بسم الله الرحمن الرحيم
Berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dua bentuk ibadah yang sangat dekat dengan keseharian manusia, khususnya hamba-hamba Allah yang shaleh dan dekat dengan-Nya. Merekalah orang-orang yang mampu merealisasikan penghambaan diri yang sebenarnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sempurna, yang tersimpul dalam firman-Nya,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Faaihah: 5).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Mengamalkan kandungan ayat) ini adalah kesempurnaan taat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), bahkan (inti) agama Islam seluruhnya kembali kepada dua makna ini (beribadah dan meminta pertolongan kepada-Nya). Sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf. ‘Surat Al-Fatihah adalah rahasia (inti kandungan) Al-Quran dan rahasia (inti kandungan) Al-Fatihah adalah kalimat (ayat) ini.”[1]
Termasuk bentuk doa dan meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ibadah agung, yang kita kenal dengan nama istigatsah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah ini termasuk amal shaleh yang paling utama dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.[2]
Pengertian istigatsah dan perbedaannya dengan doa
Menurut para ahli bahasa Arab, istigatsah termasuk dari jenis-jenis an-nida’ (panggilan/seruan), yang secara bahasa berarti: meminta kepada pihak yang diseru untuk menghilangkan kesulitan orang lain.[3]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Istigatsah artinya meminta al-gauts yang berarti menghilangkan kesusahan, sama dengan (kata) al-istinshaar artinya meminta bantuan dan al-isti’aanah artinya meminta pertolongan.”[4]
Ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لكم
“(Ingatlah), ketika kalian beristigatsah kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (QS. Al-Anfal: 9).
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata, “Artinya: kalian meminta pertolongan kepada-Nya dari musuh-musuh kalian (orang-orang kafir) dan berdoa kepada-Nya agar kalian mengalahkan mereka.”[5]
Adapun perbedaan antara istigatsah dengan doa adalah bahwa istigatsah hanya dikhusukan pada permohonan dalam keadaan sulit dan susah, sedangkan doa bersifat lebih umum, karena bisa dilakukan dalam kondisi susah maupun kondisi lainnya. Oleh karena itu, semua bentuk istigatsah adalah temasuk doa, tapi tidak semua doa adalah istigatsah.[6]
Dalil-dalil istigatsah dan hukumnya dalam Islam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengambil peringatan.” (QS. An-Naml: 62)
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan bahwa Dialah (satu-satunya) yang diseru ketika (timbul) berbagai macam kesusahan, dan Dialah yang diharapkan (pertolongan-Nya) ketika (terjadi) berbagai macam malapetaka, sebagaimana firman-Nya,
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, maka hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Allah.” (QS. Al-Isra’: 67).
Juga firman-Nya,
ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Kemudian bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nyalah kamu memohon pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)[7]
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Jika Allah menimpakan suatu kesulitan kepadamu, maka tidak ada yang (mampu) menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (QS. Yunus: 107)
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata, “(Arti ayat ini): Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Muhammad, jika Allah menimpakan kesusahan atau bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Rabb–mu (Tuhanmu) yang telah menimpakannya kepadamu, dan bukanlah sembahan-sembahan dan tandingan-tandingan lain (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang disembah oleh orang-orang musyrik itu (yang mampu menghilangkannya).”[8]
Semua ayat di atas menunjukkan bahwa istigatsah adalah termasuk ibadah yang paling agung dan mulia, yang hanya layak ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. Sehingga menujukannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan hukum ini dengan tegas dalam firman-Nya,
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu, sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim (musyrik).” (QS. Yunus: 106).
Syekh ‘Abdur Rahman As-Sa’di berkata, “(Dalam ayat ini), zalim yang dimaksud adalah syirik, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya (perbuatan) syirik (mempersekutukan Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13).
Maka, seandainya sebaik-sebaik manusia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyeru kepada selain Allah bersamaan dengan menyeru-Nya maka niscaya beliau termasuk orang-orang yang zalim dan musyrik, maka bagaimana lagi dengan orang selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? (Tentu lebih besar lagi dosanya).”[9]
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Termasuk jenis-jenis kesyirikan yaitu meminta (pemenuhan) hajat dari orang-orang mati (yang dianggap sebagai wali), beristigatsah dan menghadapkan diri kepada mereka. Inilah pangkal kesyirikan (yang terjadi) di alam semesta. Orang yang telah mati telah terputus amal perbuatannya dan dia tidak memiliki (kemampuan untuk memberi) manfaat maupun (mencegah) keburukan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang (lain) yang beristigatsah kepadanya atau meminta (pemenuhan) hajat kepadanya!”[10]
Oleh karena itu, Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab mencantumkan hal ini dalam Kitab At-Tauhid[11] pada bab khusus, (yaitu bab) “Termasuk (perbuatan) syirik (mempersekutukan Allah) adalah melakukan istigatsah kepada selain-Nya atau menyeru (memohon) kepada selain-Nya.”
-bersambung insya Allah–
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.manisnyaiman.com
[1] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/48).
[2] Lihat keterangan Syekh Al-‘Utsaimin dalam kitab Syarhu Tsalatsatil Ushul, hlm. 60.
[3] Lihat muqaddimah tahqiq kitabAl-Istigatsatu fir Raddi ‘alal Bakri, hlm. 41.
[4] Kitab Majmu’ul Fatawa: 1/103.
[5] Kitab Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur`an: 13/409.
[6] Lihat kitab Fathul Majid, hlm. 200.
[7] Kitab Tafsir Ibnu Katsir: 3/492.
[8] Kitab Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur`an: 15/219.
[9] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 375; lihat juga kitab Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid: 1/266 dan At-Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, hlm. 183.
[10] Kitab Madaarijus Salikiin: 1/346.
[11] Lihat kitab Fathul Majid, hlm. 200.
1 comment