Cukuplah ayat al-Qur-an yang menjelaskan bahwa hikmah dari Allah ﷻ yang berarti ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shaleh yang bersumber dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah ﷺ, karunia yang agung ini hanya Allah ﷻ berikan kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya, yaitu orang-orang yang beriman dengan benar.

Allah ﷻ berfirman:

{يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ}

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal sehat” (QS al-Baqarah: 269).

Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Mayoritas ulama berkata: HIkmah adalah menepati kebenaran dan mengamalkannya. Maka hikmah adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh”[7].

 

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 3 Shafar 1440 H

Abdullah bin Taslim al-Buthon

Catatan kaki:

[1] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 92).

[2] Kitab “Jaami’ at-Tirmidzi” (5/51).

[3] Kitab “Dha’iiful jaami’ish shagiir” (no. 4301).

[4] Lihat penjelasan Imam adz-Dzahabi dan Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Lisaanul miizaan” (4/135).

[5] Kitab “Dha’iiful jaami’ish shagiir” (no. 4301).

[6] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Tahdziibut tahdziib” (11/3).

[7] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/52).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *