Beberapa Permasalahan Penting Seputar Thalaq (Perceraian)

بسم الله الرحمن الرحيم

Beberapa Permasalahan Penting Seputar Thalaq (Perceraian)

1) Thalaq yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang sedang haidh atau suci tapi telah dicampurinya dalam masa suci tersebut.

Thalaq yang dijatuhkan dalam dua keadaan ini – menurut istilah para ulama – adalah thalaq bid’iy (talak yang bersifat bid’ah/tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah ), karena talak yang sesuai dengan sunnah adalah mentalak istri sewaktu istri dalam keadaan hamil yang telah jelas kehamilannya atau dalam keadaan suci yang belum dicampuri.

Ini berdasarkan firman Allah :

{يا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُم}

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah Rabbmu”.

Imam Ibnu Kastsir berkata: “Berdasarkan ayat ini para ulama Ahli fikih mengambil (kesimpulan tentang) hukum thalaq dan mereka membaginya menjadi dua, (yaitu) thalaq sunnah dan thalak bid’ah.

– Thalaq sunnah artinya seorang suami yang menthalaq istrinya dalam keadaan istrinya suci (tidak sedang haidh) dan belum dicampurinya atau dalam keadaan hamil yang telah jelas kehamilannya.

– Thalaq bid’ah artinya seorang suami yang menthalaq istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci (tapi) sudah dicampurinya, dan dia tidak mengetahui apakah istrinya hamil atau tidak.

Ada thalaq yang ketiga, bukan thalaq sunnah dan bukan thalaq bid’ah, yaitu menthalaq istri yang masih kecil (belum dewasa/belum haidh), istri yang sudah monopause (tidak haidh lagi), atau istri yang belum dicampuri”[1].

Dalil tentang hal ini adalah sabda Rasulullah  kepada Umar bin al-Khaththab  yang mengadukan anaknya, Ibnu Umar y ketika dia menthalaq istrinya yang sedang haidh, maka Rasulullah  bersabda: “Perintahkanlah kepada Ibnu Umar untuk merujuk istrinya, kemudian menthalaqnya dalam keadaan suci (yang belum dicampuri) atau hamil”[2].

Dalam sebuah atsar yang shahih dari Ibnu mas’ud  (riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya) dan Ibnu ‘Abbas  (riwayat ad-Daraquthni dan Ibnu Jarir), ketika menafsirkan ayat di atas, mereka berdua berkata: “(Talaklah istrimu dalam keadaan) suci yang belum dicampuri”[3].

Jika seorang suami telah terlanjur melakukan thalaq bid’ah seperti yang dijelaskan di atas maka kewajibannya adalah segera meminta ampun dan bertaubat kepada Allah I dari perbuatan tersebut.

 

2) Thalaq bid’ah yang telah terlanjur dijatuhkan apakah dihitung/dihukumi jatuh sebagai thalaq atau tidak?

Dalam masalah ini, ada dua pendapat di kalangan para ulama:

– Jumhur (mayoritas) ulama (termasuk empat imam mazhab) mengatakan bahwa talak tersebut jatuh (dihitung), pendapat inilah yang dikuatkan oleh Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu hajar al-‘Asqalani dan para ulama lainnya.

– Pendapat kedua yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnul Qayyim dan para ulama lainnya; bahwa talak tersebut tidak jatuh (tidak dihitung).

Pendapat yang terkuat dari dua pendapat tersebut di atas – wallahu a’lam – adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa talak tersebut jatuh (dihitung), karena dalil-dalil yang mendukung pendapat ini lebih kuat dan lebih jelas dari segi kandungan lafazhnya.

Dalil-dalil tersebut diantaranya:

1- Hadits Umar bin al-Khaththab yang kami nukilkan di atas, pada beberapa jalur dari riwayat hadits ini, yaitu riwayat Nafi’ bahwa Rasulullah  sendiri yang menghitung (menjatuhkan) talak tersebut satu talak. Dan dalam riwayat Salim bin Abdullah bin Umar, Yunus bin Jubair, Sa’id bin Jubair dan Nafi’ bahwa Ibnu umar  berkata: “(Talak tersebut) dihitung bagiku satu talak”[4].

