بسم الله الرحمن الرحيم
Nama Allah yang maha indah ini disebutkan dalam banyak ayat al-Qur-an, di antaranya dalam ayat-ayat berikut ini:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}
“Hai manusia, kamulah yang butuh (tergantung) kepada Allah dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
{وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَى صِرَاطِ الْحَمِيدِ}
“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) Yang Maha Terpuji” (QS al-Hajj: 24).
{وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ}
“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Luqmaan: 12).
{إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ}
“Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Mulia” (QS Huud: 73).
Makna nama Allah al-Hamiid dan penjabarannya
Secara bahasa, asal kata nama ini menunjukkan arti yang satu, yaitu lawan dari celaan. Orang Arab berkata: orang yang terpuji, jika orang itu memiliki banyak sifat yang terpuji dan tidak tercela[1].
Makna al-hamdu (memuji) hampir sama dengan makna asy-syukru (bersyukur/berterimakasih), akan tetapi al-hamdu lebih luas, karena kita bisa memuji seseorang karena sifat-sifat baik yang ada pada dirinya dan pemberiannya, tetapi kita tidak menempatkan asy-syukru pada sifat-sifatnya[2].
Imam Ibnul Atsir berkata: “al-Hamiid berarti (Dia-lah ) yang maha terpuji dalam semua keadaan[3].
Imam Ibnu Katsir berkata: “al-Hamiid artinya Dialah yang maha terpuji dalam firman-Nya, perbuatan-Nya, ketentuan syariat-Nya dan ketetapan takdir-Nya”[4].
Imam asy-Syaukani menambahkan: “Dialah yang berhak untuk mendapatkan pujian dari (semua) makhluk-Nya, karena besarnya limpahan nikmat-Nya kepada mereka yang tidak terkira kadarnya dan tidak terhitung jumlahnya. Meskipun tidak ada satu makhlukpun yang memuji-Nya, maka sungguh semua yang ada selalu mengucapkan pujian kepada-Nya secara tersirat”[5].
Lebih terperinci, Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di memaparkan: “Dialah yang maha terpuji dalam ketentuan yang disyariatkan-Nya bagi hamba-hamba-Nya, berupa hukum-hukum agama yang akan membawa mereka ke negeri keselamatan (Surga). Dia yang maha terpuji dalam semua perbuatan-Nya yang tidak pernah lepas dari karunia, keadilan dan hikmah. Dan Dialah yang maha terpuji (dalam) sifat-sifat-Nya, karena semua sifat-sifat-Nya maha indah dan sempurna, yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh (pengetahuan) manusia”[6].
Maka kesimpulannya, al-Hamiid Dialah yang memiliki segala pujian, Dialah yang maha terpuji pada Zat-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dia memiliki nama-nama yang paling indah dan sifat-sifat yang paling sempurna. Maka al-hamdu (pujian) adalah sifat yang paling luas, pujian yang paling menyeluruh dan sanjungan yang paling agung. Karena semua nama-Nya adalah pujian, semua sifat-Nya adalah pujian, semua perbuatan-Nya adalah pujian dan semua (ketentuan) hukum-Nya adalah pujian. Keadilan-Nya adalah pujian, siksaan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya adalah pujian, serta karunia dan kebaikan-Nya kepada wali-wali-Nya adalah pujian. Penciptaan (terhadap semua makhluk) dan perintah (ketentuan syariat-Nya) hanyalah tegak dengan pujian bagi-Nya, terwujud dengan pujian bagi-Nya dan tampak dengan pujian bagi-Nya. Tujuan dari penciptaan dan perintah-Nya adalah pujian bagi-Nya. Pujian bagi-Nya adalah sebab, tujuan dan yang menampakkan (adanya) semua itu. Maka pujian bagi-Nya adalah ruh (dari) segala sesuatu dan tegaknya segala sesuatu dengan pujian bagi-Nya. Berlangsungnya pujian bagi-Nya di alam semesta dan tampaknya bekas-bekasnya merupakan perkara yang (jelas) dipersaksikan dengan mata kepala dan mata hati manusia[7].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya Allah mengabarkan bahwa bagi-Nyalah segala pujian, Dialah yang maha terpuji lagi maha mulia, serta Dialah yang memiliki segala pujian di dunia dan akhirat, serta bagi-Nyalah (segala) hukum, dan macam-macam pujian lainnya”[8].
