Bilakah Pohon Imam di Hati Berbuah Manis?

بسم الله الرحمن الرحيم

Pohon iman di hati berbuah manis? Bagaimana mungkin itu terjadi dan seperti apa rasanya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita renungkan makna beberapa hadits Rasulullah berikut ini:

Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman; menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[1].

Dan dari Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”[2].

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah pernah mengucapkan do’a berikut:

« اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ »

“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman, serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat petunjuk (dari-Mu) dan memberi petnjuk (kepada orang lain)”[3].

Ketiga hadits di atas, paling tidak, memberikan gambaran jelas bahwa pohon iman di hati orang yang beriman, jika pertumbuhannya benar dan sempurna, maka niscaya pohon itu akan menghasilkan buah yang indah dengan rasa yang manis dan lezat, dan ini dapat dirasakan oleh orang-orang yang beriman secara nyata dan hakiki.

Imam an-Nawawi – semoga Allah merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits yang kedua di atas, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah , dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah , tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”[4].

 

Perumpamaan iman dalam Al-Qur’an

Allah berfirman:

{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ}

“Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik (iman) seperti pohon yang baik, akarnya menancap kuat (ke dalam tanah) dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap saat dengan izin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (QS Ibrahim: 24-25).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menganalogikan kalimat iman, yang merupakan sebaik-baik kalimat, dengan pohon yang merupakan sebaik-baik pohon, yang mempunyai ciri-ciri mulia; akarnya (menancap) kokoh dan kuat (ke dalam tanah), pertumbuhannya berkesinambungan dan buah-buahnya (yang manis) senantiasa ada di setiap waktu dan musim, untuk memberikan berbagai macam manfaat dan hasil yang baik bagi pemiliknya maupun orang lain.

Pohon iman ini di hati orang-orang yang beriman berbeda-beda (pertumbuhan dan kesuburannya), sesuai dengan perbedaan/banyak-sedikitnya sifat-sifat mulia yang Allah terangkan tentang pohon ini.

Maka seorang hamba yang mendapatkan taufik (dari Allah ) akan selalu berusaha untuk mengetahui tentang pohon iman ini, ciri-ciri agungnya, akar dan cabang-cabangnya, serta berusaha untuk merealisasikannya dalam ilmu dan amal. Karena sesungguhnya bagian kebaikan, keberuntungan dan kebahagiaan dunia-akhirat bagi seorang hamba adalah sesuai dengan perhatiannya terhadap (pertumbuhan) pohon iman ini”[5].

Maha suci Allah menurunkan sebaik-baik petunjuk dalam al-Qur’an, disertai penjelasan yang sangat lengkap dan terang. Allah yang berfirman:

{وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}

“Dan Kami turunkan kepadamu kitab ini (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri” (QS an-Nahl: 89).

Dalam ayat ini, Allah membuat perumpamaan tentang iman di dalam hati dengan pohon baik yang terlihat secara kasat mata, untuk memudahkan kita memahami perkara yang paling penting dalam agama ini, agar kita bisa mengamalkannya dengan benar. Inilah sisi keindahan dan kemudahan yang Allah jadikan pada petunjuk-Nya. Allah berfirman:

{وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ}

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS al-Qamar: 17).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan untuk mendekatkan (memudahkan dalam memahami) makna yang bisa dinalar dengan akal dari perumpamaan-perumpamaan yang kasat mata, sehingga jelas dan teranglah makna (ayat-ayat al-Qur’an) sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah dengan sejelas-jelasnya. Ini termasuk (kesempurnaan) rahmat Allah dan indahnya petunjuk-Nya, maka bagi-Nyalah segala pujian yang paling tinggi dan sempurna”[6].

Adapun penjelasan yang lebih rinci tentang makna perumpamaan dalam ayat ini, Imam Ibnul Qayyim berkata: “Allah memperumpamakan kalimat thayyibah (kalimat yang baik/iman dan tauhid) dengan pohon yang baik, karena kalimat yang baik akan membuahkan amal shaleh sebagaimana pohon yang baik menghasilkan buah yang bermanfaat.

Makna ini jelas sekali berdasarkan pendapat mayoritas Ahli tafsir yang mengatakan bahwa (makna) kalimat yang baik adalah (kalimat) syahadat laa ilaaha illallah (tidak ada sembahan yang benar selain Allah). Sesungguhnya kalimat tauhid ini akan membuahkan semua amal shaleh lahir dan batin. Maka semua amal shaleh yang diridhai oleh Allah adalah buah dari kalimat ini.

Dalam penafsiran (riwayat) ‘Ali bin Abi Thalhah dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , beliau berkata: “Kalimat yang baik” adalah (kalimat) syahadat laa ilaaha illallah (tidak ada sembahan yang benar selain Allah). “Seperti pohon yang baik” yaitu seorang yang beriman. “Akarnya menancap kuat (ke dalam tanah)” yaitu kalimat laa ilaaha illallah di dalam hati orang yang beriman. “Dan cabangnya (menjulang) ke langit”, (yaitu) dengan kalimat laa ilaaha illallah amal seorang mukmin akan diangkat ke langit (diterima oleh Allah ).

Ar-Rabi’ bin Anas berkata: “Kalimat yang baik adalah peumpamaan (bagi) keimanan, karena keimanan adalah pohon yang baik, akarnya yang kuat dan tidak rapuh adalah keikhlasan di dalamnya, dan cabangnya (menjulang) ke langit adalah rasa takut kepada Allah”.

Berdasarkan penafsiran ini, maka perumpamaan dalam ayat ini lebih jelas, tepat dan sesuai. Sesungguhnya Allah menganalogikan pohon tauhid (iman) di hati dengan pohon baik yang akarnya kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke langit, serta selalu menghasilkan buah setiap saat.

Tatkala anda memperhatikan perumpamaan ini, maka anda akan melihatnya sangat sesuai dengan pohon tauhid (iman) yang menancap kuat di dalam hati dan cabang-cabangnya yang berupa amal-amal shaleh selalu naik ke langit. Pohon ini senantiasa membuahkan amal-amal shaleh setiap saat sesuai dengan keteguhannya di dalam hati, kecintaan hati kepadanya, keikhlasannya, pengetahuan tentang hakikatnya, selalu memperhatikan dan menjaga hak-haknya”[7].

Lebih lanjut, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menukil ucapan Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah yang menjelaskan makna perumpamaan ini, beliau berkata: “Kalimat yang baik adalah kalimat ikhlas (tauhid), akar pohonnya adalah iman, ranting-rantingnya adalah (selalu) mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, daun-daunnya adalah kebaikan yang selalu menjadi perhatian seorang mukmin, dan buahnya adalah amal-amal ketaatan”[8].

 

Hikmah agung diserupakannya iman di hati dengan pohon yang tumbuh di muka bumi

Secara umum, Allah membuat banyak perumpamaan dalam ayat-ayat al-Qur’an untuk tujuan memudahkan bagi manusia memahami dan merenungkan petunjuk-Nya, kemudian mengambil pelajaran dan mengamalkan petunjuk tersebut. Allah berfirman:

{وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ}

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat bagi manusia supaya mereka berfikir/ mema-haminya” (QS al-Hasyr: 21).

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

{وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ}

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (QS al-‘Ankabut: 43).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Firman Allah ini merupakan pujian terhadap perumpamaan-perumpamaan yang dibuat Allah (dalam al-Qur’an), sekaligus motivasi untuk merenungkan dan (berusaha) memahaminya, serta pujian bagi orang yang memahaminya dan pertanda bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berilmu (dengan sebenarnya), maka (dengan ini) diketahui bahwa orang yang tidak memahami perumpamaan-perumpamaan tersebut berarti dia bukan termasuk orang-orang yang berilmu.

Hal ini disebabkan karena perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah dalam al-Qur’an hanyalah untuk (menjelaskan) perkara-perkara yang sangat penting, tuntutan-tuntutan (dalam Islam) yang tinggi dan masalah-masalah yang agung. Maka orang-orang yang berilmu mengetahui bahwa perumpamaan-perumpamaan ini lebih penting daripada yang lain, karena Allah memberikan perhatian besar kepadanya dan memotivasi hamba-hamba-Nya untuk me-mahami dan merenunginya, sehingga orang-orang yang berilmu mencurahkan segenap kesungguhan mereka untuk memahaminya.

Adapun orang yang tidak memahami perumpamaan-perumpamaan yang sangat penting ini, maka ini menunjukkan bahwa dia bukanlah termasuk orang-orang yang berilmu. Karena kalau dia tidak memahami masalah-masalah yang penting (dalam Islam), maka ketidaktahuannya terhadap masalah-masalah lain tentu lebih besar dan lebih parah.

Oleh karena itu, mayoritas perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah (dalam al-Qur’an) adalah dalam perkara ushuluddin (landasan/pokok-pokok agama) dan yang semisal-nya”[9].

Bahkan Imam Ibnu Katsir menukil dari seorang ulama Salaf yang mengomentari ayat di atas, beliau berkata: “Tatkala aku mendengar sebuah permisalan dalam al-Qur’an lalu aku tidak memahaminya, maka aku akan menangisi diriku sendiri (karena sedih), karena Allah berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (QS al-‘Ankabut: 43)”[10].

Adapun secara khusus yang berhubungan dengan perumpamaan iman di hati dengan pohon, hikmahnya telah dijelaskan oleh sebagian dari para ulama Ahlus sunnah, di antaranya Imam Ibnul Qayyim, beliau berkata: “Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:

1- Sesungguhnya setiap pohon mesti mempunyai urat, batang utama, cabang-cabang, daun-daun dan buah, maka demikian pula pohon iman dan Islam, agar bersesuaian kedua hal yang diperumpamakan dalam ayat ini. Maka urat-urat pohon iman adalah ilmu, pengetahuan (agama) dan keyakinan, batang utamanya adalah keikhlasan, cabang-cabangnya adalah amal-amal shaleh, dan buahnya adalah hal-hal yang lahir dari amal-amal shaleh, berupa jejak-jejak yang baik, sifat-sifat terpuji, akhlak-akhlak yang suci, dan tingkah laku serta budi pekerti yang luhur.

Maka hal-hal inilah yang dijadikan sebagai bukti bahwa pohon iman telah tumbuh dan tertancap kuat di dalam hati. Jika ilmu (yang dimiliki oleh seorang hamba) benar dan sesuai dengan petunjuk yang diturunkan oleh Allah dalam al-Qur’an, keyakinannya sesuai dengan (aqidah yang benar) seperti yang diterangkan oleh Allah dan para Rasul-Nya u tentang Allah (nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi), ada keikhlasan dalam hati, amal-amal (shaleh) yang sesuai dengan perintah (Allah ), serta petunjuk dan tingkah laku yang selaras dengan prinsip-prinsip dasar ini, maka (dengan semua ini) diketahui bahwa pohon iman di hati hamba tersebut akarnya menancap kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit.

Adapun jika keadaannya berlawanan dengan senua itu maka diketahui bahwa yang ada di hatinya tidak lain adalah pohon buruk yang mengambang di permukaan bumi (akarnya tidak menancap) dan tidak ada ketetapan baginya.

2- Sesungguhnya setiap pohon tidak bisa bertahan hidup kecuali dengan (adanya) sesuatu yang mengairi dan menumbuhkannya, sehingga jika pengairan tersebut dihentikan maka tak lama lagi pohon tersebut akan kering (layu). Demikian pula pohon iman di hati seorang hamba, jika dia tidak menjaganya dengan mengairinya setiap waktu dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, serta selalu membiasakan diri untuk berdzikir (mengingat dan menyebut nama Allah ) dan memikirkan (kemahaagungan dan luasnya limpahan nikmat-Nya), kalau tidak demikian maka pohon iman di hatinya tak lama lagi akan layu.

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya iman di dalam hati bisa (menjadi) usang (lapuk) sebagaimana pakaian yang bisa usang, maka perbaharuilah (kuatkanlah kembali) iman (di dalam hati)mu”[11].

Kesimpulannya, tanaman pohon iman jika tidak diperhatikan dan dijaga maka tidak lama lagi akan hancur.

Dari sinilah kita mengetahui besarnya kebutuhan manusia terhadap ibadah-ibadah yang Allah perintahkan (dalam Islam) di setiap pergantian waktu, (sekaligus kita mengetahui) agungnya rahmat-Nya serta sempurnanya nikmat dan kebaikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, dengan Dia memerintahkan kepada mereka untuk mengerjakan ibadah-ibadah tersebut dan menjadikannya sebagai bahan untuk mengairi tanaman (pohon) tauhid (iman) yang ditanam di hati mereka.

3- Sesungguhnya pohon dan tanaman yang bermanfaat, sesuai dengan ketentuan Allah, biasanya akan dicampuri (tumbuh di sekitarnya) semak belukar dan tumbuhan asing (benalu) dari jenis lain. Jika pemilik tanaman tersebut selalu menjaganya dengan membersihkan dan memotong tumbuhan asing tersebut maka sempurnalah pertumbuhan pohon dan tanaman tersebut, serta buah (yang dihasilkan)nya pun semakin lebih banyak dan baik mutunya. Tapi jika dia membiarkannya, maka tidak lama lagi tumbuhan asing tersebut akan menguasai pohon dan tanaman, sehingga mempengaruhi pertumbuhannya atau (minimal) melemahkan akarnya dan menjadikan buah (yang dihasilkan)nya buruk dan sedikit, sesuai dengan banyak atau sedikitnya tumbuhan asing tersebut.

Barangsiapa yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman (yang benar) dalam masalah ini, maka sungguh akan luput darinya keuntungan yang besar tanpa disadarinya. Seorang mukmin senantiasa mengusahakan dua hal; mengairi pohon iman (dalam hatinya) dan membersihkan (tumbuhan asing) yang ada di sekitarnya. Maka dengan mengairinya, pohon tersebut akan tetap hidup dan tumbuh, dan dengan membersihkan (tumbuhan asing) yang ada di sekitarnya, akan sempurna (pertumbuhan) pohon tersebut dan semakin banyak (hasilnya). Hanya Allah tempat memohon pertolongan dan berserah diri”[12].

 

Buah-buah manis dan faidah agung pohon iman

Di atas telah kami paparkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang shahih tentang kelezatan dan kemanisan iman, yang ini dengan jelas menunjukkan bahwa jika pertumbuhannya pohon iman di hati seorang hamba benar dan sempurna, maka niscaya pohon itu akan menghasilkan buah yang indah dengan rasa yang manis dan lezat, dan ini dapat dirasakan olehnya secara nyata dan hakiki.

Dan sebaliknya, jika kelezatan dan kemanisan iman ini tidak dirasakan seorang hamba, berarti pertumbuhan pohon iman di hatinya tidak sempurna atau bahkan rusak. Tentu saja ini merupakan kondisi yang sangat berbahaya dan fatal bagi hamba tersebut, karena dengan iman di hatinya yang rusak, bisa menjadikannya tidak diterima oleh Allah ketika menghadap-Nya pada hari kiamat kelak. Allah berfirman:

{يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

“(Yaitu) di hari (kiamat yang ketika itu) harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS asy-Syu’araa’: 88-89).

Makna ayat ini: pada hari kiamat nanti tidak ada yang bisa menyelamatkan dirinya dari azab Allah , meskipun dia seandainya dia bisa menebus dengan emas sepenuh bumi atau dengan semua orang yang ada di permukaan bumi. Tidak ada yang bermanfaat pada hari itu kecuali orang yang datang menghadap-Nya dengan membawa iman yang benar di dalam hati dan keikhlasan kepada-Nya, serta hatinya bersih dari segala bentuk kesyirikan, keragu-raguan dalam dan segala keburukan yang merusak iman[13].

Sehubungan dengan hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: “Jika kamu tidak merasakan manisnya (iman) dan kelapangan (di dalam hati) ketika beramal shaleh, maka tuduhlah (curigailah) imanmu! Karena sesungguhnya Allah adalah asy-Syakur (Maha Mesyukuri/ Membalas perbuatan baik hamba-Nya dengan balasan yang sempurna), artinya: Dia pasti memberikan balasan bagi seorang hamba yang mengerjakan amal shaleh di dunia (dengan belasan) yang berupa kemanisan iman yang dirasakannya di dalam hati, keteguhan dan kelapangan dada, serta kesejukan dalam jiwa, maka ketika hamba tersebut tidak merasakan hal ini, berarti amalnya (imannya) disusupi (keburukan sehingga rusak)”[14].

Para ulama Ahlus sunnah telah memaparkan dengan rinci manfaat dan faidah dari keimanan yang benar beserta buah-buahnya yang manis.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Berapa banyak faidah dan buah dari keimanan yang benar, untuk kebahagiaan dan kebaikan hidup bagi jiwa dan raga seorang hamba, di dunia dan akhirat. Berapa banyak yang dihasilkan pohon iman ini berupa buah-buah yang ranum, lezat dan terus ada. Faidah yang tidak terbatas dan kebaikan yang tidak terhingga.

Kesimpulannya, semua kebaikan di dunia dan akhirat, serta penjagaan dari segala keburukan adalah termasuk buah-buah manis dari pohon iman”[15].

Berikut ini pemaparan tentang buah-buah manis pohon iman dengan lebih rinci, sebagai-mana yang diterangkan oleh para ulama Ahlus sunnah, di antaranya:

1- Meraih kewalian dari Allah (menjadi wali/kekasih Allah ) yang khusus, inilah perkara terbesar yang berlomba-lomba dikejar oleh hamba-hamba Allah yang bertakwa.

Allah berfirman:

{أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ. الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ}

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (mereka adalah) orang-orang yang beriman (dengan benar) dan selalu bertaqwa (kepada-Nya)” (QS Yunus: 62-63).

Maka setiap orang yang beriman dengan keimanan yang benar dan bertawa, dia adalah wali Allah dengan kewalian yang khusus dari-Nya[16].

Makna kewalian yang khusus dari Allah adalah seperti yang disebutkan dalam hadit shahih berikut;

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (yang dianjurkan dalam Islam) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya”[17].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menjadi wali Allah (kekasih Allah ) yang khusus, yaitu orang yang memiliki keimanan yang benar, serta selalu menetapi ketaatan dan ketakwaan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah menganugerahkan kepadanya kebersamaan-Nya yang khusus[18] yang mengandung arti pertolongan-Nya, taufik-Nya, penjagaan-Nya, dan perlindungan-Nya pada pendengaran, penglihatan, ucapan lisan, langkah kaki dan perbuatan semua anggota badannya lahir dan batin[19]. Sehingga mereka selalu berada di atas keridhaan-Nya dan terhindar dari segala keburukan[20].

 

2- Meraih ridha Allah dan kemuliaan tinggi yang abadi di Surga.

Allah berfirman:

{وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat tinggal yang indah di surga ‘Adn (yang kekal abadi) . Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; Itu adalah keberuntungan yang besar” (QS at-Taubah: 72).

Dengan keimanan yang benar, ketakwaan serta ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya , mereka meraih keridhaan-Nya dan menempati tempat-tempat tinggal yang indah di Surga yang kekal abadi, inilah keberuntungan paling besar dan mulia bagi seorang hamba[21].

 

3- Penjagaan dan perlindungan Allah dari segala keburukan.

Allah berfirman:

{إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا}

“Sesungguhnya Allah akan membela (menjaga/melindungi) orang-orang yang beriman” (QS al-Hajj: 38).

{والله ولي المؤمنين}

“Dan Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman” (QS Ali ‘Imran: 68).

Arti ayat ini: Sesungguhnya Allah akan melindungi orang-orang yang beriman – dengan sebab keimanan mereka – dari semua keburukan, menjaga mereka dari kejahatan syaithan jin maupun manusia dan dari kejahatan musuh-musuhnya, serta melindungi mereka dari keburukan-keburukan sebelum terjadinya dan meringankan atau menghilangkannya setelah terjadinya. Setiap orang yang beriman akan mendapatkan penjagaan dan perlindungan dari Allah sesuai dengan keadaan/ kuat atau lemahnya iman di dalam hatinya[22].

 

4- Membuahkan kehidupan yang indah dan penuh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah berfirman:

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman (dengan iman yang benar), maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS an-Nahl:97).

Hal ini dikarenakan iman yang benar memiliki beberapa keistimewaan besar, di antaranya menjadikan hati tenang, damai, qana’ah (menerima) pembagian rezki yang Allah berikan dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Inilah kehidupan indah yang hakiki, karena sesungguhnya asal kehidupan bahagia adalah kedamaian dan ketenangan dalam hati, serta terhindarnya hati dari semua yang menjadikannya galau dan gundah[23].

Oleh karena itu, Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki[24].

 

5- Merasakan khusyu’ ketika melaksanakan shalat dan ibadah lainnya kepada Allah , dan ini merupakan sebab utama untuk meraih kelapangan jiwa dan kesejukan hati.

Allah berfirman:

{قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ}

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa shalat yang akan menjadi penyejuk hati dan pelapang jiwa bagi manusia adalah shalat yang dilaksanakan dengan khusyu’.

Beliau berkata: “Khusyu’ dalam shalat hanyalah akan diraih oleh orang yang hatinya tercurah sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya menyibukkan diri dan lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika itulah shalat akan menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya), sebagamana sabda Rasulullah dalam hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Allah menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksana-kan) shalat”[25].

 

6- Meraih hidayah (petunjuk) yang sempurna dan taufik dari Allah untuk menempuh jalan yang lurus dan istiqamah di atasnya sampai di akhir hayat.

Allah berfirman:

{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الأنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ}

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka (Allah ) karena keimanan mereka, dibawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan” (QS Yunus: 9).

{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ، وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَه،ُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}

“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS at-Tagaabun: 11).

Makna ayat di atas: Allah menganugerahkan kepada mereka, dengan sebab keimanan di hati mereka, seagung-agung balasan dari-Nya, yaitu hidayah dan taufik untuk menempuh jalan yang lurus di dunia, melimpahkan kepada mereka ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh, serta memudahkan mereka meniti jalan menuju surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan yang abadi[26].

 

7- Mendapat kabar gembira dengan kemuliaan dari Allah dan keamanan yang sempurna di dunia dan akhirat.

Allah berfirman:

{وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ}

“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Baqarah: 223 dan ash-Shaff: 13).

{لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

“Bagi mereka (orang-orang yang beriman dan bertakwa) kabar gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS Yunus: 64).

{وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}

“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya” (QS al-Baqarah: 25).

Maka mereka mendapatkan kabar gembira dari Allah dalam semua kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga keamanan yang sempurna di dunia dan akhirat, keamanan dari murka dan azab-Nya, serta keamanan dari segala keburukan[27].

Allah berfirman:

{الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ}

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS al-An’aam: 82).

{فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ}

“Barangsiapa yang beriman dan memperbaiki (dirinya), maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS al-An’aam: 48).

 

8- Menolak keragu-raguan dan ketidakyakinan yang menimpa banyak manusia dan merusak agama mereka.

Allah berfirman:

{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ}

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman tidak lain adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (QS al-Hujuraat :15).

Ayat ini menunjukkan bahwa iman yang benar akan menghilangkan secara keseluruhan keraguan dan kebimbangan yang merusak iman, serta menolak semua kerancuan yang dilontarkan oleh para Syetan dari kalangan jin maupun manusia dan dari nafsu yang selalu menyuruh kepada kejelekan. Maka tidak ada obat yang bisa menangkal penyakit parah yang membinasakan ini kecuali merealisasikan iman yang benar[28].

 

9- Kemudahan untuk menerima nasehat dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an.

Allah berfirman:

{وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ}

“Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa’at bagi orang-orang yang beriman” (QS adz-Dzaariyaat: 55).

{إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِلْمُؤْمِنِينَ}

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang beriman” (QS al-Hijr: 77).

{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah mereka bertawakkal” (QS al-Anfaal: 2).

Dalam ayat pertma ini Allah mengkhususkan hanya orang-orang yang beriman dengan benarlah yang bisa mengambil manfaat dan pelajaran dari nasehat dan peringatan dari Allah[29].

Hal ini dikarenakan keimanan yang benar akan membawa seorang hamba untuk berpegang teguh dan selalu mengikuti kebenaran, dalam ilmu dan amal, maka dalam dirinya ada kesiapan untuk selalu menerima peringatan-peringatan yang bermanfaat dan ayat-ayat Allah yang menunjukkan kebenaran. Dalam dirinya tidak penghalang untuk menerima kebenaran dan mengamlakannya.

Sebagaimana keimanan yang benar juga akan menjadikan fitrah manusia bersih dan selamat dari penyimpangan, serta menjadikan niatnya lurus, sehingga dengan ini dia mudah mengambil manfaat dari nasehat dan peringatan[30].

 

10- Menjadikan seorang hamba selalu bersyukur ketika mendapat kesenangan dan bersabar ketika ditimpa kesusahan, serta meraih kebaikan dalam semua keadaan.

Dari Shuhaib bin Sinan bahwa Rasulullah bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya untuk orang yang beriman; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[31].

Sifat syukur dan sabar adalah penghimpun segala kebaikan, maka orang yang beriman selalu meraih kebaikan di setiap waktu dan memperoleh keberuntungan di semua keadaannya.

Orang yang beriman ketika mendapatkan kesenangan terhimpun pada dirinya dua kebaikan sekaligus, yaitu nikmat memperoleh kesenangan tersebut dan taufik dari Allah dalam men-syukuri nikmat tersebut, yang ini lebih mulia daripada kesenangan itu sendiri, dan dengan ini sempurnalah nikmat kebaikan bagi hamba tersebut.

Adapun ketika ditimpa kesusahan, maka kesenangan terhimpun pada dirinya tiga kebaikan sekaligus, yaitu dihapuskannya dosa-dosanya, taufik dari Allah untuk meraih kedudukan sabar yang lebih mulia daripada penghapusan dosa-dosa, dan diringankannya kesusahan tersebut dengan dia memperhitungkan pahala dan keutamaan di sisi-Nya[32].

 

Kiat menyuburkan dan menguatkan pertumbuhan pohon iman di hati[33]

Iman yang benar merupakan sebab sempurnanya kemuliaan seorang hamba dan dengannya akan semakin tinggi kedudukannya di dunia dan akhirat, serta jalan untuk meraih segala kebaikan.

Allah telah menjadikan bagi setiap kedudukan mulia di sisi-Nya sebab untuk meraihnya dan jalan untuk mencapainya.

Iman yang benar adalah kedudukan yang paling agung dan tinggi, Allah telah menjadikan bagi kemuliaan besar ini sebab-sebab yang menumbuhkan dan menguatkannya di hati, sebagaimana juga ada sebab-sebab yang melemahkan atau bahkan merusak dan menghancur-kannya. Semua itu telah dijelaskan dengan lengkap dan jelas dalam al-Qur’an dan hadis-hadist yang shahih dari Rasulullah .

Adapun sebab-sebab yang menumbuhkan dan menguatkan iman, secara umum terbagi dua, sebab-sebab secara global/garis besar dan sebab-sebab yang rinci.

Sebab-sebab yang menumbuhkan dan menguatkan iman secara global adalah membaca dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadits Rasulullah , memperhatikan ayat-ayat kauniyah (makhluk-makhluk ciptaan Allah di alam semesta) dengan berbagai macam dan jenisnya, berusaha keras untuk mengenal kebenaran (tauhid) yang merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia, serta bersungguh-sungguh mengamalkannya.

Sedangkan sebab-sebab yang menumbuhkan dan menguatkan iman secara rinci sangat banyak, di antaranya:

1- Sebab yang paling agung yaitu mengenal dan memahami nama-nama Allah yang maha indah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah yang shahih, berusaha memahami kandungan maknanya dan mengamalkan konsekwensi penghambaan diri kepada Allah di dalamnya.

Dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang menghitungnya maka dia akan masuk surga”[34].

Artinya: barangsiapa yang menghafalnya, memahami kandungan maknanya, meyakininya dan mengamalkan konsekwensi penghambaan diri kepada Allah di dalamnya, maka dia akan masuk surga, dan surga tidak akan dimasuki kecuali oleh orang-orang yang beriman.

Maka dengan ini diketahui bahwa mengenal dan memahami nama-nama Allah yang maha indah adalh sumber peneguh dan penguat iman yang paling agung, bahkan mengenal dan memahami nama-nama Allah yang maha indah adalah landasan utama dan intisari iman.

Makna inilah yang dinyatakan dalam firman Allah :

{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah )” (QS Faathir:28).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Arti (ayat di atas): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah, karena semakin sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allah, Zat Yang Maha Mullia, Maha kuasa dan Maha Mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula”[35].

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allah, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungannya kepada-Nya…, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya”[36].

Beliau juga berkata: “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allah ) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia”[37].

 

2- Membaca dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an secara umum. Karena sesungguhnya orang yang membaca dan merenungkan al-Qur’an akan selalu mengambil faidah ilmu dan pemaham-an yang bermanfaat untuk menambah dan menguatkan imannya.

Allah berfirman:

{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah mereka bertawakkal” (QS al-Anfaal: 2).

Maka ini termasuk sebab penguat iman yang paling besar dan agung, bahkan inilah tujuan utama Allah menurunkan al-Qur’an, yaitu untuk dibaca dan direnungkan maknanya, serta dihayati petunjuknya, agar bisa menjadi sebab kebaikan bagi diri manusia, lahir dan batin. Allah berfirman:

{كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ}

“Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad: 29).

Imam al-Hasan al-Bashri berkata: “Demi Allah, bukanlah mentadabburi al-Qur’an dengan (hanya) dengan menghafal huruf-huruf (lafazh)nya tapi melalaikan hukum-hukum (kandungan)nya. Sampai-sampai salah seorang dari mereka berkata: “Aku telah membaca al-Qur’an) seluruhnya”, tapi tidak terlihat pada dirinya (aplikasi terhadap al-Qur’an) dalam akhlak dan perbuatannya”[38].

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Adapun memperhatikan (merenungkan) al-Qur’an, artinya adalah memfokuskan mata hati terhadap kandungan maknanya serta menghimpun pikiran untuk merenungkan dan memahaminya. Inilah maksud (tujuan) diturunkannya al-Qur’an, bukan hanya sekedar dibaca (lafazhnya) tanpa pemahaman dan penghayatan”[39].

Bahkan berpaling dari hal ini merupakan sebab utama yang menjadikan orang-orang munafik hati mereka tertutup menerima kebenaran iman kepada Allah , sebagaimana dalam firman-Nya:

{أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا}

“Apakah mereka (orang-orang munafik) tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (tertutup untuk menerima kebenaran iman)?” (QS Muhammad: 24).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Arti ayat ini: apakah orang yang yang berpaling (munafik) itu tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an dan menghayatinya dengan benar? Padahal kalau mereka (mau) mentadabburinya, maka al-Qur’an akan membimbing mereka kepada semua kebaikan, memperingatkan mereka dari semua keburukan, mengisi hati mereka dengan iman (kepada Allah ) dan jiwa meraka dengan keyakinan (yang benar). Sungguh al-Qur’an akan membawa mereka meraih kedudukan yang tinggi (di sisi Allah ) dan karunia yang sangat agung (dari-Nya). Al-Qur’an akan menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kapada (keridhaan) Allah, kepada Surga disertai (penjelasan tentang) hal-hal yang menyempurnakan kenikmatannya atau hal-hal yang menghalangi untuk meraihnya, juga menjelaskan jalan yang mengantarkan kapada azab (Neraka) dan hal-hal yang harus dijauhi. Al-Qur’an akan mengenalkan mereka kepada Allah (dengan menjeaskan) nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) dan kebaikan-Nya (yang maha agung). Al-Qur’an akan membangkitkan kerinduan mereka untuk (meraih) pahala yang besar (di sisi-Nya) dan menjadikan mereka takut akan siksaan-Nya yang pedih”[40].

 

3- Membaca dan memahami dengan benar hadits-hadits Rasulullah yang shahih.

Dari Zaid bin Tsabit dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya”[41].

Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mempelajari hadits Rasulullah dengan membaca/mendengarkan, memahami, menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain, tentu setelah mengamalkannya untuk dirinya sendiri.

Imam Mulla ‘Ali al-Qari berkata: “Hadits ini menunjukkan keagungan hadits (Rasulullah ), keutamaan dan kedudukan orang-orang yang mempelajarinya, karena Rasulullah meng-khususkan/mengistimewakan mereka dengan doa (kebaikan) yang tidak ada seorangpun dari umat ini yang menyertai mereka dalam doa (kebaikan) tersebut. Seandainya tidak ada manfaat (keutamaan) dalam mempelajari, menghafal dan menyampaikan hadits (Rasulullah ) kecuali (hanya) mendapatkan berkah dari doa yang agung ini, maka cukuplah itu sebagai manfaat (yang agung), kemuliaan di dunia dan akhirat, serta bagian dan keutamaan (yang besar)”[42].

Keutamaan ini tentu berhubungan dengan kebaikan iman dan agama orang yang mem-pelajari hadits Rasulullah , artinya keindahan rupa yang disebutkan dalam hadits ini adalah pancaran iman yang benar dan kuat dari dalam hatinya. Ini berarti mempelajari hadits Rasulullah termasuk sebab terbesar untuk menguatkan dan menyempurnakan pertumbuhan pohon iman di hati.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Doa Rasulullah ini (keindahan rupa) mengandung arti keindahan/keelokan pada lahir dan batin, karena (kata) an-nadhrah berarti kecerahan dan keindahan yang menghiasi wajah, (yang bersumber) dari pengaruh iman (dalam hati), serta kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan (yang dirasakan dalam) batin dengan keimanan tersebut, sehingga kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan itu akan tampak (nyata) berupa kecerahan pada wajah. Oleh karena itulah, Allah mengumpulkan kesenangan dan kebahagiaan (dalam hati) dengan keceriaan (pada wajah, sebagai balasan kemuliaan bagi penduduk surga), sebagaimana dalam firman-Nya:

{فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا}

“Maka Allah menjaga mereka dari keburukan pada hari itu dan menganugerahkan kepada mereka kecerahan (pada wajah mereka) serta kegembiraan (dalam hati mereka)” (QS al-Insaan: 11).

Maka kecerahan (ada) pada wajah-wajah mereka dan kegembiraan/kebahagiaan (ada) pada hati mereka, (ini berarti) bahwa kesenangan dan kegembiraan (dalam) hati akan menampakkan (pengaruh baik berupa) kecerahan pada wajah. Sebagaimana firman Allah (tentang keadaan penduduk surga):

{تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيم}

“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan”(QS al- Muthaffifiin:24).

Kesimpulannya, kecerahan pada wajah bagi orang yang mendengarkan sunnah Rasulullah , kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain), ini adalah pengaruh kemanisan (iman), kegembiraan dan kebahagiaan (yang dirasakannya) di dalam hati”[43].

Dalam hadits shahih yang lain, Rasululah bersabda:

“Sesungguhnya perumpamaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…”([44]).

Hadits ini jelas menggambarkan bahwa fungsi utama petunjuk dalam hadits-hadist Rasulullah adalah seperti fungsi hujan untuk menghidupkan dan menyuburkan tanah yang tandus dan kering, maka hadits-hadist Rasulullah berfungsi untuk menghidupkan hati dan menyuburkan pertumbuhan pohon iman di dalamnya.

Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini: “Rasulullah membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah ) seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah , maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri/tanah yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama (yang dibawa oleh Rasulullah ) akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…”[45].

 

4- Mengenal kepribadian Rasulullah beserta sifat-sifat beliau yang mulia dan akhlak beliau yang agung.

Sesungguhnya orang yang mengenal Rasulullah dengan benar maka dia tidak akan meragukan kejujuran dan kebenaran agama dan petunjuk yang beliau bawa. Allah berfirman:

{أَمْ لَمْ يَعْرِفُوا رَسُولَهُمْ فَهُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ}

“Ataukah mereka tidak mengenal Rasul (yang diutus kepada) mereka, karena itu mereka mengingkarinya?” (QS al-Mu’minuun: 69).

Maka mengenal kepribadian Rasulullah menjadikan orang yang belum beriman akan segera beriman kepada kebenaran yang beliau bawa, dan menambah kuat keimanan orang yang telah beriman.

Dalam al-Qur’an, Allah bersumpah untuk menegaskan kemuliaan sifat Rasulullah dan keagungan akhlak beliau , dalam firman-Nya:

{ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ. مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ. وَإِنَّ لَكَ لأجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ. وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}

“Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Rabbmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan mendapatkan pahala yang tidak terputus. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung” (QS al-Qalam: 4).

Maka Rasulullah seagung-agung da’i penyeru kepada iman, dengan sifat-sifat beliau yang terpuji, perilaku beliau yang mulia, sabda-sabda beliau yang benar dan bermanfaat, serta perbuatan-perbuatan beliau yang lurus. Bahkan beliau adalah imam panutan yang paling agung dan suri teladan yang paling sempurna. Allah berfirman:

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau ”[46].

Kemudian firman Allah di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata: “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah ) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah ) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah ”[47].

Dalam ayat lain, Allah menyebutkan pernyataan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan benar ketika mereka menyifati Rasulullah sebagai da’i penyeru kepada iman yang benar dengan ucapan, perbuatan, akhlak dan semua keadaan beliau , sehingga merekapun tertarik untuk mengikuti seruan dakwah beliau dan beriman kepada kebenaran yang beliau bawa. Allah berfirman:

“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar seorang penyeru (Rasulullah ) yang menyeru kepada iman, (dia berkata): “Berimanlah kamu kepada Rabbmu (Allah )”; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti” (QS Ali ‘Imraan: 193).

 

5- Memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah terhadap semua makhluk di alam semesta, langit dan bumi besarta semua makhluk jenis di dalamnya, termasuk memikirkan penciptaan diri manusia sendiri.

Allah berfirman:

{وَفِي الأرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ. وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُون}

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah ) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS adz-Dzaariyaat: 20-21).

Sungguh hal ini merupakan motivator kuat untuk menumbuhkan keimanan, karena pada makhluk-makhluk ini terdapat bukti yang menunjukkan kemahakuasaan dan kemahaagungan Allah .

Keindahan, keteraturan dan keselarasan yang ada pada makhluk, ini merupakan bukti yang menunjukkan maha luasnya ilmu-Nya dan maha sempurnanya hikmah-Nya.

Berbagai macam manfaat dan nikmat yang banyak pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya, ini menunjukkan maha luasnya kasih sayang, kedermawanan dan kebaikan-Nya.

Semua ini akan memotivasi seorang hamba untuk mengagungkan dan mensyukuri Yang Maha Pencipta, Maha Pengatur dan Maha Pemberi berbagai macam nikmat tersebut, serta selalu berdzikir memuji kemahabesaran-Nya dan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya. Inilah ruh dan intisari iman.

Oleh karena itu, Allah menyeru kepada orang-orang yang beriman untuk bersyukur dan beribadah kepada-Nya semata-mata, dengan banyaknya limpahan nikmat dan rezki yang diberikan-Nya kepada mereka. Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ}

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah” (QS al-Baqarah: 172).

Maka iman yang benar akan memotivasi hamba untuk selalu bersyukur kepada Allah , sebagaimana bersyukur kepada-Nya merupakan sebab tumbuh dan kuatnya iman.

 

6- Banyak berdzikir dan berdo’a kepada Allah di setiap waktu dan dalam semua keadaan.

Sungguh berdzikir kepada Allah akan menumbuhkan dan menguatkan pohon iman di hati. Sehingga semakin sering seorang hamba berdzikir kepada Allah , maka semakin kuat imannya, sebagaimana iman yang benar akan memotivasi seorang hamba untuk banyak berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang mencintai Allah maka dia akan sering berdzikir kepada-Nya, dan mencintai Allah adalah hakikat dan ruh iman.

Tentu saja yang dimaksud dengan berdzikir kepada Allah di sini adalah dzikir yang terhimpun padanya ucapan lisan dan perenungan dalam hati tentang makna (kandungan dzikir tersebut) serta menghadirkan keagungan Allah [48], juga dzikir tersebut bersumber dari hadits Rasulullah yang shahih. Inilah dzikir yang bermanfaat untuk meyuburkan pertumbuhan pohon iman di hati.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dzikir yang paling utama dan paling besar manfaatnya adalah dzikir yang bersesuaian (antara) hati dan lisan ketika mengucapkannya, dengan (lafazh) dzikir (yang bersumber) dari sunnah Rasulullah , disertai penghayatan dan perenungan terhadap kandungan dan maksud dari (ucapan) dzikir tersebut”[49].

Beliau juga berkata: “Berdzikir dengan hati inilah yang membuahkan ma’rifatullah (mengenal kebesaran dan keagungan Allah ), membangkitkan rasa cinta (kepada-Nya), menumbuhkan rasa malu, takut dan muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan-Nya), serta mencegah dari kemalasan dalam menunaikan ketaatan (kepada-Nya) dan meremehkan perbuatan dosa dan maksiat”[50].

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Berdzikir kepada Allah yang paling utama adalah yang bersesuaian antara (ucapan) lisan dan (perenungan) hati, inilah dzikir yang akan membuahkan ma’rifatullah (mengenal kebesaran dan keagungan Allah ), kecintaan kepada-Nya dan pahala yang berlipat ganda”[51].

 

7- Mengenal dan memahami keindahan agama Islam.

Sesungguhnya syariat Islam semuanya indah, aqidahnya adalah yang paling benar, lurus dan bermanfaat. Akhlaknya adalah yang paling mulia dan terpuji, amal dan hukum-hukumnya adalah yang paling indah dan adil.

Dengan pandangan lurus seperti ini maka Allah menjadikan iman sebagai perhiasan terindah di dalam hati hamba-Nya dan menjadikannnya mencintai keimanan itu lebih dari apapun yang ada di dunia ini. Sebagaimana firman-Nya tentang keadaan iman generasi terbaik umat ini (para Shahabat y):

{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}

“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah (seperti perhiasan) dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).

Maka jadilah iman di hati menjadi sesuatu yang paling indah dan dicintai hamba tersebut, kemudian dengan sebab ini dia merasakan secara nyata kemanisan iman di dalam hatinya. Sehingga batinnya dihiasi dengan landasan dan hakikat iman, serta anggota badannya dihiasi dengan amal-amal ketaatan kepada Allah .

Dalam hadits yang shahih, Rasulullah berdo’a memohon keindahan ini:

“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman, serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat petunjuk (dari-Mu) dan memberi petnjuk (kepada orang lain)”[52].

 

8- Berjuang dengan sungguh-sungguh dan menguatkan diri untuk melawan semua hal yang bertentangan dengan iman, berupa kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan kemaksiatan. Ini semua termasuk sebab terbesar untuk menumbuhkan dan menguatkan pohon iman di hati.

Sebagaimana dalam upaya menguatkan iman harus dengan melakukan sebab-sebab yang menumbuhkan pohon iman di hati, maka bersamaan dengan itu, juga harus diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk menghilangkan sebab-sebab yang menghalangi dan menghambat pertumbuhan pohon iman di hati.

Usaha yang dilakukan oleh seorang hamba dalam hal ini adalah menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, bertaubat dengan sungguh-sungguh dari perbuatan dosa yang pernah dilakukan, menjaga semua anggota badan dari hal-hal yang diharamkan, dan berjuang melawan berbagai macam fitnah syubhat (kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami Islam) yang merusak atau mendangkalkan pemahaman Islam, dan fitnah syahwat (keinginan nafsu yang buruk) yang melemahkan niat-niat yang baik dalam iman.

Ketika seorang hamba dijaga oleh Allah sehingga terhindar dari fitnah-fitnah syubhat dan syahwat maka imannya akan sempurna, keyakinannnya bertambah kuat dan jadilah perumpamaan kebun/taman iman di hatinya sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah :

{كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}

“… seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun mencukupi). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (QS al-Baqarah: 265).

Maka seorang hamba yang beriman senantiasa mengusahakan dua hal:

1- Merealisasikan dasar-dasar iman dan cabang-cabangnya dalam ilmu, amal dan semua keadaan.

2- Berusaha untuk menolak semua yang merusak atau mengurangi kesempurnaan iman, berupa fitnah-fitnah syubhat dan syahwat yang lahir maupun batin, berusaha memperbaiki kekurangannya dalam hal yang pertama dan bertaubat dengan sungguh-sungguh ketika melanggar hal yang kedua, serta melakukan semua itu dengan segera dan tanpa menunda-nunda sebelum terlambat waktunya.

Allah berfirman:

{إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ}

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahan mereka” (QS al-A’raaf: 201).

 

Penutup

Demikianlah penjelasan ringkas tentang pohon iman di hati, buah-buahnya yang manis dan sebab-sebab yang menyuburkan pertumbuhannya. Semoga Allah menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam melakukan kebaikan dan mninggalkan keburukan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk mengusahakan sebab-sebab yang menguatkan dan menyempurnakan iman di dalam hati kita, serta menjauhi hal-hal yang bisa merusak atau melemahkannya. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

 

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 22 Shafar 1437 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).

[2] HSR Muslim (no. 34).

[3] HR Imam Ahmad (4/264), an-Nasa-i (3/54 dan 3/55), Ibnu Hibban dan al-Hakim (no. 1900), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam kitab “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).

[4] Kitab “Syarh shahih Muslim” (2/2).

[5] Kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 6-7).

[6] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 425).

[7] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (1/171).

[8] Kitab “Fathul Baari” (1/60).

[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 631).

[10] Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/97).

[11] HR al-Hakim (1/45), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Imam al-Haitsami dan Syaikh al-Albani (lihat “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” no. 1585).

[12] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin ‘an Rabbil ‘alamin” (1/173-175).

[13] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/451) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 593).

[14] Dinukil oleh murid beliau yaitu Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Madaarijus saalikiin” (2/68).

[15] Kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 71).

[16] Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 72).

[17] HSR al-Bukhari (no. 6137).

[18] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Jawaabul kaafi” (hal. 131).

[19] Lihat kitab “Syarhu shahih Muslim” (15/151) dan “Faidhul Qadiir” (2/240).

[20] Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 519).

[21] Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 73-74).

[22] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 539) dan “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 74).

[23] Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 76-77).

[24] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).

[25] HR Ahmad (3/128) dan an-Nasa-i (7/61), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[26] Lihat kitab “ Fathul Qadiir” (2/618) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 358).

[27] Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 87).

[28] Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 93).

[29] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (17/50).

[30] Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 91).

[31] HSR Muslim (no. 2999).

[32] Lihat kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 92-93).

[33] Pembahasan ini penulis ringkas dari penjelasan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kitab “at-Taudhiihu wal bayaanu li syajaratil iimaan” (hlmn 45-70), dengan keterangan tambahan dari para ulama Ahlus sunnah lainnya.

[34] HSR al-Bukhari (2/981) dan Muslim (no. 2677).

[35] Tafsir Ibnu Katsir (3/729).

[36] Kitab “Raudhatul muhibbiin” (hal. 406).

[37] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/420).

[38] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab “Tafsir Ibni Katsir” (4/43).

[39] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/451).

[40] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (halaman 788).

[41] HR Abu Dawud (no. 3660), at-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban, Syaikh al-Albani dan lain-lain.

[42] Kitab “Mirqaatul mafaatiih syarhu misykaatil mashaabiih” (1/288).

[43] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/71).

[44] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).

[45] Fathul Baari (1/177).

[46] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).

[47] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).

[48] Lihat keterangan Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (11/210).

[49] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 56).

[50] Kitab “al-Waabilush shayyib” (hlmn 117).

[51] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hlmn 74).

[52] HR Imam Ahmad (4/264), an-Nasa-i (3/54 dan 3/55), Ibnu Hibban dan al-Hakim (no. 1900), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam kitab “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *