بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits Palsu Tentang Cara Menghadapi Penguasa Yang Zhalim
عن زيد بن ثابت t قال: سمعتُ رسول الله: ((سيكون في آخر الزمان أمراء جورة، فمن خاف سِجْنَهم وسيفَهم وسوطهم فلا يأمرهم ولا يَنهَهم))
Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Akan ada di akhir jaman nanti para penguasa yang zhalim (suka menganiaya), barangsiapa yang takut terhadap penjara, pedang dan cambuk para penguasa tersebut maka janganlah dia memerintahkan (kebaikan) kepada mereka dan melarang mereka (dari keburukan)”.
Hadits ini dikeluarkan oleh imam Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam “Tarikh Ashbahan”[1] dan imam ad-Dailami dalam “Musnadul Firdaus”[2] dengan sanad mereka berdua dari jalur Isma’il bin Yahya bin ‘Ubaidillah bin Thalhah at-Taimi al-Madani, dari Mis’ar bin Qidam, dari al-Qasim bin ‘Abdir Rahman, dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Zaid bin Tsabit t, dari Rasulullah r.
Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Isma’il bin Yahya bin ‘Ubaidillah bin Thalhah at-Taimi al-Madani, imam Ibnu ‘Adi berkata tentangnya: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang batil (palsu) dari perawi-perawi yang terpercaya”[3]. Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia termasuk orang yang meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perawi-perawi yang terpercaya, juga hadits-hadits yang tidak ada asalnya dari perawi-perawi yang kuat, tidak dihalalkan sama sekali meriwayatkan hadits dan berhujjah dengannya”[4]. Imam adz-Dzahabi berkata: “(Dia meriwayatkan) hadits-hadits batil (palsu) dari Abu Sinan asy-Syaibani, Ibnu Juraij dan Mis’ar (bin Qidam)”[5].
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh imam asy-Syaukani dengan beliau mencantumkannya dalam kitab beliau yang menghimpun hadits-hadits palsu[6], dan beliau berkata: “Dalam sanad hadits ini ada seorang (perawi) pendusta”. Demikian pula al-Fatani mencantumkannya dalam kitab beliau yang menghimpun hadits-hadits palsu[7], dan beliau berkata: “Dalam sanad hadits ini ada (seorang perawi yang bernama) Isma’il (bin Yahya bin ‘Ubaidillah bin Thalhah at-Taimi al-Madani), (dia adalah) seorang pendusta”.
Kedudukan hadits ini yang palsu menjadikannya sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai dalil/argumentasi untuk mendiamkan dan tidak menasehati penguasa yang berbuat zhalim dan sewenang-wenang. Karena dalam hadits yang shahih Rasulullah bersabda: “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya, kalau dia tidak mampu maka dengan lisannya (ucapannya), kalau dia tidak mampu maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman”[8].
Bahkan perbuatan menasehati penguasa yang zhalim dengan cara yang benar adalah termasuk jihad yang paling utama, sebagaimana sabda Rasulullah: “Jihad yang paling utama adalah kalimat yang benar di hadapan penguasa/pemimpin yang zhalim”[9].
Cuma perlu diingatkan di sini bahwa cara yang benar untuk menasehati penguasa/pemerintah adalah dengan menyampaikan nasehat tersebut secara sembunyi-sembunyi dan langsung kepada penguasa yang bersangkutan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini: “…kalimat yang benar di hadapan penguasa/pemimpin yang zhalim”. Jadi bukannya di sampaikan di hadapan orang umum yang sama sekali tidak berkepentingan dengan nasehat tersebut, karena ini merupakan perbuatan ghibah (menggunjing) yang tercela dalam agama Islam, yaitu menyebutkan keburukan saudara sesama muslim di belakangnya[10].
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang ingin menasehati seorang penguasa, maka janganlah dia menyampaikan (nasehat tersebut) secara terang-terangan (di depan orang umum), akan tetapi hendaknya dia mengambil tangannya dan menyampaikannya secara tersembunyi, kalau diterima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan), kalau tidak (diterima) maka dia telah menunaikan kewajibannya”[11].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 16 Ramadhan 1433 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] (2/108).
[2] Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam “al-Gara-ibul multaqathah min musnadil firdaus” (no. 419 – Disertasi S2).
[3] Kitab “al-Kamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (1/302).
[4] Kitab “al-Majruuhiin minal muhadditsiin” (1/126).
[5] Kitab “Miizaanul i’tidaal” (1/415).
[6] Kitab “al-Fawa-idul majmuu’ah fil ahaadiitsil maudhuu’ah” (hal 210, no. 13).
[7] Kitab “Tadzkiratul maudhuu’aat” (hal. 183).
[8] HSR Muslim (no. 49).
[9] HR Ahmad (3/19, 3/61 dan 4/315), Abu Dawud (2/527), at-Tirmidzi (4/471), an-Nasa-i (7/161), Ibnu Majah (2/1329) dan al-Hakim (4/551), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani karena jalur periwayatannya banyak dan saling menguatkan, (lihat “ash-Shahiihah” no. 491).
[10] Sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah r HSR Mualim (no. 2589).
[11] HR Ahmad (3/403), al-Hakim (3/329) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab “as-Sunnah” (no. 1096 – Zhilaalul jannah), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim dan syaikh al-Albani.
Assalaamualaykum
Izin Share dan Copas Ustadz
Syukron