Pembagian sifat al-hamdu (maha terpuji) milik Allah ditinjau dari sebabnya
Allah Dialah yang maha terpuji ditinjau dari dua segi:
– Segi yang pertama: Dia berhak mendapatkan pujian dan sanjungan dari semua makhluk-Nya, yang pertama sampai terakhir. Karena Dialah yang menciptakan mereka, melimpahkan rizki kepada mereka, memberikan berbagai macam nikmat lahir dan batin kepada mereka, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Maka Dia berhak untuk dipuji oleh semua makhluk-Nya di setiap waktu, disanjung dan disyukuri dalam semua keadaan.
Allah berfirman:
{تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا}
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS al-Israa’: 44).
– Segi yang kedua: Dia berhak mendapatkan pujian dan sanjungan karena Dia mempunyai nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat yang maha tinggi dan sempurna. Maka Dia memiliki semua sifat kesempurnaan, bahkan Dia memiliki sifat yang paling agung dan sempurna. Jika masing-masing dari sifat-sifat kesempurnaan tersebut berhak mendapatkan pujian dan sanjungan yang sempurna dari makhluk-Nya, maka bagaimana dengan semua sifat-Nya yang maha tinggi ?![9].
Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “al-Hamdu (pujian bagi Allah ) ada dua macam:
– Pujian bagi-Nya karena kebaikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, ini termasuk bersyukur (kepada-Nya).
– Pujian yang pantas bagi diri-Nya karena sifat-sifat-Nya yang maha sempurna. Pujian ini tidak pantas diberikan kecuali kepada Zat yang memiliki sifat-sifat maha sempurna”[10].
1). Pujian bagi Allah karena kebaikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya
Karena limpahan nikmat dari Allah kepada hamba-Nya mengharuskan pujian (sebagai ungkapan rasa syukur) dari hamba tersebut kepada Zat yang melimpahkan nikmat (Allah ), dan semua nikmat (yang dirasakan manusia) adalah dari Allah .
Pujian jenis ini dipersaksikan oleh semua manusia, yang taat maupun bermaksiat, dan yang beriman maupun yang kafir. Karena semua mendapatkan limpahan rizki dan rahmat dari Allah untuk kelangsungan hidup mereka di dunia.
Adapun orang-orang yang beriman maka mereka mendapatkan rahmat dan hidayah yang khusus dari Allah untuk mengenal iman, memahami petunjuk-Nya, berpegang teguh dengan syariat-Nya dan meniti jalan yang lurus untuk menyampaikan mereka kepada keridhaan-Nya.
2). Pujian yang pantas bagi diri-Nya karena sifat-sifat-Nya yang maha sempurna
Allah memiliki nama-nama yang maha indah, sifat-sifat yang maha sempurna dan perbuatan-perbuatan yang maha terpuji, yang dengan itu semua, Dia pantas untuk mendapatkan pujian dan sanjungan yang sesuai dengan kemahaagungan dan kemahamuliaan-Nya.
Oleh karena itu, Allah dalam ayat-ayat al-Qur-an memuji diri-Nya atas kesempurnan sifat-sifat-Nya. Misalnya: sempurnanya sifat rububiyah-Nya (penciptaan, pengaturan dan pengurusan semua makhluk) terhadap alam semesta beserta isinya, sempurnanya kemahaesaan-Nya dalam uluhiyah (hak untuk disembah semata-mata), sempurnanya kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahaagungan sifat-sifat-Nya, jauhnya Dia dari sifat-sifat yang tidak pantas bagi kemahasempurnaan-Nya, seperti mempunyai anak, sekutu, mencintai makhluk karena Dia butuk kepadanya. Allah berfirman:
{وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا}.
“Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya” (QS al-Israa’: 111).
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ. اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ}
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab:”Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)” (QS al-‘Ankabuut: 61-63).
“Maka bagi Allah-lah segala puji, Rabb langit dan Rabb bumi, Rabb semesta alam. Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS al-Jaatsiyah: 36-37)[11].
Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Hamiid
Mengimani dan meyakini bahwa Allah adalah maha terpuji ditinjau dari semua sudut pandang dan dalam segala keadaan, akan menjadikan seorang hamba selalu berusaha memuji dan menyanjung Rabbnya yang maha terpuji atas semua limpahan nikmat-Nya dan karena semua sifat kesempurnaan-Nya, secara tersembunyi maupun terang-terangan, dengan lisan, hati dan anggota badannya.
Inilah potret sebaik-baik manusia pada hari kiamat, sebagaimana dalam hadits Rasulullah : “Hamba-hamba Allah yang paling utama (kedudukannya) pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling banyak memuji Allah (sewaktu di sunia)”[12].
Oleh karena itu, Rasulullah mencontohkan sebaik-baik teladan kepada kita dengan selalu memuji Allah dalam semua keadaan. Dari ‘Aisyah t: Bahwa Rasulullah tatkala beliau melihat sesuatu yang beliau sukai, maka beliau berkata (membaca): “Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat” (Segala puji bagi Allah yang dengan limpahan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan bagi hamba-hamba-Nya). Dan tatkala beliau melihat sesuatu yang tidak beliau sukai, maka beliau berkata (membaca): “Alhamdulillahi ‘ala kulli haal” (Segala puji bagi Allah dalam semua keadaan)”[13].
Maka ini semua akan melahirkan sikap selalu bersangka baik kepada Allah , yang ini merupakan sebab limpahan kebaikan dari Allah kepada hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”[14].
Imam al-Haliimi berkata: “Hadits ini menunjukkan (sikap selalu) bersangka baik kepada Allah , dan bahwa Allah tidaklah menakdirkan (suatu) yang tidak disukai (oleh seorang hamba) kecuali untuk kebaikan yang diketahui-Nya dan dikehendaki-Nya untuk hamba-Nya”[15].
Demikian juga, keimanan yang benar terhadap nama Allah yang maha agung ini akan memotivasi seorang hamba untuk selalu berusaha menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji, sifat-sifat yang mulia dan perbuatan-perbuatan yang baik, serta menjauhkan diri dari sifat dan akhlak tercela yang tidak dipuji dan diridhai oleh Allah [16].
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk selalu memuji dan menyanjung-Nya dengan pujian dan sanjungan yang sesuai dengan kemahaagungan-Nya, serta memudahkan kita untuk meraih sifat-sifat dan akhlak terpuji yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 27 Jumadal akhir 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Lihat kitab “Mu’jamu maqaayiisil lugah” (2/79).
[2] Lihat kitab “an-Nihayah fii gariibil hadits wal atsar” (1/1043).
[3] Kitab “an-Nihayah fii gariibil hadits wal atsar” (1/1043).
[4] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/428).
[5] Kitab “Fathul Qadiir” (4/337).
[6] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 957).
[7] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 198).
[8] Kitab “Majmu’ul fataawa” (6/83-84).
[9] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam kitab “al-Haqqul waadhihul mubiin” (hal. 39-40).
[10] Kitab “Majmu’ul fataawa” (6/84).
[11] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 199-200).
[12] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (18/124) dan Ahmad (4/434), dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami dan Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1584).
[13] HR Ibnu Majah (no. 3803) dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[14] HSR al-Bukhari (no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir) dan Muslim (no. 2675).
[15] Dinukil oleh Imam al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (5/88).
[16] Lihat kitab “al-Wasiith asma-ullahil husna” (hal. 100).