Adapun pendapat kedua yang mengatakan bahwa talak tsb tidak jatuh, juga berdalil dengan hadits Umar di atas, yang pada beberapa jalur dari riwayat hadits tersebut, yaitu riwayat Abu az-Zubair, Ibnu Umar  berkata: “Dan Rasulullah  tidak memandang (menganggap) talak tersebut sebagai sesuatu (yang diperhitungkan)”.

Riwayat ini diperselisihkan keshahihannya oleh para ulama, Imam Abu Dawud, Ibnu ‘Abdil Barr, al-Khaththabi dan para ulama lainnya menghukumi bahwa riwayat ini mungkar (syadz/ganjil/nyeleneh), karena Abu az-Zubair menyendiri dalam meriwayatkan lafadz ini dan menyelisihi perawi-perawi lain yang lebih kuat dan lebih tsiqah (terpercaya).

Akan tetapi para ulama lainnya – seperti al-Hafizh Ibnu Hajar dan Syaikh al-Albani – menghukumi bahwa hadits ini shahih karena Abu az-Zubair meriwayatkannya dengan sanad yang bersambung (tidak mentadlis) dan beliau tidak menyendiri karena didukung oleh riwayat Sa’id bin Jubair yang semakna dengannya.

Meskipun demikian, tetap saja riwayat-riwayat hadits ini yang mendukung pendapat jumhur ulama (bahwa talak tersebut jatuh/diperhitungkan) lebih rajih (kuat) dari pada riwayat-riwayat yang mendukung pendapat kedua – sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh al-Albani – karena jalan (jalur)nya lebih banyak, yaitu enam jalur, tiga diantaranya marfu’ (bersumber dari ucapan/perbuatan Rasulullah ), dan tiga jalur lainnya mauquf  (ucapan/perbuatan sahabat, dalam hal ini Ibnu Umar ) dan tiga riwayat mauquf ini hukumnya sama dengan riwayat marfu’ karena di sini Ibnu Umar mengamalkan perintah Rasulullah , bukan dengan pendapatnya sendiri. Dan semua riwayat ini shahih kecuali satu diantara tiga riwayat yang marfu’. Adapun riwayat-riwayat yang mendukung pendapat kedua, hanya tiga jalur, semuanya marfu’ dan satu diantaranya lemah sanadnya.

2- Jika ditinjau dari segi lafazh (teks) riwayat-riwayat yang mendukung pendapat jumhur ulama tersebut, maka kita dapati riwayat-riwayat tersebut secara jelas dan gamblang menunjukkan benarnya pendapat tersebut, misalnya lafazh riwayat Nafi’: “Maka Umar  datang menemui Rasulullah  dan menyampaikan hal tersebut, lalu Rasulullah  pun menjatuhkan (menghitung) talak tersebut satu talak”.

Kemudian Ibnu Umar  sendiri mengamalkan perintah Rasulullah  di atas dan menghitungnya satu talak.

Adapun lafazh riwayat-riwayat yang mendukung pendapat kedua, lafazh tersebut tidak jelas mendukung pendapat ini, karena lafazh tersebut bisa dan mungkin ditafsirkan dalam beberapa makna yang berbeda.

Misalnya ucapan Ibnu Umar  dalam riwayat Ibnu Az Zubair: “Rasulullah  tidak memandang (menganggap) talak tersebut sesuatu”. Kata شيئاً”” (sesuatu) di sini bisa ditafsirkan dengan sesuatu yang diperhitungkan, dan juga bisa ditafsirkan dengan sesuatu yang benar/boleh karena tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah , sebagaimana yang ditafsirkan oleh Imam Asy Syafi’i, Ibnu ‘abdil Barr dan Al Khaththabi.

3- Sabda Rasulullah  dalam hadits Umar  di atas: “Perintahkanlah kepada Ibnu Umar untuk merujuk istrinya”, menunjukkan bahwa talak tersebut jatuh, karena kata muraja’ah (merujuk) dalam syari’at maknanya adalah kembalinya suami kepada istrinya setelah terjadi (jatuh) talak yang diperhitungkan.

Kesimpulannya, pendapat yang terkuat dalam masalah jatuh/tidaknya talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan haidh atau suci yang telah dikumpuli/dicampuri adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa talak tersebut jatuh dan diperhitungkan berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, wallahu a’lam.

 

3) Hukum thalaq yang dijatuhkan oleh suami dalam keadaan marah

Masalah ini telah dibahas panjang lebar oleh para ulama, sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim menulis satu kitab khusus tentang masalah ini, karena berhubungan dengan sabda Rasulullah :

(( لاَ طَلاَقَ وَلاَ عِتَاقَ فِيْ إِغْلاَقٍ ))

“Tidak ada thalaq dan membebaskan budak dalam keadaan (hati/akal) tertutup”[5].

Imam Ahmad dan Abu Dawud menafsirkan hadits ini bahwa yang dimaksud dengan tertutupnya (hati/akal) adalah dalam keadaan marah[6].

Imam Ibnul Qayyim[7] menukil ucapan Ibnu Taimiyyah bahwa makna tertutup yang sebenarnya adalah tertutupnya hati (akal) seseorang sehingga ucapannya tidak terkontrol atau (keluar) tanpa disadarinya. Kemudian Ibnu Taimiyyah berkata: “Termasuk dalam hadits ini adalah thalak yang dilakukan oleh orang yang dipaksa, orang gila, orang yang hilang akalnya karena mabuk atau marah, dan orang yang tidak terkontrol atau tidak sadar terhadap apa yang diucapkannya.

Kemudian Ibnul Qayyim menyebutkan kesimpulan dan perincian yang sangat baik[8] tentang hukum thalak dalam keadaan marah, dengan membagi kemarahan menjadi tiga macam:

  1. Kemarahan yang menghilangkan (menguasai dan menutupi) akal seseorang sehingga dia tidak menyadari apa yang diucapkannya, maka hukum talak yang dilakukan dalam keadaan ini adalah talak tsb tidak diperhitungkan (tidak jatuh) berdasarkan kesepakatan para ulama.
  2. Kemarahan yang baru (awal) muncul (belum begitu memuncak) sehingga tidak menghalangi seseorang untuk menyadari dan mengontrol ucapannya, maka hukum talak yang dilakukan dalam keadaan ini adalah talak tsb diperhitungkan (jatuh) berdasarkan kesepakatan para ulama.
  3. Kemarahan yang besar dan memuncak akan tetapi tidak sampai menutupi akal seseorang secara total meskipun kemarahan tsb menghalangi niatnya (tujuannya), yang mana setelah kemarahan tsb hilang dia akan menyesali kelalaiannya tsb, maka dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, dan (pendapat yang mengatakan) tidak jatuhnya talak yang dilakukan dalam keadaan ini adalah (pendapat yang) kuat dan tepat.

 

Referensi:

– Shahih Imam al-Bukhari bersama Fathul Baari tulisan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani

– Shahih Muslim bersama Syarah Imam an-Nawawi

– Zaadul ma’ad, karya Imam Ibnul Qayyim

– Subulus salam, karya Imam ash-Shan’ani

– Nailul authar, karya Imam asy-Syaukani

–  Irwa ul-galil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

 

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

 

[1] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/484).

[2] HSR Muslim (no.3644), Abu Dawud (no.2181), at-tirmidzi (no.1176) dll.

[3] Dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Irwa ul-Galil” (7/118).

[4] Semua riwayat dan jalur hadits tersebut dijelaskan secara terperinci dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Irwa ul-Galil” (7/124-133).

[5] HR Abu Dawud (no. 2193), Ibnu Majah (no. 2046), Ahmad (6/276) dari ‘Aisyah t, dinyatakan hasan dengan berbagai jalurnya oleh Syaikh al-Albani dalam “Irwa ul-galil” (7/114).

[6] Lihat kitab “Zaadul ma’aad” (5/195).

[7] Dalam kitab beliau “Zaadul ma’aad” (5/195).

[8] Kesimpulan ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam kitab “Ahkaamun nikaah” (hlmn 176-177).

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *