Hadits Palsu Tentang Keutamaan Mencium Kening Ibu

رُوِيَ عن ابن عباس أن رسول الله قال: « من قبل بين عيني أمه كان له ستراً من النار »

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mencium (kening) di antara kedua mata ibunya maka itu akan menjadi penghalang baginya dari api Neraka”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi[1], Imam al-Baihaqi[2] dan Imam Ibnul Jauzi[3], dengan sanad mereka dari jalur Muhammad bin ‘Aqil bin Khuwailid, dari Abu Shalih Khalaf bin Yahya al-‘Abdi, dari Abu Muqatil, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad, dari ‘Abdullah bin Thawus, dari bapaknya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya terdapat rawi-rawi yang sangat lemah bahkan pendusta.

Abu Muqatil, dia adalah Hafsh bin Salm as-Samarqandi, Imam Ibnu ‘Adi berkata tentangnya: “Dia bukan termasuk orang yang bisa dijadikan sandaran dalam riwayat hadits”. Bahkan Imam adz-Dzahabi berkata: “Imam Qutaibah menyatakan bahwa dia sangat lemah (dalam meriwayat-kan hadits) dan Imam Ibnu Mahdi menyatakannya sebagai pendusta”[4].
Abu Shalih Khalaf bin Yahya al-‘Abdi, Imam Abu hatim berkata tentangnya: “Hadits (riwayat)nya ditinggalkan (karena kelemahannya yang sangat fatal), dia seorang pendusta”[5].
Riwayat ‘Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad dari ‘Abdullah bin Thawus bukanlah riwayat yang lurus (shahih), sebagaimana penjelasan Imam Ibnu ‘Adi[6].
Para ulama Ahli hadits menghukumi hadits ini sebagai hadits yang sangat lemah bahkan palsu.

Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Hadits ini mungkar (sangat lemah) sanad dan matan (isi)nya”.

Imam al-Baihaqi berkata: “Sanad hadits ini tidak kuat”.

Imam adz-Dzahabi juga mengisyaratkan kelemahan hadits ini yang sangat fatal[7].

Bahkan para ulama lainnya menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, seperti Imam Ibnul Jauzi, Imam asy-Syaukani dan Syaikh al-Albani[8].

Kemudian dari segi matan (isi) hadits ini juga mungkar dan batil (rusak), sebagaimana ucapan Imam Ibnu ‘Adi yang telah kami nukil di atas, karena keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini terlalu berlebihan. Dan di antara ciri-ciri hadits palsu adalah menjelaskan keutamaan suatu amal secara berlebihan[9].

Meskipun tentu saja banyak ayat al-Qur’an dan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan besarnya keutamaan menyayangi, mencintai dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama Ibu. Dan cukuplah ini sebagai argumentasi yang memotivasi kita untuk melakukan berbagai macam bentuk kebaikan dan bakti kepada mereka, sehingga kita tidak butuh untuk berargumentasi dengan hadits-hadits yang lemah, apalagi palsu, seperti hadits di atas.

Di antara ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut adalah:

– Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

{وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا}

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS al-Ahqaaf: 15).

– Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah siapakah orang yang paling berhak/pantas untuk mendapat perlakuan baik (dariku)? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, lalu setelah itu ayahmu, kemudian orang-orang yang terdekat denganmu”[10].

Adapun mencium kening orang yang kita cintai dan sayangi, baik itu ibu ataupun selainnya, maka itu diperbolehkan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Shahabat yang mulia, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau wafat[11].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 11 Dzulqa’dah 1437 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Dalam kitab “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (2/393).

[2] Dalam kitab “Syu’abul iman” (6/187).

[3] Dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (3/86).

[4] Lihat “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (2/393) dan “Miizaanul I’tidaal” (1/557).

[5] Kitab “al-Jarhu wat ta’diil” (3/372).

[6] Dalam kitab “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (2/393).

[7] Lihat kitab “Miizaanul I’tidaal” (1/557).

[8] Lihat “al-Maudhuu’aat” (3/86), “al-Fawaa-idul majmuu’ah” (no. 37 dan 128) dan “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (3/396, no. 1245).

[9] Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Manaarul muniif” (hlmn 47).

[10] HSR Muslim (no. 2548).

[11] HR an-Nasa-i (4/11) dan Ibnu Majah (no. 1627), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *