Hadits Palsu Tentang Larangan Melihat Kemaluan Suami/Istri Ketika Bersenggama

بسم الله الرحمن الرحيم

Hadits Palsu Tentang Larangan Melihat Kemaluan Suami/Istri Ketika Bersenggama

رُوِيَ عن النبي أنه قال: ((إذا جامع أحدكم زوجته أو جاريته فلا ينظر إلى فرجها فإن ذلك يورث العمى))

Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istri atau budaknya, maka janganlah dia melihat kemaluannya, karena hal itu akan menjadikan kebutaan”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab “al-Majruuhiin” (1/202), Ibnu ‘Adi dalam kitab “al-Kamil fidh dhu’afaa’” (2/75) dan Ibnul jauzi dalam ‘al-Maudhuu’aat” (2/271) dari jalur Hisyam bin Khalid, dari Baqiyyah bin al-Walid, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , dari Rasulullah .

Hadits ini dihukumi oleh para ulama Ahli hadits sebagai hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Baqiyyah bin al-Walid, dia banyak mentadlis (menyamarkan) riwayat dari rawi-rawi yang lemah[1], dan hadits ini termasuk di antaranya.

Imam Ibnu Hibban berkata: “Baqiyyah biasa meriwayatkan hadits dari para pendusta maupun rawi-rawi yang terpercaya, kemudian dia mentadlis (menyamarkan)nya…Hadits ini didengarnya dari rawi yang lemah, dari Ibnu Juraij, kemudian dia menyamarkannya”[2].

Imam Abu Hatim ar-Razi menghukumi hadits ini sebagai hadits yang palsu dan tidak ada asalnya, demikian pula Imam Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dan para ulama Ahli hadits lainnya[3].

Sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini karena melihat di jalur sanad yang lain ada riwayat yang tidak terdapat tadlis padanya, tapi ini adalah kekeliruan dari para rawi yang meriwayatkan dari Baqiyyah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Abu Hatim ar-Razi dan dibenarkan oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani[4].

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya.

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Abu Hurairah , dari Rasulullah . Dikeluarkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam ‘al-Maudhuu’aat” (2/271).

Hadits ini juga sangat lemah atau bahkan palsu, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Muhammad bin ‘Abdur Rahman al-Qusyairi. Imam Ibnu ‘Adi berkata tentangnya: “Haditsnya mungkar (sangat lemah)”. Imam adz-Dzahabi berkata: “Dia tertuduh (memalsukan hadits) dan tidak terpercaya”[5].

Hadits riwayat Abu Hurairah ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Ibnul Jauzi dan Syaikh al-Albani[6].

Makna hadits di atas juga diriwayatkan dari ucapan istri Rasulullah , ‘Aisyah , beliau berkata: “Aku sama sekali tidak pernah melihat aurat/kemaluan Rasulullah ”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (2/349) dan “al-Mu’jamush shagiir” (1/100), dan al-Khathib al-Bagdadi dalam “Tarikh Bagdad” (4/225).

Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Barakah bin Muhammad al-Hubulli, Imam ad-Daraquthni dan al-Hakim mengatakan bahwa dia selalu memalsukan hadits[7].

Imam Ibnu Hajar menghukumi hadits ini termasuk hadits palsu yang diriwayatkan oleh rawi ini, demikian pula Syaikh al-Albani[8].

Hadits ini juga diriwayatkan dari dua jalur lain, tapi jalur yang pertama lemah dan jalur yang kedua palsu[9].

Ada hadits lain yang semakna dengan hadits di atas, tentang larangan berhubungan intim dalam keadaan bertelanjang, dari ‘Utbah bin ‘Abdin as-Sulami dari Rasulullah , dengan lafazh: “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istrinya maka hendaknya dia memakai (kain) penutup dan janganlah keduanya bertelanjang seperti telanjangnya keledai liar”.

Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur, semuanya lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. Dihukumi sebagai hadits lemah dan mungkar oleh Imam an-Nasa’i, al-Baihaqi, al-‘Iraqi, al-Bushiri dan Syaikh al-Albani[10].

Kesimpulannya, hadits di atas adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya, demikian juga hadits yang semakna dengannya, semua lemah dan palsu.

Maka hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi untuk melarang suami atau istri melihat aurat/kemaluan pasangannya. Bahkan larangan ini sangat bertentangan dengan pemahaman fikih yang benar.

Syaikh al-Albani berkata: “Pandangan (pemahaman) yang benar menunjukkan batil (rusak)nya (makna) hadits ini, karena larangan melihat (aurat/kemaluan) ketika bersenggama berarti larangan terhadap pengantar (untuk melakukan senggama). Jika Allah telah menghalalkan bagi seorang suami untuk mengumpuli istrinya, maka apakah masuk akal kalau Dia melarang suami tersebut untuk melihat kemaluan istrinya?”[11].

Kemudian larangan dalam hadits palsu di atas bertentangan dengan hadist shahih riwayat ‘Aisyah , istri Rasulullah , bahwa dia dan Rasulullah pernah mandi bersama dari satu bejana[12].

Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan kandungan hadits shahih ini, beliau berkata: “(Imam) ad-Dawudi berargumentasi dengan hadits ini tentang bolehnya seorang suami melihat aurat/kemaluan istrinya, demikian pula sebaliknya. Kebolehan ini dikuatkan dengan riwayat Imam Ibnu Hibban dari jalur Sulaiman bin Musa bahwa dia pernah ditanya tentang (hukum) seorang suami melihat kemaluan istrinya? Sulaiman bin Musa berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Atha (tentang hal ini) dan dia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah (Istri Rasulullah ) tentang hal ini maka ‘Aisyah menyebutkan hadits ini”. Maka hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang kebolehan hal ini”[13].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 20 Dzulhijjah 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 126).

[2] Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (2/271).

[3] Lihat kitab “’Ilalul hadits” (2/295), “al-Kamil” (2/75), “al-Maudhuu’aat” (2/271), “Miizaanul I’tidaal” (1/333) dan “adh-Dha’iifah” (1/351, no. 195).

[4] Lihat kitab “’Ilalul hadits” (2/295) dan “adh-Dha’iifah” (1/352).

[5] Lihat kitab “Miizaanul I’tidaal” (3/623-624).

[6] Lihat kitab “al-Mauduu’aat” (2/271-272) dan “adh-Dha’iifah” (1/352, no. 196).

[7] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Lisaanul miizaan” (2/8).

[8] Lihat kitab “Lisaanul miizaan” (2/8) dan “Aadaabuz zifaaf” (hlmn 37, catatan kaki).

[9] Lihat kitab “Aadaabuz zifaaf” (hlmn 37, catatan kaki).

[10] Semua dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Aadaabuz zifaaf” (hlmn 37-38, catatan kaki).

[11] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifati wal maudhuu’ah” (1/353).

[12] HSR al-Bukhari (no. 258) dan Muslim (no. 319).

[13] Kitab “Fathul Baari” (1/290).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *