Hadits Palsu Tentang Larangan Bersafar di Hari Jum’at

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ  : (( مَنْ سَافَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ دَعَا عَلَيْهِ مَلَكَاهُ أَنْ لَا يُصَاحَبَ فِي سَفَرِهِ وَلَا تُقْضَى لَهُ حَاجَةٌ ))

Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah  bersabda: “Barangsiapa yang bersafar (melakukan perjalanan jauh) pada hari Jum’at, maka kedua Malaikat (yang selalu menyertai)nya akan mendoakan keburukan baginya agar dia tidak disertai dalam safarnya dan keperluannya tidak terpenuhi”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi[1] dan dinukil oleh Imam adz-Dzahabi[2] dari jalur al-Husain bin ‘Ulwan, dari Imam Malik, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah .

Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama al-Husain bin ‘Ulwan al-Kalbi, dia adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits. Imam Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Dia adalah seorang pendusta”. Imam Abu Hatim ar-Razi, an-Nasa-i dan ad-Daraquthni berkata: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang sangat parah)”. Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia selalu memalsukan hadits atas (nama) Hisyam (bin ‘Urwah) dan imam-imam lainnya”[3].

Hadits ini oleh Imam adz-Dzahabi dinyatakan sebagai hadits palsu yang didustakan atas nama Imam Malik oleh rawi tersebut di atas[4]. Pernyataan ini dibenarkan oleh Imam al-‘Iraqi[5], Ibnu Hajar al-‘Asqalani[6], asy-Syaukani[7] dan Syaikh al-Albani[8].

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Shahabat lain, ‘Abdullah bin ‘Umar , dari Rasulullah . Dikeluarkan oleh Imam ad-Daraquthni dalam kitab “al-Afraad”[9].

Hadits ini derajatnya lemah, karena dalam sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi’ah, rawi ini lemah dan buruk hafalannya setelah kitab-kitabnya terbakar[10].

Hadits ini diisyaratkan kelemahannya oleh Imam al-‘Iraqi[11] dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani[12] karena adanya rawi tersebut. Juga dihukumi sebagai hadits yang lemah oleh Syaikh al-Albani[13]. Bahkan Syaikh al-Albani menyebutkan kemungkinan bahwa asal hadits ini adalah ucapan seorang Imam dari kalangan Tabi’in, Hassan bin ‘Athiyyah[14], kemudian diriwayatkan secara keliru oleh ‘Abdullah bin Lahi’ah dari sabda Rasulullah , karena buruknya hafalannya. Maka penjelasan ini semakin memperkuat kelemahan riwayat ini.

Hadits yang semakna dengan sedikit tambahan lafazh juga diriwayatkan dari Abu Hurairah  dengan sanad yang berbeda. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam kitab “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (3/289).

Hadits ini juga palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sulaiman bin ‘Isa bin Najih as-Sijzi, Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Dia memalsukan hadits”[15].

Kesimpulannya, hadits tentang larangan bersafar pada hari jum’at ini, dari semua jalur periwayatannya, adalah hadits yang sangat lemah bahkan palsu. Maka tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi untuk menetapkan larangan bersafar pada hari Jum’at.

Hukum asal bersafar pada hari Jum’at adalah mubah (boleh) karena tidak ada satupun dalil yang shahih yang menyebutkan larangannya[16], bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah menukil ucapan Imam az-Zuhri yang mengatakan bahwa Rasulullah  pernah bersafar pada hari Jum’at. Akan tetapi riwayat ini mursal (terputus) karena Imam az-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Rasulullah , sehingga riwayat ini derajatnya lemah[17].

Dalil yang lebih kuat tentang hal ini adalah atsar (riwayat) dari Shahabat yang mulia, ‘Umar bin al-Khattab . Dikeluarkan oleh Imam ‘Abdur Razzaq dalam kitab “al-Mushannaf” (3/250) dan al-Baihaqi dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” (3/184 dan 187) dengan sanad mereka berdua, bahwa ‘Umar bin al-Khattab  pernah melihat seorang laki-laki dengan persiapan untuk bersafar, lalu laki-laki itu berkata: kalau hari ini bukanlah hari Jum’at niscaya aku akan bersafar. Maka ‘Umar  berkata: “Keluarlah (pergilah bersafar)! Karena sesungguhnya hari Jum’at tidak menghalangi (orang yang) bersafar”. Atsar ini sanadnya shahih, sebagaimana ucapan Syaikh al-Albani[18].

Kebolehan bersafar pada hari Jum’at adalah pendapat mayoritas ulama dan sejumlah Shahabat y. Inilah pendapat yang terkuat dalam masalah ini berdasarkan dalil dan penjelasan yang kami sebutkan di atas. Dan dikecualikan dalam hal ini, ketika telah dimulai pelaksanaan shalat Jum’at, maka bagi orang yang wajib menunaikan shalat Jum’at harus menghadirinya dan dilarang bersafar pada waktu itu, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan dalam syariat Islam[19], wallahu a’lam.

 

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 19 Rajab 1435 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Dalam kitab “Asma-ur ruwaati ‘an Maalik”, dinukil oleh Imam asy-Syaukani dalam kitab “Nailul authaar” (3/281).

[2] Dalam kitab “Miizaanul i’tidaal” (1/543).

[3] Semua dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Miizaanul i’tidaal” (1/542).

[4] Lihat kitab “Miizaanul i’tidaal” (1/543).

[5] Sebagaimana yang dinukil oleh oleh Imam asy-Syaukani dalam kitab “Nailul authaar” (3/281).

[6] Lihat kitab “Lisaanul miizaan” (2/300).

[7] Dalam kitab “Nailul authaar” (3/281).

[8] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/386, no. 219).

[9] Sebagaimana yang dinukil oleh oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Talkhiishul habiir” (2/66).

[10] Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 319) dan “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/385).

[11] Dalam “Tahriiji ahadiitsil Ihyaa’” (1/145).

[12] Dalam kitab “Talkhiishul habiir” (2/66).

[13] Dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/385, no. 218).

[14] Dikeluarkan oleh Imam bnu Abi Syaibah dalam kitab “al-Mushannaf” (1/443) dengan sanad yang shahih.

[15] Kitab “al-Kamiil fi dhu’afaa-ir rijaal” (3/289).

[16] Lihat keterangan Imam asy-Syaukani dalam kitab “Nailul authaar” (3/281).

[17] Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/386-387).

[18] Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/387).

[19] Lihat keterangan Imam asy-Syaukani dalam kitab “Nailul authaar” (3/281).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *